“Gue dan Randa masih pacaran, belum putus.”
“Izinkan gue untuk tetap mempertahankan hubungan ini.”
“Tapi gue dan Randa udah nikah, lo gila ya?!” pekik Shena.
“Hubungan palsu yang kalian jalankan itu, sia-sia. Gue kasih dua pilihan, pergi dari kehidupan Randa untuk keluarga lo. Atau bertahan, untuk melihat apa yang akan terjadi.”
Shena mengigit bibir bawahnya dengan wajah yang sudah tak karuan mendengar ucapan Naila. Sangat-sangat ironis, Shena berusaha tegar akhirnya ketegarannya goyah saat itu juga.
Malam itu, malam yang menyakitkan baginya. Untuk mengatakan sesuatu dan mencegah hubungan orang yang saling mencintai, sepertinya Shena akan egois. Shena sadar diri, untuk tidak mementingkan diri sendiri.
Randa punya hak untuk memilih.
Namun pilihannya kandas, karena paksaan kedua orang tuannya. Karena Shena tau, diapun seperti itu.
***
“Gue hari ini boleh cuti enggak? Maaf ya, kak. Aku akhir-akhir ini teledor bekerja,” ujar Shena.
“Mau cuti berapa hari?” tanyanya.
Shena terdiam sesaat. “2 hari bisa, Kak? Tapi boleh nggak gajinya didahuluin? Soalnya untuk kemoterapi Kak Leana,” tutur gadis itu.
Rangga mengangguk. “Tunggu ya.”
Shena duduk lalu menghela napasnya pelan, beberapa saat kemudian Rangga keluar dengan membawa amplop berwarna coklat dan memberikannya kepada Shena.
“Ini ya, lo bisa mulai kembali kapan aja sih, sampai urusan lo kelar juga boleh. Asalkan engga lari aja,” ujar Rangga.
Shena membuka amplopnya, menghitungnya. “Ini kebanyakan, Kak.” Shena mengembalikan amplop itu.
“Gaji awal emang segitu, ambil aja.”
Shena menggeleng. “Gue tau kok gajinya berapa, enggak sebanyak ini.”
“Gue tau lo butuh sekarang, anggap aja ini hadiah deh buat lo. Karena lo bisa selesaiin ngerevisi naskah dalam semalam,” ujar Rangga.
Shena menghela napasnya pelan, lalu menatap sendu ke arah Rangga. “Kak, gue bingung harus ngomong apa. Tapi makasih banget udah bisa ngertiin,” ujar Shena.
Rangga mengangguk dan tersenyum. “Santai aja, kalau ada apa-apa lo bisa chat atau ngasih tau ke gue ya.”
***
Shena meremas kantung berisi minuman itu lalu menggigit bibir bawahnya menatap lautan yang luas ini dengan nuansa yang sangat indah. Membiarkan wajahnya diterpa angin malam, Shena berdiri di jembatan.
“Gimana dengan pilihan itu? Lo butuh uang kan? Gue tahu, gue bisa kasih lo. Asal semuanya bisa lo setujui.”
“Oke.”
Shena mengusap wajahnya. “Gue tolol, nerima persyaratan itu! Antara egois atau tidak, tapi gue bimbang!”
Shena menyetujui itu tanpa persetujuan Randa, dan jika Shena menahan Naila memperjuangkan kembali apa yang sebentar miliknya itu, Shena juga egois. Shena bimbang.
“Lo nggak boleh lemah, lo kuat!” Gadis itu memberikan semangat kepada dirinya. Lalu berjalan pulang ke rumahnya.
Perjalanan yang sepi, Shena hanya menatap dengan tatapan lurus ke depan. Hingga sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya. Shena menoleh.
“Mau nebeng enggak?” tanya pria itu, dengan alis yang terangkat.
“Mau lah, pegel gue jalan.” Shena langsung naik ke dalam mobil tanpa basa basi.
Mobil itu melaju hingga sampai di rumah Shena. Gadis itu berterimakasih dan masuk dengan jalan yang sedikit lesu, di depan pintu dia menghela napasnya dan tersenyum. Lalu mengetuk pintu.
****
Revan yang sedang bermain game terusik dengan suara kebisingan di bawah sana. Revan yang berada di balkon itu langsung menoleh ke bawah, melihat banyak sekali orang yang sedang bermain kembang api. Ini memangnya ada acara apa? Sampai ramai begitu.
Revan yang tak mau ambil pusing kembali bermain game, hingga sebuah notifikasi membuatnya mengernyit.
Room chat.
Shena : Gue mau ngomong.
***
Randa menatap orang di depannya, yang sedang tersenyum menatap langit di sana. Tatapannya tak pernah berhenti hingga gadis itu menoleh dan tersenyum. “Ngapain di situ? Sini deh liat, cantik banget.”
Naila menarik tangan Randa, membuat lelaki itu berdiri di sampingnya. “Ingat enggak waktu tahun baru? Kita juga main ini, kamunya ngelarang aku main. Tapi aku tetap main,” ujar gadis itu.
Randa tak merespon apa-apa. Naila tersenyum kecut lalu menatap Randa.
“Ran, salah nggak sih kalau aku perjuangin kamu lagi?” tanyanya membuat Randa menoleh, pria itu tak menjawab hanya diam.
“Eh kalian! Sini!” Panggilan Hendra membuat mereka menoleh, Naila langsung menarik Randa untuk duduk di sana.
Di sana juga ada Rajendra, papanya Randa, dan juga ada Rama, papanya Shena. Mereka tampak berbincang santai sambil menyeduh kopi. Randa sedikit canggung dengan suasana ini, apalagi melihat kedekatan dirinya dan juga Naila. Mereka tidak ada yang menegur? Randa pun heran.
Menyadari bahwa Revan tak ada di sini, kemudian dia berdiri hendak pergi namun Endra menahannya. “Kamu mau ke mana?” tanya Endra.
Randa berdecak dalam batin. “Mau ke atas temuin Revan.”
“Dia lagi ngegame jangan diganggu, tadi Papa udah ngajak dia enggak mau.”
Randa menghela napasnya pelan.
****
Leana sedang menatap dirinya di cermin, gadis itu memasang hijab pashminanya lalu tersenyum. Mengolesi sedikit make up agar wajah pucat tak terlihat, gadis itu berjalan keluar.
“Kamu mau kemana sayang?” tanya Dara melihat penampilan Leana dengan dress panjang yang dia kenakan.
“Mau jalan mah, penjemputnya udah nunggu di luar.” Dara terdiam, lalu menatap anaknya dengan lekat.
“Ayolah, Ma? Leana udah baik-baik aja, rajin kemoterapi.” Gadis itu tersenyum.
Dara mengangguk lalu mengantar anaknya keluar dari rumah, Dara menatap ke luar. Melihat mobil berwarna putih terpajang jelas di depan gerbang rumah. Leana mengambil tangan Dara dan mengecupnya. “Leana pergi, Ma.”
Dara terdiam, hingga seorang pria datang dengan jaket jeans yang dia kenakan, dengan kacamata hitam yang digunakan. Pria itu membuka kacamata hitamnya dan tersenyum. “Malam, Tan.”
“Kenalin, saya Rizky Billar. Panggil aja Billar,” ujarnya.
“Saya izin bawa anak tante malam ini.”
Leana terdiam lalu menatap ibunya. Dara menatap Billar dari atas hingga bawah, lalu menoleh ke Leana. “Oh ini yang sering kamu cerit—“ Leana menutup mulut ibunya lalu tersenyum.
“Beda orang kok, Ma. Udah ya.”
Malam itu Leana berhasil keluar dari rumahnya, karena tidak ada Shena di rumah. Namun keberuntungan tak sepenuhnya berpihak padanya, sebuah mobil berhenti di depan rumah mereka. Leana menatapnya, lalu melihat Shena yang turun. Matanya langsung menatap sang kakak bersama dengan orang yang sangat dia kenali.
“Lo?”
Leana menatap Billar saat Shena menunjuk pria itu.
“Shena? Yang kuliah di UI? Anak yang kerja di penerbit Rangga?” tanya Billar.
Shena membulatkan matanya sempurna, lalu menghela napas pelan, gadis itu mengangguk.
“Kalian kenal?” tanya Leana.
Leana terdiam di dalam mobil sambil menunggu orang di sampingnya ini membuka suara, setelah percakapan yang mereka lakukan di telefon.
“Em.”
“Gue nggak nyangka dia adek lo.” Billar masih fokus menyetir.
“Aku yang nggak nyangka kalian kenal. Kenal di mana?” tanya Leana.
“Pertama kenal pas ketemu di kampus, kenal juga nggak sengaja. Dan berakhir di penerbit Rangga, sahabat gue,” ujar Billar.
“Adek lo ambis.”
Leana tersenyum, lalu mengangguk setuju. “Iya dia seambis itu, bahkan semua biaya kemoterapi kanker aku dia yang bayar,” ujar Leana.
Billar menoleh. “Jangan bahas penyakit lo di dekat gue, lo udah janji.”
Leana menunduk. “Gue boleh minta sesuatu dari lo? Satu aja sebelum gue meninggal?” tanya gadis itu membuat Billar menghentikan mobilnya mendadak.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomanceFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...