Dia, siapa?
Randa menghela napasnya pelan, menatap nanar ke arah langit tepat di balkon rumah. Jam sudah menunjukkan pukul 3 larut malam. Randa tak bisa tidur semenjak Shena terus bertanya tentang hubungannya dengan Revan, padahal Randa sendiri tak tau jelas hubungan mereka. Untuk saat ini pastinya hanya Revan aja yang bisa membantu Shena.
Membantu mengingat semuanya.
Shena yang merasakan aura yang jauh lebih dingin membuka matanya perlahan, melihat pintu balkon terbuka membuat gadis dengan rambut sepunggung itu bangun seutuhnya. Kakinya perlahan berjalan ke arah Randa yang sedang berdiri membelakangi dirinya.
“Ngapain? Kenapa enggak tidur?”
Randa menoleh sekaligus terkejut.
“Ah sorry kalau ngeganggu.”
Shena menggeleng lalu mensejajarkan posisinya dengan Randa. “Enggak kok, emang sering bangun jam segini.”
“Btw kalau pertanyaan atau hal yang aku bilang bikin kamu kesel, maaf ya.”
“Hm.”
Shena menoleh lalu terkekeh.
“Aku percaya,” tuturnya.
“Percaya kalau emang kita itu udah nikah.”
“Sayangnya cincin pernikahan kita enggak ada. Jadi, makin ragu deh.”
“Tapi keraguan itu hilang saat ada buku nikah yang kamu perlihatkan.”
“Berbelit, jadi?” tanya Randa.
“Aku suka kesulitan, makanya berbelit. Untuk sekarang aku bisa percaya, semoga aja ke depannya akan seperti itu. Lagian amnesia ini hanya sementara kan? Seiring berjalannya waktu, aku bakal inget semuanya,” ujar Shena.
Randa tersenyum dan mengangguk.
“Kalau mau tanya soal hubungan kamu dengan Revan itu, silahkan tanyakan sendiri kepada orangnya, aku tak tahu menahu soal masa lalumu.”***
Naila mengoles selai di roti, sesekali menoleh ke arah Shena dan Randa yang tengah sibuk berbincang. Gadis itu menghela napasnya pelan. “Kamu duduk aja di sana, nanti Mama yang lanjutin,” ujar Dahlia membuat Naila mendongak.
“Nggak apa-apa, Ma. Ini gampang kok.”
Revan menoleh ke arah samping, menatap Naila yang sibuk dengan kerjaannya lalu kembali menatap Shena dan Randa bersamaan. Ternyata semuanya sesuai dengan ekspektasi dirinya, mungkin saja Naila hanya ingin membuka hatinya kepada orang berbeda bukan kepada Randa saja.
Tapi, kenapa harus dirinya? Sejak pertemuan yang singkat itu, Naila terus membantu dan sering menghubungi dirinya. Walau risih, dan berakhir mengancam hingga ... Shena kecelakaan.
Revan berhenti mengunyah, lalu menggeleng. Kenapa pikirannya terlalu jauh? Jangan sampai Revan menuduh Naila sebagian penyebab Shena tertabrak.
“Hari ini ada rapat penting, kalian berdua harus ikut ke kantor,” ujar Rajendra.
Revan dan Randa mengangguk.
“Oh ya, Papanya Naila ngajak kerja sama lagi. Kalau kalian pengen, kita bakal diskusiin itu lagi,” lanjutnya.
Naila tersenyum mendengar namanya disebut, gadis itu duduk dan meneguk susunya. Matanya menoleh ke arah Revan yang sibuk memakan nasi gorengnya.
Kalau dilihat-lihat Revan memang tampan, walau Randa jauh lebih. Ah pikiran Naila terlalu jahat.
***
Shena sampai di sebuah rumah besar, kakinya melangkah masuk ke dalam rumah besar itu, terlihat sunyi.
Shena masuk tanpa permisi, Randa hanya bisa mengantar dirinya saja. Tak bisa berlama-lama karena ada rapat yang penting. Dara yang kebetulan lagi menyiram bunga menoleh dan mendapati anaknya berjalan santai masuk ke rumah.
Dara tersenyum lalu menyusul masuk.
“Hai sayang.”
Shena tersentak kecil lalu menoleh.
“Hai, Ma.”
Dara menggiring anaknya masuk. “Kamu sendiri ke sini? Nggak bareng sama Randa atau yang lainnya?” tanya Dara.
“Hm, enggak. Cuman dianter.”
“Baguslah kalau gitu,” ujar pria paruh baya dengan baju kasualnya.
“Selama kamu masih sakit, mending kamu di sini aja, Nak,” saran Rama.
Dara menoleh. “Kan lebih bagus kalau dia tinggal sama keluarga suaminya,” ujar Dara membantah.
“Lebih bagus adalah keluarga sendiri, jangan sampai orang di sana mengada-ada soal masa lalu dan juga apa yang sudah kamu alami selama ini, Nak.”
*Papa khawatir ....”
“Khawatir kenapa?” tanya Shena.
“Shena bisa jaga diri kok, ke sini cuman mau nanya. Kenapa Papa bilang Randa bukan suami Shena?”
“Sedangkan orang-orang mengira dia adalah suami Shena, bahkan ... mama pun.” Matanya menoleh ke arah Dara.
“Karena ada hal besar yang belum kamu ngerti selama ingatan kamu belum kembali’ pulih,” ujar Rama.
“Kamu dengerin Papa kalau mau dapat yang terbaik,” ujarnya Final tak ingin dibantah.
“Tapi pa—“
“Shena, nggak ada penolakan. Mending kamu ke kamar istirahat, jangan terlalu memikirkan hal yang berat bahaya dengan kepala kamu.”
Shena menghela napasnya pelan, lalu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar yang bahkan dia lupa letaknya.
“Kamar Shena mana?”
“Dipojok kanan,” jawab Rama.
Dara menatap suaminya lalu menggeleng. “Kenapa sih, Pa? Bukannya lebih baik kalau Shena di sana? Kehidupan dia bakal di sana, Pa. Bukan di sini lagi.”
“Ada hal yang belum kamu ketahui, Dara.”
“Apa? Katakanlah, biar aku tidak memikirkan hal negatif tentang dirimu,” ujar Dara.
Rama menggeleng. “Tidak perlu.”
Dara mengernyit.
“Sejak kapan kamu nutupin hal-hal ya—‘
“Ini soal hubungan Randa dan Naila, apakah kamu lupa soal itu? Untuk apa keluarga Randa menikahkan Revan dengan Naila, jelas-jelas mereka sempat memiliki konflik yang bahkan berpengaruh soal Shena, anak kita.”
Dara terdiam.
“Shena untuk sekarang perlu dijaga dari orang seperti Naila, takut dia terlalu mempengaruhi Shena dan mengatakan hal-hal aneh selama ingatan Shena belum pulih, saya hanya ingin anak saya baik-baik saja.”
“Untuk sementara ini.”
“Tapi, kenapa Papa bohong kalau Randa bukan suami Shena?”
“Karena Papa tau, amnesia Shena hanya sementara. Berlaku sementara saja, dia akan mengingat seiring berjalannya waktu bersama dengan masalah yang pernah dia hadapi,” ujar Rama.
***
Revan menatap laptopnya. Kini Randa sedang duduk di depannya dan menatapnya entah ingin apa, Revan tidak tau.
“Kali ini aja, Revan.”
“Kalau gue bilang enggak ya enggak lah,” ujar Revan.
“Kenapa sih?”
“Otak lo dangkal apa gimana sih? Kalau gue yang ngebantu Shena, akan ada cencok dari Naila juga kan? Takut terjadi hal yang tidak diinginkan,” ujar Revan.
“Gue yang bakal jaga Naila untuk tidak ngeganggu kalian,” ujar Randa.
“Tuh kan tambah miring deh otaknya, malah itu nunjukin kalau lo lebih ngawasin Naila daripada Shena, dia bisa jauh lebih percaya kalau gue dan dia itu masih punya hubungan,” ujar Revan telak.
Randa terdiam.
“Terus gue harus gimana?”
“Lo yang bawa dia buat pulihin ingatannya. Mau dibawa kemana pun, asal jauh dari orang yang membawa dampak negatif, sekalipun itu gue.”
“Tapi ... papa Shena ....”
“Berjuanglah, jangan kek gini. Randa jaman kapan lemah dan suka minta saran nih? Biasanya juga batu,” ujar Revan meledek.
“Yee, sekali-kali lo bantuin.”
“Gue udah bantuin berkali-kali,” balasnya.
“Yaudah makasih atas bantuannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomanceFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...