10

1.2K 93 12
                                    

Sepulang dari kampus, Randa langsung duduk di sofa menatap Shena yang tengah sibuk dengan bukunya, Shena merasa dipandang akhirnya menoleh. “Hm, gue mau ngomong bentar,” ujar Shena.

“Gue mau minta maaf soal semalam,” ujar Shena.

“Gue tau lo marah, kecewa, kesal tapi gue benar-benar enggak tau kalau ada pencurian di rumah ini.”

Randa masih tak bergeming.

“Ayolah, gue janji deh enggak bakal ngulang lagi.” Shena memohon.

“Kenapa lo jadi mohon gini? Emang maaf gue penting buat lo?” tanya Randa.

Shena tertegun, dia berusaha untuk mengalah saat ini. “Kan gue salah, maafin ya.”

“Ngaku juga kalau salah.”

“Iya gue salah. Maafin atuh,” ujar Shena.

“Kalau enggak gue maafin kenapa?”

“Ya gapapa sih sebenarnya, gue enggak maksa kayak hubungan ini,” ujar Shena.

Randa menatap Shena lama. “Nggak bisa berubah lo ya,” ujar Randa.

Shena mendengus pelan. “Mau lo apa? Gue udah minta maaf jangan mancing lagi deh, lagian apa sih yang ada di dalam laptop lo itu? Skripsi? Nanti gue bantu buat deh,” ujar Shena.

Randa berdecak. “Lebih penting dari itu,” ujarnya.

“Apa?”

“Enggak penting buat lo.”

“Oh baguslah, setidaknya gue enggak kepikiran banget soal hilangnya laptop itu,” jawab Shena enteng.

“Kan gue udah minta maaf, kalau enggak dimaafin ya terserah lo aja sih. Gue enggak maksa. Makasih,” ujar Shena tersenyum sekilas lalu pergi meninggalkan Randa.

Sebuah pesan muncul di handphonenya, from Revan.


Revan melempar sebuah foto. “Munafik lo ya,” ujarnya.

“Katanya mau lupain dia, katanya mau mula kehidupan yang baru dengan Shena. Nyatanya lo masih aja belum move on sama dia, apa susahnya sih lo nerima semuanya?” tanya Revan.

“Lo kenapa jadi ngatur gue kayak gini?” tanya Randa heran.

“Urusan pribadi gue, adalah urusan gue. Jangan ikut campur apalagi marah kayak gini,” ujar Randa lagi.

“Gue cuman mau lo paham sama arti hubungan lo sama Shena, Naila itu cuman masa lalu. Lo pernah bilang kalau lo udah hapus semua foto dan videonya, tapi apa? Bahkan lo masih nyimpan banyak.”

“Emang kenapa sih? Lagian walau pun gue ingat Naila setiap saat, takdir udah buat gue nikah sama cewek yang enggak bisa gue cintai,” ujar Randa.

“Lo cemen jadi laki kalau kayak gitu, Kak. Lo marah sama Shena karena laptop lo hilang, laptop yang isinya cuman kenangan lo sama Naila. Apa gunanya sih?” tanya Revan.

Randa menoleh. “Siapa yang ngasih tau lo kalau lap-“

“Gue yang ambil laptop itu, lo kira gue enggak tau apa? Papa dan Mama nyuruh gue buat mata-matain lo. Berharap lo bisa nerima Shena ternyata enggak,” ujar Revan.

“Sejak kapan lo jadi peduli banget sama Shena?”

“Karena dia kakak ipar gue.”

“Cuman kakak ipar kan? Atau jangan-jangan lo suka sama Shena?

“Jangan ngaco lo deh, kalau gue suka sama dia. Mending gue aja yang nikah sama dia bukan lo!” ujar Revan.

Randa terdiam.

“Gue cuman enggak mau lo kembali mengingat Naila, orang yang udah ninggalin lo dulu.”

“Lo tau apa sih soal dia? Yang lo tau cuman dia pergi, selebihnya enggak,” ujar Randa.

“Emang. Karena menurut gue enggak penting tau banyak soal dia,” ujar Revan.

Randa mengusap kepalanya pelan.

***

Malam ini malam yang cukup bahagia untuk Shena, Randa mengajaknya untuk bersenang-senang malam ini! Shopping! Ya walaupun pria itu hanya mengekori dirinya setidaknya Shena merasa puas malam ini.

“Weh tumben banget lo baik, tadi siang aja marah-marah.” Shena sibuk dengan bobanya.

“Iseng aja.”

“Sering-sering isengnya biar gue dapat untung. Sumpah, gue enggak nyangka lo bisa baik kek gini, udah lama gue enggak beli barang-barang. Soalnya selama gue kuliah Mama dan Papa ngatur uang saku,” ujarnya.

“Wajar sih, lo beli barang sehari bisa 4 juta kali.”

“Eh enggak ya, gue beli yang penting-penting doang bahkan gue makenya bisa sampai 6 bulan. Mereka aja pada pelit,” ujar Shena menyerocot panjang kali lebar.

Randa mengamati wajah Shena. Mengingat kembali ucapan adiknya yang begitu marah padanya, bingung kenapa adiknya bisa jadi ganas seperti tadi. “Sel.”

“Hm?”

“Gu-“

“Eh itu es krim lo enggak mau dimakan? Gue aja sini, kasian dia nangis tuh.” Shena menunjuk bagian es yang mencair, Randa tertawa dan mengangguk.

“Iya-iya apa yang mau lo bilang?” tanya Shena.

“Gue cuman heran sama lo. Kok lo sikapnya bisa berubah-ubah gini ya?” tanya Randa.

Shena mengernyit. “Hm, bukannya lo yang berubah-ubah ya? Gue liat nih ya, tadi pagi lo cuek, lo marah, tau-tau pulang dari rumah lo eh langsung baik kek gini,” ujar Shena tertawa.

Sebuah pesan masuk.

Revan adik ipar
Gimana? Selamat kencan, hahaha!

Shena tertawa melihat handphonenya, Randa mengamati Shena sambil melirik handphone Shena membuat sang empu risih. “Ih apaan! Kepo lo sama chatan gue ya?” selidik Shena.

“Dih, enggak ya. Cuman kalau duduk berdua itu mending handphonenya disimpan, enggak sopan.” Randa menarik handphone Shena.

“Ih! Enggak, lo aja sering gitu kok. Gue nya aja yang terlalu sabar makanya enggak peduli lo mau boker, mau main handphone, mau selingkuh, ups!” Shena menutup mulutnya.

Randa menaikkan sebelas alisnya. “Ulang?”

“Enggak!” Shena menggeleng.

Shena kembali memainkan handphonenya membuat Randa mendengus pelan, ternyata begini rasanya dicuekin. Randa sempat mengingat sesuatu;

“Gue lagi suka sama seseorang, lo jamin bisa buat gue berpaling dari dia?” tanya Shena sambil menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum.

“Gue jamin.”

“Jaminannya?”

“Lo bakal suka sama gue.”

Randa mengingat itu, di mana dirinya sudah menjaminkan kalau Shena akan berpaling dengan orang yang dia sukai, seperti saat ini mungkin saja, Shena sedang chatan dengan pria yang dia sukai?

Ya mungkin saja. Sebelum saat itu, Randa benar-benar sulit untuk menuntaskan jaminannya-karena Naila kembali, seakan membuat dirinya kembali terusik, bukan dirinya tapi hati dan pikirannya.

“Woy!” Shena berteriak.

“Apa?”

“Lo kenapa sih? Ngelamun aja, gue udah capek. Gue mau pulang!” ujar Shena berdiri.

Randa menghela napasnya pelan. Kini mereka berada di dalam mobil, Shena terdiam sepanjang perjalanan. Randa sesekali melirik Shena yang sedang bersandar dan menatap ke arah jendela.

Bahkan Shena tetap termenung walau handphonenya terus menyala karena notifikasi. Randa fokus pada jalanannya. 20 menit perjalanan mereka sampai.

“Parah nih cewek, padahal cuman 30 menit doang. Dia udah tidur.” Randa menghela napasnya pelan.

Dengan terpaksa, dirinya menggendong Shena dengan ala bridal-nya. Randa menatap jelas wajah Shena yang terlelap dengan pelan, dia menurunkan Shena ke kasur king milik mereka.

Randa mengambil barang-barang Shena. Melihat beberapa, termasuk jam tangan couple. “Ada-ada aja, jam tangan couple for what?” monolog Randa.

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang