22

802 85 5
                                    

Kekuatan

Seorang perempuan sedang berjuang menjadi tulang punggung keluarga untuk sementara waktu, menggantikan sosok ayah sekaligus suaminya di rumah ini. Siapa lagi jika bukan Shena yang melakukan itu? Tidak mungkin Shena membiarkan Dahlia dan Dara sibuk banting tulang sedangkan dirinya hanya diam sambil kuliah. Rasanya Shena tak berguna jika hal itu terjadi.

Shena sedang sibuk menatap laptopnya dengan beberapa hal yang dikirimkan oleh Rangga, kakaknya Rara kepada dirinya untuk mengoreksi sebuah naskah, lebih tepatnya naskah Rangga sendiri.

Shena mematikan handphonenya, tak mau siapa pun mengganggu dirinya. Fokus dengan kerjaan, sama seperti Randa dan Revan di sana, fokus dengan kerjaan mereka.

****
Randa menyandarkan tubuhnya di kursi sambil memijit pelipisnya, menunggu seseorang datang. Hingga pada waktunya, gadis itu datang dengan pakaian kasualnya, membawa sebuah tas hitam.

“Maaf kamu nunggu lama ya?” tanya Naila.

Randa menggeleng pelan, lalu memperbaiki posisinya. “Enggak.”

“Mau bahas apa di sini? Gue harus apa?” tanya Randa.

“Aku cuman pengen kasih ini, semoga bisa bantu perusahaan kamu di sana.”

Randa mengernyit. “Apa ini?”

“Hm, cek aja sendiri.” Naila tersenyum lalu menyodorkan tas itu.

Randa meraihnya, saat dia membuka tas itu dia sedikit kaget. “Enggak usah. Gue bisa kerja di sini, gue enggak mau uang buta kayak gini.”

Naila terdiam sesaat lalu tersenyum. “Memangnya mau lebih lama di Jerman? Dengan uang ini kamu bisa pulang cepat, tanpa ini dan itu.”

Naila memegang tangan Randa. “Aku tau kamu butuh, tapi kalau enggak mau enggak apa-apa.” Gadis itu tersenyum. Randa menatap tangan yang digenggam oleh Naila, kemudian menarik tangannya.

“Gue enggak bisa terima uang itu, gue balik.” Randa berdiri dan meninggalkan Naila yang terdiam.

Gadis itu mengerjap lemah. “Secuek itu? Kapan bisa jadi seperti Randa yang aku kenal? Semuanya musnah,” gumam gadis itu.

Randa mendudukkan tubuhnya di kursi, tepatnya di sebuah balkon perusahaan ini.  Lalu mendiall nomor Shena, selang beberapa menit telfon terhubung.

“Hm, kenapa?”

“Cuman pengen nelfon aja. Gimana di sana? Ada yang kamu butuhin? Kalau ada ngomong, uang aku masih cukup untuk transfer kamu.”

....

“Em, nggak. Fokus aja sama kerja kamu, kalau semuanya membaik, kembalilah cepat.”

“Di sana baik-baik aja kan?”

“Mungkin, enggak tau ke depannya. Semoga saja.” Terdengar suara sayup-sayup yang melirih di balik telfon.

“Di sana jam 12 malam? Kamu belum tidur apa gimana? Jangan begadang.”

Terdengar kekehan dari sana. “Jangan perhatian kayak gitu, basi tau enggak. Lagian sekali dua kali doang begadangnya.”

“Jangan terlalu sering nelfon, aku juga engga bakal keseringan. Chat paling untuk hal penting, lihat batasan.”

“Jangan sampai aku baper sama kamu.”

Randa terdiam, lalu mengusap wajahnya. “Komunikasi itu penting apalagi dalam keadaan seperti ini, memangnya kenapa kalau aku sering telfon? Ada yang marah?”

“Tau enggak? Aku pernah pacaran sama seseorang, 2 tahun dan itu virtual. LDR, Randa. Gitu aja aku bisa bawa perasaan loh ....”

“Aku tunggu rasa cinta itu muncul.”

Tidak ada jawaban di sana. “Halo?”

“Iya? Aku ngantuk, besok ya? Good bye, night.”

Telfon dimatikan sepihak.

Gadis di balik pintu itu meremas berkas yang ada di tangannya, kemudian beberapa saat dia mengumpat dan pergi meninggalkan balkon itu. Naila berlari masuk ke dalam ruang kamarnya, dia mengusap wajahnya dan menatap dirinya di cermin.

“Gue berjuang selama ini buat dia, kedatangan gue bukannya disambut melainkan diberikan sebuah kejutan, kejutan akan pernikahan Randa dan Shena.”

Naila membayangkan kembali masa-masa dirinya bersama dengan Randa hingga akhir dia pergi tanpa kabar karena sebuah alasan besar, kebangkrutan sang Papah membuatnya jatuh terpuruk. Sampai saat ini, Naila dan Papanya berusaha bangkit hingga sampai sekarang, berhasil. Keberhasilan ini untuk Randa, untuk Naila kembali kepada Randa.

Sayangnya, berbeda hal sekarang.

“Boleh enggak sih gue egois dan jahat untuk kali ini sebagai bentuk perjuangan kedua kalinya? Randa masih milik gue ... gue dan dia belum memutuskan hubungan ini.”

Naila menangis malam itu.

****
Shena terbangun dengan cekatan suara alarm, gadis itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi dan bersiap untuk ke kampus. Dan membawa satu baju ganti untuk langsung ke kantor milik Rangga, berharap dirinya bisa langsung kerja dan diterima oleh Rangga.

Berharap.

Gadis itu berkemas dan masuk ke dalam dapur, sarapan dan langsung pergi. Walau beberapa pertanyaan yang harus dia jawab oleh Dara dan Dahlia, Shena buru-buru karena sudah jam 8 lewat. Shena mengambil kunci motor dan melajukan motor itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Motor matic, Shena hanya pandai mengendarai motor matic. Sama seperti mobil, dia hanya pandai menggunakan mobil matic.

Motor ini adalah motor lama miliknya sewaktu SMA kelas 1, dia jarang memakainya semenjak dia dihadiahi mobil oleh sang papah di usia 17 tahun. Namun, karena sayang dengan motor ini dia tak mau menjual atau memberikannya kepada orang lain karena ini pemberian sang Mama saat dia berusia 15 tahun.

Hidup Shena serba kecukupan dulu, bebas mau dibelikan dan dihadiahi apa. Pasti akan dibelikan, berbeda sekarang. Beranjak dewasa dia harus menjadi pribadi yang mandiri; membeli barang sendiri; dan menjaga diri sendiri.

“Sel, lo naik motor? Mobil lo kemana?” tanya Rara.

“Gue jual,” jawabnya enteng. Padahal itu pemberian Papanya, walau banyak pertimbangan dalam hatinya dia berniat untuk menjual mobil itu untuk keperluan rumah sakit sang Kakak.

“Itukan pemberian bokap lo? Pas sweet seventeen.”

Shena mengangguk. “Bener. Cuman gimana ya, perawatan rumah sakit kakak gue juga mahal. Kebutuhan pokok, dan segala macam hal-hal juga harus dibayar,” ujar Shena.

“Mereka enggak kirimin lo uang?” tanya Caca.

Shena terdiam, lalu menggeleng. “Mereka udah nawarin, Cuma gue tolak. Pasti mereka juga butuh, saling mengerti untuk saat ini kayaknya jauh lebih baik. Dan kalian, tetap mau sahabatan sama gue yang sebentar lagi miskin?” tanya Shena dengan kekehannya di akhir kalimat.

Rara dan Caca langsung menggeleng serempak. “Lo lupa? Kalau gue juga sama kayak gini dulu, dan kalian selalu bantu dan suport gue,” ujar Caca.

Rara mengangguk. “Gue waktu susah, lo ada kok. Masa saat lo susah gue pergi sih? Jahat banget gue di skenario cerita lo.” Rara tertawa.

Bukannya apa-apa, Shena hanya tidak enak jika harus merepotkan sahabatnya dengan keluhannya di setiap saat apalagi saat Shena meminta tolong. Shena memeluk kedua sahabatnya, dan tersenyum senang. “Makasih buat kalian, gue harap persahabatan ini bukan sampai sini aja. Tapi sampai gue pergi dari dunia ini,” ujar Shena.

Alfian menatap dari jarak yang cukup jauh, dan tetap mendengar omongan ketiga teman SMA nya itu. Alfian sedikit canggung untuk berhadapan dengan Rara, mungkin karena dirinya terlalu jahat menolak gadis itu mentah-mentah bahkan spa Rangga, kakaknya turun tangan karena Rara menangis histeris.

Alfian harus mengubur rasanya kepada Shena, dan harus membuka lembaran baru kayaknya? Alfian sejak awal bingung dengan perasaannya sendiri, mengapa dia bisa mengatakan dirinya cinta dengan Shena, karena beberapa fakta; dia sakit hati saat pernikahan Shena dan Randa dilangsungkan, sedikit risih saat Shena dekat dengan cowok lain.

Padahal dirinya hanya sahabat kan?

Alasan dirinya pergi setelah pernikahan Shena adalah, menyenangkan diri untuk terlihat baik-baik saja. Dan ini cukup menyakitkan, apakah ini hukuman karena dirinya menyia-nyiakan Rara dulu?





Tbc. Jangan lupa vote, komen, dan follow akun akuu yaa

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang