08

1.4K 104 13
                                    

Tiada hari tanpa kelelahan, karena hidup memang melelahkan. Bahkan tertawa puas pun butuh sebuah tenaga. 💐💐💐


Tentunya hari yang tidak ditunggu-tunggu oleh Shena kini terjadi, mendengar Randa mengucapkan ijab kabul membuat dirinya serasa membeku dan terdiam sejenak. Berusaha menerima keadaan ralat, kenyataan yang sudah terjadi ini.

“Selamat ya, Shen.” Caca dengan senyum tengilnya membuat Shena memutar bola matanya malas.

“Ngapa sih? Orang lagi nikah mukanya kek gitu,” kesal Alfian.

Satu kata untuk hari ini, lelah. Shena sangat lelah dia membaringkan dirinya di atas kasur dan menatap ke arah langit-langit kamar. “Hm.”

Klek

Pintu terbuka, Shena langsung mengubah posisinya menjadi duduk dia menatap ke arah Randa yang sibuk dengan dirinya sendiri.

“Randa.”

“Hm?”

“Gue enggak mau tidur bareng.”

Randa menatap Shena. “Kenapa?”

“Gue ngerasa enggak nyaman aja, gue harap lo ngertiin gue ya,” ujar Shena. Randa mengangguk.

Randa masuk ke dalam kamar mandi, Shena kembali merebahkan tubuhnya dengan pakaian yang sama, masih memakai kebaya putih dengan mahkota kecil di kepalanya.

“Lo enggak mau ganti baju apa? Nyaman pake baju itu?” tanya Randa yang sudah keluar kamar mandi dengan pakaian kasualnya.

“Males.”

Randa berdecak lalu mengambil satu bantal dan pergi meninggalkan kamar tersebut, sontak hal tersebut membuat Shena sedikit terkejut sekaligus senang. “Maaf, Ran. Tapi gue enggak ada niatan buat nikah sama lo.”

***
Pagi harinya, Shena dihadiahi banyak sekali pertanyaan oleh kakak dan ibunya soal malam pertamanya bersama dengan Randa. Padahal Shena dan Randa tak melakukan apa-apa, bahkan tidur sekamar saja tidak. Apa yang harus dipertanyakan?

“Gue enggak tidur bareng sama Randa.”

Leana terkejut dengan mata membulat langsung memukul lengan adiknya hingga membuat sang empu meringis kesakitan. “Kenapa?”

“Gue risih, Kak. Belum nyaman sama status yang dipaksa ini.”

“Tapi kan lo istrinya Randa, jadi lo nyuruh Randa tidur di luar?”

Shena mengangguk polos.

Leana menepuk jidatnya. “Gila ya lo, bisa-bisanya. Randa juga enggak nolak.”

“Jelas enggak nolak, soalnya dia juga pasti enggak mau tidur sama gue. Jawaban yang tepat kan.”

“Sebenarnya, semuanya itu nggak ada yang menarik. Pernikahan kemarin tidak ada yang membekas buat gue.”

“Dek, jaga omongan. Pernikahan itu sakral jangan dibuat main-main,” pinta Leana.

“Itu kakak tau kan? Jangan dibuat main-main, lantas bagaimana caranya menasehati orang tua yang bersikeras menjodohkan anaknya?”

“Tapi kan tujuannya beda ....”

“Walau tujuan beda, tapi Shena enggak bisa dengan senang hati menerima semuanya.”

“Terserah kamu deh, Dek. Asal jangan langsung minta cerai, nikah baru kemarin soalnya.” Leana menepuk pelan pundak Shena lalu pergi.

Shena melempar bukunya sembarangan, seketika di ingatannya teringat putri. Gadis itu baik-baik saja? Shena dengar beberapa info dari Alfian, Putri menyukai Randa. Entah sehancur apa hati Putri saat ini. Alasan kenapa Shena kekeuh untuk menolak, karena banyak hati yang tersakiti jika dia dan Randa bersama.

“Huh!” Shena mengambil kunci mobilnya dan berangkat menuju kampusnya. Tak seperti dahulu banyak lelaki yang menoleh padanya, kini berubah. Bukannya Shena kegeeran tapi pasti ini terjadi karena pernikahannya dengan Randa yang sudah sampai di telinga anak-anak di sini.

Baguslah, setidaknya Shena dijauhkan oleh anak-anak yang nakal dan tidak punya attitude.

“SHENA!!” Teriakan itu, sangat familiar bagi Shena.

Siapa lagi kalau bukan Caca, sahabat satu-satunya yang paling mengerti akan dirinya. Mengerti? Menurutku tidak, Caca saja mendukung pernikahannya dengan Randa. “Btw, gue ada kabar baik nih.” Caca menyodorkan ponselnya.

Shena menaikkan sebelah alisnya.

“RARA BAKAL BALIK KE SINI!” heboh Caca membuat beberapa orang menoleh ke arahnya, Shena hanya bisa menggeleng pelan.

“Kapan?” tanya Shena.

“Bagus deh, setidaknya ada teman yang sefrekuensi dengan gue. Lo kan cerewet,” ujar Shena lagi.

“Ih lo kok gitu? Dia bakal balik besok, dan lebih hebohnya lagi! Dia bareng sama ABANGNYA!” histeris Caca.

Shena menutup telinganya dengan raut wajah risih. “Woy, kalau ngomong sama gue santai aja kali. Kita itu deket banget ngapain teriak-teriak,” kesal Shena.

“Habisnya gue senang banget parah.” Caca tak henti-hentinya menceros panjang kali lebar kepada Shena.

Sudah menjadi hal biasa, karena Caca memang sudah lama naksir dengan kakak dari Rara. Bukan karena apanya, abangnya Rara pernah menjadi kapten basket di SMA mereka dulu, mereka juga hanya beda 2 tahun. Saat kelas 10 Caca memang sangat ngidam-idamkan dirinya bersama abangnya Rara.

Jadi, Shena sudah tau bagaimana reaksi Caca saat Abangnya Rara datang.

“Ca, lo enggak haus sepanjang jalan cerita mulu?” tanya Shena.

“Haus, cuman gue masih mau ngomong banyak.”

“Entar, kalau udah minum lo lanjut sama pohon. Gue mau ke kelas.”

Caca mendengus kesal. “Lo mah enggak asik, lebih asik Alfian yang diajak ngobrol daripada lo,” kesal Caca.

Shena tersenyum kecil. “Nih.” Dia menyodorkan botol mineral kepada Caca.

“Iya bawel, emang gue enggak bisa diajak ngobrol banyak. Malas gue,” jawab Shena.

“Eh gue lupa nanya, gimana malam pertamanya? Oh pantes lo enggak mood soalnya gue lupa nanya soal itu kan? Gue orangnya peka,” ujar Caca.

“Apaan, malam pertama? Eh malam pertama emang harus romantis?” tanya Shena.

Caca mengangguk.

“Lo salah, gue malam pertama udah kayak orang berantem. Enggak satu kamar,” ujarnya enteng membuat Caca terkejut.

“Santai aja matanya, hampir copot tuh.”

Caca merubah ekspresinya. “Ckck, lo udah menyia-nyiakan tidur bersama cogannya kampus,” ujar Caca.

“Apa? Ulang.”

“Lo udah MENYIA-NYIAKAN TIDUR BERSAMA COGANNYA KAMPUS.”

“Siapa?” tanya Shena.

“Randa lah, peak!”

“Emang Randa ganteng?”

“Astaga, Caca lo emang harus esktra sabar sama Shena. Dia gadis yang sifatnya udah begitu dari lahir.” Dengan dramatisnya Caca mengelus-elus dadanya.

“Udah ah, gue telat masuk kelas.” Shena menyambar tasnya dan pergi meninggalkan Caca.

Shena dengan sepatu boot yang dia kenakan berjalan menelusuri koridor kampus dengan santainya sambil membaca novel kesukaannya, dengan earphone yang ada di telinganya.

Tiba-tiba bahunya terasa berat dengan suara yang sangat familiar di telinganya. “HEY! SHENA!” Shena melepas earphone-nya dengan senyum yang merekah dia langsung memeluk orang yang sangat dia rindukan itu.

Rara Abigail.

“Lo apa kabar? Lo udah ketemu sama Caca? Dia itu heboh banget tadi,” ujar Shena.

“Halah, dia itu heboh karena abang gue juga ikut. Bukan karena guenya,” ujar Rara.

“Loh kata Caca lo kembalinya besok?”

Rara tertawa. “Enggak, ini buat suprise aja sih. Gue juga udah urus surat perpindahan. Gue rindu banget sama lo, lo ada kelas? Gue mau ngobrol banyak!”

“Hem, ada sih. Cuman karena lo ada, jadi gue bolos dulu deh.” Tentunya ucapan Shena mengundang tawa dari Rara.

Dan di sinilah mereka berada, di kantin.

“Gue denger lo udah nikah ya?”

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang