13

1.1K 100 12
                                    

Semua punya kadarnya masing-masing kan?

****

Hari ini, Randa sudah menyelesaikan jenjang perkuliahannya, tentunya bukan menjadi hal biasa untuk dirinya. Melewati masa-masa sulit untuk mengejar cita-cita dan masa depan.

Namun, kebahagiaan itu justru menjadi hal yang canggung untuk dirinya. Kedatangan sosok orang yang berusaha untuk dia lupakan.

Naila Prawita.

“Aku datang ke sini cuman mau kasih ucapan selamat kok, enggak lebih.” Gadis dengan rambut dikucir kuda itu tersenyum tentunya senyum itu tak luput saat Randa menatap dirinya.

Senyum yang sangat dia rindukan. “Makasih.”

Naila mengangguk-angguk. “Aku denger kamu udah nikah ya?” Terdengar sekali suara gadis itu sedikit samar-samar bergetar.

“Hm.”

“Enggak ngundang ih. Udah lupa sama aku ya?” tanya Naila.

“Enggak gitu, cuman kan. Saat itu kita-“

“Tapi bukannya kita sebelumnya pernah bertemu ya? Tapi enggak apa sih, terserah kamu mau undang apa enggak. Tapi aku mau kita kayak dulu.”

Kayak dulu? Maksudnya seperti apa?

Randa kenaikkan sebelah alisnya. “Eh maksudnya, kayak dulu kita sahabatan enggak lebih kok. Aku ngerti k-“

“Nai, gue sumpah enggak bisa basa basi kayak dulu. Karena gue ....”

“Hahah, iya santai aja kali. Aku kan niat ke sini juga karena mau ucapin selamat aja.”

“Ran-“

Shena yang baru saja selesai membeli minuman langsung menatap gadis yang sedang berbincang dengan Randa. “Heh? Ini siapa? Hai gue Shena.”

“Sok akrab banget,” gumam Randa yang masih terdengar oleh Shena.

Shena mencubit pinggang Randa. “Berisik monyet!”

“Hai, aku Naila.”

Naila? Sepertinya ini pernah disebutkan oleh Revan dahulu, saat dia memberitahu soal masa lalu Randa dan banyak lainnya. Dan Alfian juga sempat memberitahu sedikit tentang gadis di depannya ini. “Oh iya, hehe.”

Sedikit canggung, ya karena memang baru awal pertemuan kan?

“Yaudah kalau gitu, kita duluan ya!” ujar Shena lalu menarik tangan Randa.

“Eh tunggu,” tahan Naila.

“Iya kenapa?” Shena tersenyum, tangganya masih setia menggandeng tangan Randa.

Jarang-jarang kan? Shena seperti ini, toh semua orang, enggak semua sih. Di kampus ini sudah banyak yang tau kalau mereka sudah menikah. Shena juga sudah merasa enjoy dengan Randa.

“Hm, ini.” Naila mencari sesuatu lalu menyodorkan ke Randa.

Saat ingin mengambilnya, Shena lebih dulu mengambilnya. “Ini apa? Makasih ya, gue wakilin deh, soalnya suami gue ini semenjak udah nikah dia jadi pemalu gitu,” ujar Shena.

“Oh gitu ya.” Naila menatap Randa yang juga sedang menatapnya.

Shena yang menyadari itu langsung mencubit kembali pinggang Randa. “Eh, sayang ... mobilnya udah nunggu di sana. Jangan lama-lama aku udah capek tau,” ujar Shena sambil mengelus-elus lengan Randa.

“Kita duluan ya, Naila. Oh ya, ini kartu nama gue sama nomor telfon kalau ada apa-apa hubungin aja ya,” ujar Shena menyodorkan sebuah kartu.

“Iya, makasih.”

Shena dan Randa pergi meninggalkan Naila. Mereka berdua masuk ke dalam mobil. “Harus jaga-jaga, enggak ada yang tau pelakor jenisnya kayak gimana,” ujar Shena.

“Cemburu?” Shena menoleh saat Randa bertanya itu.

“Belum.”

“Belum ya, jadi nanti bakal cemburu?”

“Tergantung, soalnya semuanya ada kadarnya. Aku dan kamu, dia dan kamu.”

Randa mengangguk. “Emang kamu tau siapa dia?”

“Tau,” lirih Shena.

“Siapa?”

“Mantan kamu. Apa sih yang engga aku tau?” tanya Shena tersenyum. Randa terdiam, sayangnya dia belum mantan, mengatakan putus saja belum, jadi kategori hubungan Randa dan Naila adalah gantung.

“Kita beli kue dulu ya, buat Mama.”

Randa mengangguk.

Di perjalanan terjadi keheningan, Shena sibuk dengan handphonenya. Karena tak ada yang membuka suara, Shena memulai topik. “Randa, kalau gue, maksudnya aku. Udah punya rasa sama kamu?” tanya Shena.

Randa masih fokus dengan setirannya.

“Randa ....”

Anjir! Shena baru sadar Randa memakai earphone.

“Hah sudahlah, untung suara gue kecil.” Shena menatap ke arah jendela.

“Apa?”

“Bodoh ah, udah berhenti di sana.”

“Nah sini-sini, cukup!” Shena turun dan langsung menutup pintu dengan cepat. Melangkah dengan mulut yang dengan berkomat-kamit tidak jelas, hingga tubuhnya menabrak seseorang.

Kue yang dipegang orang itu terjatuh.

“Eh astaga! Maaf-maaf gue enggak seng-“

“Enggak apa-apa.”

Shena mendongak. “Alfian?” tanya Shena mengernyit.

“Woi lah! Lo dari mana aja? Sumpah udah 2 minggu lo enggak masuk kampus,” ujar Shena.

Alfian tak menjawab.

“Al ... lo kenapa?” Shena memiringkan wajahnya dan menatap jelas wajah Alfian yang menunduk.

“Ah, enggak. Gue udah pindah sih, ini aja baru pulang. Soalnya ada berkas yang ketinggalan dan sekalian tadi singgah di sini buat beli kue aja buat adik gue,” jelas Alfian.

“Al? Lo baik-baik aja kan? Tumben banget lo enggak ngomong apa-apa, apalagi perkara lo pindah?” tanya Shena heran.

“Al, lo tau kan? Kita semua itu khawatir tau enggak. Kontak apa kek gitu, biar kita tau. Lo main pergi aja, dan kek hantu aja.” Shena bersedekap.

“Yaudah sih sorry, soalnya gue juga udah ganti hape. Hape lama gue rusak jatuh di air,” ujar Alfian.

“Gue mau ngomong be-“

“Sel, kenapa lama sih?” Randa menarik lengan Shena hingga gadis itu menoleh ke Randa.

“Ini, itu lagi ngomong sama temen.”

“Yaudah cepet, udah telat nih. Aku mau ke kantor.” Randa melirik sejenak ke Alfian.

“Iya-iya bawel sumpah. Aku kan cuman ngomong bentar,” ujar Shena.

“Cepetan.” Randa mendorong tubuh Shena.

“Ih jangan dorong-dorong. Yaudah deh, bentar.” Shena mencari sesuatu di tasnya.

“Nih. Ini nomor hape gue, DM gue jangan lupa dibalas! Awas aja lo ya!” Shena menatap tajam Alfian.

Alfian mengambil kertas tersebut. Randa langsung menarik tangan Shena meninggalkan Alfian, yang terbengong. Shena memutar bola matanya malas, sekarang Randa benar-benar aneh.
“Itu tadi temen aku loh yang-“

“Apa pedulinya?” Randa menoleh.

“Ck! Lo ah.” Shena mengedarkan pandangannya mencari kue yang sangat disukai oleh ibunya-Dahlia.

“Beli yang ini aja, ini berapa mbak?” tanya Randa.

“Eh jangan! Sumpah aku enggak suka pandan, jadi kita beli yang ini aja.” Shena menunjuk kue berwarna hitam kecoklatan dengan ceri menghiasi atasnya.

“Ini kan buat Mama bukan buat kamu?” Randa menaikkan sebelah alisnya.

“Ya-ya tapi aku yang beliin? Jadi aku yang pilih, mending ini aja mbak.”

“Enggak-enggak ini aja, mbak.”

“Ih apaan sih, ini aja mbak. Ini lebih enak kan mbak? Selera cowok itu jelek,” ujar Shena.

“Apaan, ini enak kan mbak? Ini cake pandan enak kamu belum coba ya?” tanya Randa heran.

“Udah aku coba! Makanya bilang enggak suka, ini aja mbak ya. Kue black forest-nya satu, dibungkus rapih ya mbak.”

“Eh jangan mbak, ini aja. Mama itu suka pandan.”

Mbak sampai bingung harus memilih yang mana. “Jadi kue yang mana, Mbak? Mas?” tanya mbak kue tersebut.

“Ini.”

“Ini.”

Serempak keduanya menunjuk kue yang mereka pilih. “Yaudah dua-duanya aja, ya mas? Mbak? Biar adil.”



Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang