23

838 76 2
                                    

Rasanya begitu cepat.

Rasanya begitu cepat, baik rasa yang ada ataupun waktu yang berlalu. Sebulan lebih Shena menunggu kabar, rasanya hanya mendapatkan sesak saja menunggu selama ini. Bahkan komunikasi yang katanya penting itu, rasanya punah sekarang. Karena Randa jarang mengirim pesan, sungguh Shena lelah harus kuliah, setelah pulang langsung kerja.

Pulang ke rumah malam hari, pukul 10 malam dan tidur hanya sebentar karena harus mengerjakan tugas kampus. Shena melakukan ini hingga 3 Minggu.

Dan rasanya lelah, namun kata orang-orang semuanya akan biasa jika kita terbiasanya melakukannya. Dan Shena sangat menantikan hal itu, terbiasa melakukan pekerjaannya.

“Lo kayaknya capek banget ya? Gue kasih keringanan buat lo gimana?” tanya Rangga membuat Shena mendongak.

“Enggak usah, Kak. Gue butuh uang, jadi harus kerja kayak gini, demi kuliah dan masa depan.” Shena kembali fokus dengan laptopnya.

“Istirahat itu penting, ini udah jam 10 malam. Lo enggak capek?” tanya Rangga.

Shena menghela napasnya pelan. “Boleh jawab jujur?”

Rangga mengangguk.

“Kalau jujur, gue bener-bener capek dalam keadaan ini. Sebulan lebih sudah berlalu, Kak. Dan gue rasa enggak ada perkembangan dalam ekonomi keluarga gue, gue harus gimana?” tanyanya dengan napas tercekat.

Rangga mendengus lalu tertawa. “Kerja emang gitu lah, jangan ngeluh udah kerja aja. Ini belum seberapa buat lo, gue aja bisa hidup sama Rara banting tulang tanpa bantuan orang tua,” ujar Rangga.

“Kakak kan cowok, beda sama gue.”

“Padahal cewek itu jauh lebih tangguh daripada cowok. Semuanya multiperan bukan? Tapi enggak semua cowok dan cewek bisa semandiri dan sekuat ini,” ujar Rangga.

“Perlu banyak bersyukur dan berdoa sana yang di atas gue jamin hidup lo bakal bahagia.” Rangga menepuk pundak Shena lalu keluar dari ruangan.

Shena untuk kesekian kalinya menghela napasnya, rasanya sesak. Dia ingin curhat dan mengadu.

****
Randa memberikan dokumen kepada Revan. “Capek?” tanya Revan mengalihkan pandangannya dari laptopnya.

“Cukup capek, btw uang udah lo transfer belum sih?” tanya Randa.

Revan mengangguk. “Udah bos, tenang aja. Gue udah transfer ke rekeningnya Mama.”

“Kok? Kenapa bukan ke rekeningnya Shena?”

“Loh, gue enggak punya nomernya bego.” Revan mendengus kesal. Randa baru sadar kalau belum memberikan nomor rekening Shena kepada Revan.

Endra masuk ke dalam ruangan. “Kenapa semuanya semakin menurun ya? Setiap kita merencanakan sebuah program baru di perusahaan ini selalu saja menurun,” ujar Endra kesal sendiri.

“Kita kurang promosi, kita orang baru di sini. Produk seperti ini mana laku di luar negeri kayak gini,” celetuk Revan.

“Kan aku udah bilang, kalau pake dua cara. Yang tren di Indonesia dan tren di Jerman, di sini juga perlu produk lokal tersendiri.” Revan menutup laptopnya.

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang