38

243 34 6
                                    

Malam itu gadis dengan rambut dikuncir itu menatap langit malam, sambil mendengarkan lagu kesukaannya. Mendengar sebuah penuturan sang adik ipar baik seperti tamparan untuk Shena yang sekarang bersikap ke kanak-kanakan.

Bukannya dulu, dirinya menginginkan Randa untuk kembali? Dan menerima semua keadaan yang akan terjadi.

Nyatanya, Shena berdusta terhadap omongannya sendiri. Shena berusaha meresapi semua kata-kata yang diucapkan Revan. Seperti menjadi penengah dalam masalah, itu adalah Revan.

“Seharusnya bisa, kenapa tidak?” tanya Shena.

“Kamu bisa, Sel! Manfaatin keadaan ini karena kamu berhak bahagia. Itu kata kak Leana,” ujar Shena lagi.

“Kenapa harus takut kayak gini? Sedangkan kamu adalah orang yang berani! Bismillah, semoga apa yang Shena jalani diridhoi olehmu ya Allah.”

****

Shena menghela napasnya lalu tersenyum kecil, dia berjalan masuk ke dalam sebuah kamar dan mengintip secara perlahan, matanya melirik seseorang yang sedang menyisir rambutnya yang sedang basah. Shena kembali tersenyum lalu masuk ke dalam.

Belum sempat Shena membuka suaranya, lelaki itu menoleh lalu menaikkan kedua alisnya. “Kenapa?”

“Aku udah buat keputusan,” jawabnya.

Randa terdiam sesaat, lalu mengangguk. Sebenarnya ada rasa deg-degan sekaligus takut untuk mendengar jawaban dari Shena. Takut untuk berpisah, Randa mencoba untuk berpikir positif.

“Aku akan tetap mempertahankan hubungan ini.”

Randa membuka matanya, lalu mengulas senyum di sana. Shena mengulum bibirnya lalu menghela napas. “Ini demi papa dan mama, hanya semata-mata karena tak ingin memutuskan hal yang sebenarnya tak pantas diputuskan.”

“Maaf karena terlalu over thinking. Marah secara enggak jelas, atau ngeluarin kata-kata yang tidak pantas untuk didengarkan,” ujar Shena.

Randa langsung mendekap Shena. “Maaf ....”

****
Revan terdiam di ruang tamu, cukup bahagia melihat kakak dan kakak iparnya kembali seperti dahulu. Kini dirinya yang harus bisa memantaskan diri untuk menjadi seorang suami yang baik, kepada keluarganya kelak.

Masalah, boleh datang kapan saja.
Namun jangan jadikan masalah sebagai alasan kita menyerah dan berpisah dengan orang yang berharga dalam kehidupan.

Matanya menatap kedua insan yang datang beriringan dari tangga, nampak sebuah senyuman yang terpancar dari kedua mata mereka. Layaknya seperti orang yang mendapatkan kebahagiaan setelah menghadapi sebuah masalah.

Dahlia tersenyum dan menyambut hangat anak-anaknya untuk duduk dan makan malam bersama.

Endra menatap anaknya silih berganti. “Setelah apa yang kita lalu bersama, jadikan sebuah pembelajaran untuk ke depannya,” ujar Endra.
****

Teriknya matahari tidak menjadi halangan untuk Shena kembali beraktivitas. Langkahnya masuk ke dalam sebuah perusahaan yang sangat besar, membawa sebuah paper bag.

Sepanjang perjalanannya, hanya ada sapaan dan senyuman orang-orang kepada dirinya. Shena membuka sebuah pintu ruangan, seseorang menoleh dan menatapnya.

“Datang kenapa nggak bilang? Bisa dijemput,” ujarnya.

Shena tertawa. “Ngapain harus bilang, orang sengaja. Mau bawaiin ini, nggak boleh jajan di kantin perusahaan terus,” ujar Shena.

Randa membuka paper bag itu, lalu tersenyum mengusap pucuk kepala Shena. “Terimakasih.”

Klek.

Shena menoleh, seorang perempuan datang dengan berkas di tangannya. Randa menoleh lalu kembali menatap istrinya.

“Ini surat pengunduran dirinya,” ujar Naila sekilas melirik Shena lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Shena menghela napasnya.

“Kenapa?”

“Enggak, cuman ngi—“

“Jangan ngira hal yang buruk ya? Tetap berpikir positif. Aku kan udah jujur kalau hati—“

“Hati kamu itu cuman buat aku,” ujar Shena seolah sudah hapal dengan kalimat itu.

Randa terkekeh. “Ini mau disuapin apa gimana, masa cuman dibawain doang.”

Shena menggeleng. “Kan udah besar, makan sendiri aja. Jangan manja deh,” ujar gadis itu.

“Sesekali biar romantis.”

Ada sebuah guncangan di hatinya, mendengar setiap kata-kata manis yang Randa ucapkan untuk dirinya. Rasanya begitu nyaman berada di posisi ini, tak mau berpindah.

Sudah nyaman.

Setelah membawa makanan untuk makan siang Randa. Shena berjalan menuju rumah Natasya, sahabatnya itu masih dalam keadaan kacau sepertinya karena tak ada kabar, semua akun sosial medianya juga tidak ada yang aktif seolah mati.

Dan di sinilah Shena berada. Natasya duduk dengan senyum penuh arti. “Gue beruntung bisa ketemu lo lagi,” gumam Caca.

Gadis itu memeluk erat tubuh Shena, Shena terdiam sesaat lalu membalas pelukan itu. “Kenapa?”

“Nggak apa-apa. Gue kira lo lup—“

“Astagfirullah, mana mungkin gue lupa sama lo? Gue ini sahabat lo, Ca?”

Caca tertawa lalu mendengus geli. “Ya bisa aja kan, soalnya setelah Rara nikah 2 bulan setelahnya kalian sama sekali enggak aktif di grup. Paling gue doang yang nanya, terus setelah itu grupnya mati,” ujar Caca.

“Padahal mah enggak, gue emang lagi sibuk kerja mah.” Shena mengusap air mata Caca.

“Jangan nangis atuh, gue doain deh semoga cepat dapat jodoh,” ujar Shena.

Caca mengangguk.

“Akhirnya gue bisa move on dari dia,” ujar Caca dengan senyum penuh arti.

Shena menatap lekat wajah Caca lalu mendengus geli. “Nggak yakin sih, cuman gue percaya deh. Lo kan emang ambis ya?”

“Gimana ya. Gue capek gamon, bikin sakit ati banget. Kalian gue doain semoga rumah tangganya samawa,” ujar Caca.

“Aamiin, Aamiin.”

“Ngomong-ngomong soal ini, Rara gue undang juga ke sini. Cuman dia belum bales chat gue dari tiga hari yang lalu, dia kayaknya sibuk banget ya? Ampe nggak bales chat gitu,” ujar Caca.

“Ya gimana ya, kesibukan kita masing-masing berbeda.”

“Bener. Dan gue kayaknya yang paling gabut di antara kita semua,” ujarnya diakhiri kekehan.

“Jangan gitulah, Ca. Gue enggak enak tau enggak kalau lo gitu, kapan pun lo butuh gue? Gue akan selalu ada, In syaa Allah. Kalau emang handphone gue enggak aktif, lo bisa datang ke rumah gue,” ujar Shena.

Caca sempat salah mengira soal kisah percintaan yang dia anggap akan berakhir dengan baik setelah banyak perjuangan yang dia lakukan selama ini. Ternyata semuanya seperti angin saja.

Angin lalu.

Yang berusaha Caca lupakan, sayangnya angin itu yang memberikan kesejukan kepada dirinya.

Sekaligus membuat dirinya dingin, jika kelamaan merasakan angin itu.

****
“Udah pulang?” tanya Shena menoleh ke belakang. Dirinya baru saja selesai merapikan tempat tidur, untuk malam ini.

“Iya lama banget ya? Kamu nunggu?” tanya Randa melepas jaketnya.

“Nggak sih, ini juga masih jam 11 malam. Kebiasaan ngalong jadi biasa aja tidur kemaleman,” tutur Shena.

“Nggak baik tidur kemaleman.”

Randa masuk ke dalam kamar mandi. Shena terdiam duduk di pinggir ranjang, menghela napasnya pelan. Lalu mengusap wajahnya.

Randa yang baru saja keluar dari kamar mandi menatap Shena sekilas lalu bertanya, “Kenapa?”

“Kamu tau enggak?”

“Apa?”

“Kalau sebenarnya aku sama Revan itu pernah punya hubungan?”

Randa memberhentikan aktivitasnya lalu menoleh, sambil mengernyitkan dahinya. “Hubungan? Iyakan, adik dan kakak ipar,” ujar Randa.

“Bukan itu, maksudnya aku dan dia itu pernah punya hubungan sebelum kamu dan aku menikah. Revan udah cerita soal itu apa belum?” tanya Shena.

























































Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang