25

919 76 5
                                    

Shena mengintip di balik kamar miliknya, melihat sosok kakaknya yang sedang tidur dengan buku yang berada di tangannya. Shena mengendap-endap masuk dan menarik selimut hingga menutupi setengah dari tubuh kakaknya, dia mengambil buku dari salah. Shena membukanya.

Ada tiga hal yang ingin aku lakukan, sebelum benar-benar pergi meninggalkan dunia ini.

Shena menatap kakaknya sejenak, lalu kembali membacanya.

Melihat adikku bahagia dengan pasangannya tanpa ada perpisahan; Membahagiakan kedua orang tuaku; Menikah dengan orang yang aku cintai.

Shena menutupnya, tak sanggup membaca di bagian awal. Yang ada bukannya dia senang, malah makin sedih, jujur dia sering melihat kakaknya terakhir kali sebelum dirinya menikah adalah membuka buku ini dan menuliskan sesuatu. Shena tak berhak tau, karena ini privasi. Namun, Shena kali ini melanggar apa yang sudah dia tetapkan sendiri.

Mencoba mewujudkan keinginan kakaknya adalah hal yang sulit, Leana dan Shena jarang berkomunikasi membahas soal percintaan. Mereka hanya membahas masalah pertemanan, dan selebihnya tidak ada.

Ting!

+4930*****
: Pertimbangannya gampang, kamu cukup bilang iya apa tidak.

Shena mengernyit dahinya, padahal sore itu. Orang yang mengirim pesan kepada dirinya menggunakan bahasa Inggris, sekarang berubah jadi bahasa Indonesia.

You : Siapa sih lo? Kalau gak penting, gue block.

Beberapa detik. Ting!

+4930******
: Aku Naila.

You : Naila? Tawaran apa maksud lo?

+4930*****
: Call sekarang.

Shena langsung memencet tombol panggilan.

****
Randa mencoba untuk tidur malam ini, pikirannya lari kemana-mana sampai saat ini dirinya berusaha berpikir jernih. Sampai kapan semuanya akan kembali seperti dulu?

Revan menoleh ke arah Randa, Revan baru selesai bermain game. “Lo nggak tidur? Kalau apa yang gue omongin itu buat pikiran lo terkuras, gue minta lupain semua itu,” ujar Revan lalu tidur membelakangi Randa.

“Revan.”

“Hm.” Revan masih memejamkan matanya.

“Gue boleh balik ke Indonesia? Dan lo aja yang nerusin semua ini? Gue kayaknya udah nggak bisa deh,” ujarnya membuat Revan membuka matanya sempurna.

Revan terdiam sesaat lalu mengubah posisinya menjadi terlentang, dengan tangan yang dia jadikan bantal. “Kalau gue enggak sanggup dan malah bikin kacau gimana?” tanya Revan tidak yakin dengan keputusan yang diambil Randa.

“Oke gue emang salah nyuruh lo pulang kemarin-kemarin, gue hanya takut kalau lo dan Nai—“

“Gue paham semua maksud lo tanpa lo perjelas lagi, makanya gue memutuskan untuk pulang kali ini. Setelah lo pergi dari sana, Mama nelfon gue.”

Revan menoleh ke Randa yang sedang sibuk menatap langit-langit villa kamar ini.

“Dia bilang Shena kerja sambil kuliah, dia yang ngurus semua hal di rumah. Dan dia bilang kalau uang yang selama ini kita transfer itu enggak masuk ke rekening mereka,” ujar Randa.

Revan mengernyitkan dahinya bingung. “Enggak masuk gimana? Jelas-jelas transaksinya berhasil.”

“Kayaknya ....” Revan memikirkan sesuatu.

“Ada pembobolan deh,” gumam pria itu.

Randa tak mau memikirkan itu dulu, dia ingin membicarakan soal keputusan malam ini. Kalau tidak selesai malam ini, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.

“Gue mau pulang ....” Randa mengusap wajahnya.

Revan menghela napas dan mengubah posisinya menjadi setengah duduk dengan bersandar di kepala ranjang. “Lo bisa pulang kalau emang itu keputusan lo, gue bisa kok ngelakuin ini dengan Papa dan On Rama,” ujar Revan.

“Cuman gue mau tau alasan lo mau balik apa? Shena?”

Randa menggeleng. “Gue enggak bisa di sini, selagi dia masih ada di sini.”

“Naila maksud lo?”

Randa terdiam.

Revan tertawa kecil, lalu memandang objek lain. “Entah untuk ke berapa kalinya gue jadi penasehat lo. Gue cuman pengen lo bersikap biasa aja, dan selesaiin urusan lo dengan dia yang belum lo selesaiin,” ujar Revan.

“Udah telat ....”

Revan mengernyit.

“Gue dan dia belum putus.”

“Kenapa lo enggak bilang dari awal, kalau lo dan dia itu belum putus? Segera gue mohon sama lo, untuk putusin hubungan toxic itu deh.” Revan kembali tidur, dia tak mau berdebat malam ini. Dia sudah cukup capek untuk memberikan dorongan kepada kakaknya itu, dengan menghilangkan stress malam ini dia rela untuk terus bermain game.

Dan kejutan apa lagi malam ini.

Randa sudah tau respon adiknya akan seperti apa. “Jaga omongan lo, hubungan itu sama sekali enggak toxic.”

“Kalau bukan toxic apa? Hubungan yang kalian jalanin sekarang, itu terlarang bego.” Revan tak habis pikir.

“Gue udah mutusin dia!” ujar Randa.

“Gue emang salah, gue bodoh. Enggak mutusin semua ini sebelum gue benar-benar membuka hati gue buat Shena, istri gue.”

“Dan kali ini gue benar-benar terjebak dalam hubungan ini, karena Naila enggak mau ini semua berakhir seperti ini.”

“Di sini lo harus milih, tetap bertahan pada yang awal atau berhenti untuk memulai yang baru,” ujar Revan.

***
Pagi yang sangat menyebalkan bagi Revan harus bertemu dengan Naila, Revan bahkan tak mengucapkan satu kata pun. Namun Naila justru memancing emosinya pagi-pagi.

“Gue bisa kan berjuang demi mendapatkan kembali hak gue?” tanya Naila tepat saat itu Revan berbalik.

“Hubungan apa maksud lo? Hubungan lo sama Randa itu udah selesai sampai sini,” ujar Revan.

“Hubungan kita itu dilandasi oleh dua perasaan, semuanya enggak bisa berakhir jika salah satu dari mereka belum memutuskan.” Naila tersenyum.

“Terus lo mau jadi murahan buat rebut suami orang?” tanya Revan.

Naila tertawa lalu bertepuk tangan. “Lebih murah siapa? Menikahi pacar orang tanpa sepengetahuan pacarnya,” ujar Naila.

“Ya walaupun, gue enggak pasti gimana. Mereka nikah kan cuman karena perjodohan, dan Putri udah bilang semuanya.” Naila maju selangkah.

“Kita pernah hampir menjadi kakak-beradik ipar,” ujar Naila.

“Cuman dihancurkan karena perjodohan konyol orang tua kalian itu,” ujar Naila.

“Jangan pernah bawa-bawa orang tua kami dalam urusan ini, lo murah tau enggak. Randa itu udah putusin lo, tapi lo masih aja ....” Revan menggeleng-geleng.

Naila mengangguk. “Kapan Randa mutusin gue?” tanyanya dengan tawa diakhir kalimat.

“Lo munafik tau enggak!” Naila menunjuk Revan lalu pergi.

“Lo bela-belain buat ngedukung kakak lo tetap pertahanin perasaannya, namun lo sendiri ngelupain perasaan lo.”

Naila pergi.

Revan menghela napasnya pelan, lalu berusaha beristighfar. Dia menatap ke arah depan, membiarkan angin pagi menyentuh kulitnya.

Naila berbalik. “Maafin gue, Revan. Gue enggak bermaksud buat ngelakuin ini, cuman perasaan gue gimana? Bisakan gue egois untuk hal ini ....” Gadis itu pergi dari rooftop.

Naila berjalan di sepanjang koridor perusahaan. Lalu tak sengaja dia menabrak seseorang yang sedang membawa sebuah berkas, matanya turun ke bawah mengambil berkas itu. Lalu memberikannya kepada orang yang dia tabrak. “Eh Randa ... sorry aku enggak lihat,” ujarnya.

“Lo liat Revan? Gue cari anak itu, dari pagi belum ketemu.”

Naila mengulum bibirnya lalu menarik tangan Randa ke suatu tempat. Berhenti di sebuah ruangan yang minimalis namun dipenuhi dengan barang-barang yang sepertinya sudah kusam.

Randa meraih pigura itu dan melihat foto-foto yang terpanjang di sana. Matanya menatap Naila yang sedang menatapnya. “Kamu lupa ya sama semua ini ....”

“Termasuk hubungan yang pernah kita jalani? 5 tahun, Ran.”

“5 tahun, kita pacaran. Setahun kita berpisah, dan kamu udah nikah. Ngelupain semua hal-hal indah ini,” ujar Naila.

“Kamu enggak tau seberusaha apa aku untuk bisa menjadi sekarang,” ujar Naila.

Randa memejamkan matanya. “Terus kenapa lo pergi ninggalin gue, kalau akhirnya lo bakal kembali kayak gini?”

“Semuanya udah telat.”

Naila menggeleng. “Aku enggak berniat buat ngelakuin ini sama kamu, aku ngelakuin ini juga demi kamu. Ingat apa yang Mama kamu bilang ke aku dulu? Jangan pernah kembali, saat kasta kita belum sama,” ujar Naila.

“Aku ngubah semua kehidupan aku demi kamu, nyatanya kamu yang berkhianat! Kamu yang munafik!” Naila menutup wajahnya.

“Apa lagi, yang harus aku lakuin demi kamu. Ngebantu kalian di saat seperti ini, namun sepertinya sama saja. Om Endra emang enggak tau ....”

“Tapi, kamu dan Mama kamu tau segalanya.” Naila membelakangi Randa, berusaha mengontrol emosinya.

Lalu terisak pelan, Randa memegang pundak kanan Naila dan membawanya ke dalam dekapannya. “Maaf ....”

TBC

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang