12

1K 95 17
                                    

Ternyata semuanya mudah, jika sudah terbiasa.

****
Setelah merasa badannya sudah tak lelah, dia membuka handphonenya. Randa tadi hanya mengantar dirinya pulang, setelah mengganti pakaiannya. Randa kembali ke kantor. Shena merasa kesepian di rumah, andai saja ada seseorang yang bisa menemani dia setiap saat.

Suara klakson mobil berbunyi membuat dirinya mau tak mau harus bangun dan berjalan turun menemukan ibu, dan bapak mertuanya datang tentunya mengundang senyuman dari Shena.

“Loh, Mama sama Papa datang? Kok enggak bilang-bilang sih?” tanya Shena menyambut pelukan dari

“Ya suprise dong,” ujar Dahlia.

“Suprise apaan, orang Randa yang suruh kita ke sini. Katanya kamu kesepian ya?” tanya Endra.

Shena terdiam, lalu tersenyum canggung. Aneh si Randa itu kenapa dirinya tiba-tiba baik seperti ini padanya, nikmat tapi aneh menurut Shena. Dia berjalan dan duduk di samping Dahlia. “Aku buatin teh dulu ya,” ujar Shena lalu beranjak.

Shena di dapur entah harus bahagia atau merasa biasa saja. Karena, tak seperti kemarin-kemarin memang banyak sekalii perubahan dari Randa. Membuat Shena aneh sendiri, namun mungkin ini hidayah buatnya, Shena juga menerima Randa sebagai suaminya.

Walau sebenarnya masih ada rasa kaku di dalam hatinya. Tapi, tetap saja. Dia tak bisa melawan takdir. Shena keluar dari dapur membawa nampan yang berisi dua cangkir kopi dan juga beberapa macam kue.

“Randa mana, Pa? Katanya dia yang nyuruh kalian ke sini?” tanya Shena.

“Dia sebentar lagi ke sini, sama Revan. Lagi ngurus soal perkantoran,” ujar Endra lalu meminum teh buatan Shena.

Dahlia tersenyum. “Kamu bosan tinggal sendiri di sini?”

Shena mengangguk kecil, memang kenyataannya seperti itu kan? Dia memang sangat bosan. Tidak ada yang bisa diajak bicara, terakhir saja Randa itupun baru kemarin pria itu khilaf. Entah ada angin dari mana, tapi Shena bersyukur.

“Ceritanya, Mama mau nyuruh Revan setelah nikah itu tinggal bareng kalian,” ujar Dahlia.

“Gimana menurut kamu?”

“Bagus dong mah, Shena nanti ada temannya. Istrinya Revan,” ujar Shena.

“Nah itu tujuannya, tapi kalau kalian berdua maunya tinggal berdua aja. Enggak apa-apa kok, kita memaklumi,” ujar Dahlia.

Shena menggeleng. “Enggak, justru Shena mau banget. Enggak sabar Revan nikah. Kapan?” tanya Shena.

“Em, belum punya nih sebenarnya. Tapi kalau untuk soal jodoh-jodohan mah, bisa aja.” Dahlia menyeruput tehnya.

Shena merasa kasian, jika Revan harus dijodohkan sama seperti dirinya dan Randa. Cukup, Randa saja bukan? Selebihnya tidak usah, itulah menurut Shena. Namun bagaimana pun dia beropini kalau keluarga Randa memilih untuk menjodohkan Revan, Shena mah bisa apa?

10 menit selang mereka berbincang, Randa dan Revan muncul. Shena menoleh sejenak lalu kembali ke aktivitasnya, yaitu mendengar ocehan Dahlia. “Nah ini dia anaknya datang.”

Revan menaikkan alisnya saat tatapan beralih kepada dirinya. “Apa?”

“Kamu udah punya calon belum nih? Nyusul kakakmu,” ujar Dahlia.

Suaminya sedari tadi diam, dia hanya membuka suara jika dibutuhkan saja. Sibuk membaca koran sekali-kali menoleh ke sumber suara yang berbicara.

“Hah? Baru juga datang. Udah disuguhi pertanyaan kayak gitu, bukannya Revan udah bilang? Kalau Revan mau fokus sama kuliah dan perusahaan milik Papa?” tanya Revan.

“Hm, enak banget ya. Gue aja nikah sebelum lulus kuliah,” timpal Randa.

“Lo dan gue mah emang beda.”

“Apanya yang beda?”

“Takdirnya.” Revan terkekeh.

“Ya gimana ya, gue juga belum punya calon. Jangan dipaksa ya,” ujar Revan, sebenarnya dia sedikit menyindir orang tuanya yang memaksakan untuk Randa dan Shena menikah. Namun di sisi lain, orang tuanya juga pengertian. Bahkan Randa diberi waktu lama untuk mendekati Shena dan melakukan banyak hal sampai benar-benar disetujui.

Jadi jika dipikir-pikir ini bukan paksaan, tapi sesuatu yang ditawarkan-tawaran yang wajib dia lakukan.

“Hm.” Endra memperbaiki posisinya.

“Papa punya kenalan.”

Revan menghela napasnya pelan. “Please la jangan bahas itu sekarang bisa enggak?” tanya Revan.

“Shena butuh partner nih, kalau Revan udah nikah. Dia bisa tinggal di sini juga, ini rumah besar loh, ini warisan dari keluarga kita,” ujar Dahlia.

“Nah, gue butuh partner. Nikah deh cepat,” ujar Shena tertawa.

“Nikah bukan perkara main-main ya, mikir matang-matang sebelum nikah. Ini seumur hidup, semati, jangan sampai kalian nikah dua kali. Cukup satu kali aja,” ujar Endra.

“Bener kata Papa.”

Batin Randa berdecak, bukan perkara main-main katanya? Tapi kenapa mereka ngebet buat nikahin dirinya dengan Shena? Kelakukan tak sama seperti yang diucapkan. Randa membuka handphonenya, pergerakannya berhenti saat dia merasakan ada yang menatap dirinya.

Shena yang sedang menatap Randa, ketika ditatap balik seketika bungkam. Entah kontak mata ini seakan membawa dirinya terhanyut dengan tatapan itu. Karena tak tahan, Shena mengalihkan pandangannya.

****
Malam ini cukup melelahkan bagi dirinya, Shena menyandarkan tubuhnya di ranjang. Melihat Randa yang baru saja masuk dan duduk di tepi ranjang. “Randa.”

“Hm?”

“Gue, eh maksudnya aku boleh nanya enggak?” tanya Shena.

“Apa?”

“Kamu kok tiba-tiba berubah gini ya? Padahal baru lusa kemarin, kamu itu-“

“Bukannya seperti ini jauh lebih baik?” Randa menaikkan sebelah alisnya.

“Iya sih, cuman kalau dipaksain enggak usah ya. Please, aku enggak mau semua ini terjadi hanya karena formalitas semata,” ujar Shena.

“Terus maunya gimana?”

“Aku maunya semua yang kamu lakuin ini, karena benar-benar keinginan kamu. Bukan karena arahan atau aturan dari orang luar, bukan karena orang yang nyuruh kamu kayak gini,” ujar Shena.

Randa nampak berpikir, memang jelas bukan? Ini hanya sebuah formalitas saja. Mereka menikah juga karena kedua keluarga yang memiliki rencana dahulu, yang mengorbankan perasaan anaknya. Namun, berusaha Randa menyakini dirinya untuk menerima semuanya.

Namun, hatinya tak bisa sepenuhnya mencintai Shena. Cukup mengakui saja, sudah cukup bukan? Dan memperlakukan Shena seperti istrinya.

Itulah kewajibannya, tidak ada yang menyuruhnya untuk mencintai Shena kan?

“Udah tidur. Besok masih ada mata kuliah kan? Kita berangkat bareng, kalau nanti aku udah lulus kuliah. Pulang perginya tetap aku antar,” ujar Randa.

Shena menghela napasnya pelan, please jika Randa perhatian seperti ini. Takut Shena benar-benar baper dengan pria di sampingnya ini. Randa berusaha menutup matanya, Shena sempat memandang wajah tenang itu sejenak.

“Oke, good night.” Shena menarik selimutnya dan membelakangi Randa.

Randa kembali membuka matanya, dia menoleh ke Shena yang membelakangi dirinya. “Maaf enggak ada niatan untuk buat siapa pun sakit hati. Hanya saja, ini tetap menjadi sebuah formalitas belaka,” batin Randa.

Keduanya memilih untuk tidur, dan masuk ke alam mimpi masing-masing. Membiarkan tubuh lelahnya beristirahat.



Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang