Jadi Shena itu, enak tapi sulit.
****
Sore itu, Caca menatap orang di depannya.
“Ngapain lo selalu ngikutin gue sih?”
“Risih tau enggak.”
“Dari SMA sampai sekarang, enggak ada kapok-kapoknya.”
Caca tertawa. “Emang, cinta kan butuh perjuangan.”
“Enggak usah perjuangin orang yang hatinya untuk orang lain!”
“Gue suka sama sahabat lo, Shena. Semoga dengan ini lo jaga jarak dengan gue, karena alasan ini. Gue muak.”
“Muak sama cewek kayak lo, kecentilan dan enggak punya malu. Lo sebagai cewek harus punya harga diri. Lo mau gue tertarik sama lo?”
“Jadi seperti Shena.”
Natasya menangis di dalam pelukan Rara. Rara bahkan bingung, pagi ini Caca sahabatnya datang meminta maaf karena malam itu dirinya bersikap egois mementingkan dirinya saja.
Rara melepas pelukannya. “Semua orang emang egois, enggak ada di dunia ini orang yang nggak egois.”
“Kalian berdua sahabat gue. Gue enggak bisa mihak satu di antara yang lain, Ca?”
“Ca, lihat gue!” pinta Rara lalu memegang kedua pundak Natasya.
“Kita itu, sahabat. Dari SMP hingga sekarang, gue dan Shena sahabat dari kecil jaman bahenol. Kalian berdua sahabat gue.” Rara tertawa.
“Gue tau gimana sikap lo, dan gue tau gimana sikapnya Shena. Kalian berdua adalah sahabat yang paling baik buat gue, perlu lo tau kalau Shena itu enggak bakal khianatin sahabatnya sendiri.”
“Gue bahkan tau kalau Alfian suka sama Shena, tapi Shena bilang dia bakal menjauh dan menjaga jarak kalau memang itu perlu. Dia ngehargain perasaan sahabatnya,” ujar Rara.
“Cantik, cantiknya Shena itu bahkan semua cewek milikin, Ca. Termasuk lo!” Rara menunjuk ke dada Natasya.
“Tapi untuk menjadi seperti Shena seutuhnya itu sulit, gue akui kalau perkataan kakak gue memang sangat menyakitkan. Tapi lo tau kalau dia itu punya trauma sama cewek yang centilnya kayak lo.” Rara mencubit kecil hidung Natasya.
“Mencari sahabat seperti Shena itu nggak mudah, dia kaya tapi enggak sombong. Dia cantik tapi murah hati, dia disukai banyak orang karena punya wibawanya sendiri. Kakak gue ngomong kayak gitu, maksudnya sikap lo itu harus dibatasin, belajarlah dari pengalaman.”
“Cuek enggak papa, penting harga diri. Cowok kalau udah suka, bakal ngejar. Tenang aja,” ujar Rara.
Natasya memeluk Rara. “Lo nasehatin gue kayak gini kayak emak-emak tau, gue enggak suka sekaligus geli.”
“Cuman lo cantik kalau gini.” Natasya mengerucut bibirnya dan masih setia memeluk Rara.
Tepat di depan pintu mereka seperti ini. “Udah ah gue yang geli dipeluk kek gini, lihat ibu-ibu pada ngeliatin. Dikira kita lesbi apa,” ujar Rara.
Natasya menghapus air matanya. “Maafin gue.”
“Jangan ke gue, ke Shena aja. Sama ke diri lo sendiri, tetap jadi Natasya yang cantik dan cerewet.”
“Tapi tetap jaga harga diri.”
***
Shena menghela napasnya pelan, lalu mencoba menghubungi nomor-nomor yang ada kontaknya untuk meminta bantuan. Hingga pada titik di mana, dia menatap handphonenya lekat.
Naila.
Shena menggeleng. Terakhir dirinya memutuskan keputusan itu, dan terserah untuk mereka yang sedang bermesraan di sana. Setelah dirinya pikir-pikir Shena tak mau terima uang hasil keputusan konyolnya itu.
Bahkan setelah menyetujui semuanya, Naila tak lagi menelfon dirinya. Ah sungguh sial.
Kesialan yang baru muncul sekarang, Shena terserang berbagai konflik perpecahan dan juga serangan mental yang cukup kuat. Shena menatap celengannya dengan tatapan kosong, kemudian dia melangkah lalu menghempaskan celengan kecil itu.
Saat berumur 13 tahun, dia sering menyisihkan uang 500-an receh ke dalam sini. Walau belum penuh, Shena harus membongkar semua tabungannya demi kakaknya.
Menghitung semua uang yang berceceran lalu memasukkannya ke dalam tasnya. Total keseluruhannya adalah 300 ribu, Shena mengerjap lemah lalu bangkit.
Langkahnya berjalan menuju ATM, untuk mengambil uang sisa milik ibunya dan juga Dahlia. Namun, yang ada hanya uang Dahlia saja, ibu mertuanya dan itupun hanya 200 ribu saja. Kartu ATM ibunya kosong, mungkin karena pajak kelamaan tidak diisi jadi seperti itu.
Shena menghitung keseluruhan uangnya, 12 juta. Ini bahkan tidak cukup untuk operasi kakaknya, hanya cukup untuk kemoterapi saja. Dan itu pasti cuman 2 kali saja, Shena menyimpan uang itu.
***
Ke-empatnya berkumpul untuk membahas projek yang selesai tepat 3 bulan akhir ini. Rama menatap Randa berganti kepada Revan, lalu menatap ke arah Endra.
“Coba kalian telfon orang rumah,” ujar Endra lalu menatap ke kedua anaknya itu.
Revan menoleh ke arah Randa lalu mengambil handphonenya. Dan mencoba mendiall nomor Dahlia, namun tidak ada sahutan, lalu mendiall nomor Dara juga tidak aktif, Leana dan Shena sama halnya.
“Enggak ada yang aktif, Pa.”
Setelah percakapan singkat itu, Revan mengirimkan pesan chat kepada Rara dan Natasya tentang kenapa dua hari ini nomor Shena tidak aktif sama sekali.
“Aku mau ngomong, Pa.”
Randa memperbaiki posisinya. “Randa memutuskan untuk pulang, Minggu ini. Sehari lagi,” ujarnya.
Endra menatap putranya. “Alasannya?”
Randa menatap Revan. “Randa punya istri di Indonesia, hubungan kami juga masih sangat muda. Berpisah seperti ini, memberikan jarak yang luar biasa bagi kami,” ujar Randa.
Revan menatap Randa dengan tatapan biasa. Sudah sangat biasa, Randa, kakaknya memiliki sikap labil dan bodoh.
“Terus projek yang baru—“
“Revan bisa tangani semuanya sendiri,” ujar Randa.
Revan duduk dengan santainya, berusaha tak peduli.
Tok tok tok.
Pintu terbuka, terlihat 4 orang datang membawa sebuah berkas. Salah satu di antara mereka adalah Hendra, Hendra menyodorkan sebuah kertas pengajuan.
“Setelah mempertimbangkan, projek kalian memang luar biasa. Jadi, kami memutuskan untuk melanjutkan kerja sama ini ke tahap yang lebih tinggi lagi,” ujar Hendra.
Matanya langsung beralih kepada Randa. “Dan anak ini, pintar menghandle segalanya di bidang promosi, dan juga perkembangan, kegiatan dan juga aktiviti.”
“Maka dari itu, kami semua mengajukan surat perpanjangan masa kontrak bersama kami di sini. Dengan jabatan, Randa diangkat ke jabatan lebih tinggi.”
Revan menatap Hendra, lalu beralih menatap Randa.
Sudah dia duga. Naila itu licik, dan mainnya bagus. Jika Randa berusaha kabur, segala macam cara dia halalkan untuk tetap membuat Randa tetap di sini.
Revan tau.
Karena dia pun pernah seperti itu.
Dia pernah menjadi bajingan untuk seorang perempuan.
Yang tidak ada salahnya di mana, yang dia putuskan tanpa sebuah alasan yang jelas.
Revan dulu brengsek.
Tertampar kenyataan itu memang sakit, tapi ada manfaatnya. Seperti sekarang, Revan tau sisi di mana orang munafik yang sebenarnya, Naila memang orang baik. Tapi tak selamanya baik itu tidak memiliki sikap buruk.
Sebaik-baiknya manusia, dia pasti pernah berbuat buruk. Dan pasti bisa berbuat salah, tak selamanya berjalan di jalan kebaikan, karena jalur tetap ada yang sesat.
Dunia ini penuh dengan tipuan.
Siapapun bisa tertipu jika dia hanya memikirkan dunia.
Endra dan Rama menerima pengajuan itu. Revan duduk santai menatap kakaknya. “Keputusan kamu kali ini, Papa tidak setuju karena kamu sangat penting sekarang, Randa.”
“Makanya jadi orang jangan labil,” celetuk Revan.
“Revan aja yang pulang, Pa. Kasian mereka semua di sana, makan aja enggak tau gimana. Mendingan kita di sini, makan tetap ditanggung, hanya biaya cuci baju saja yang mahalnya kebangetan.”
“Prioritas kerja, namun yang utama tetaplah keluarga,” ujar Revan.
“Kalian tidak boleh ada yang pulang.”
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomanceFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...