40

226 32 6
                                    

Flashback on

“Iya ini udah mau balik kok,” ujar Shena.

Terdengar ocehan dari balik telfon sana. Shena yang sibuk berjalan di sepanjang koridor trotoar dengan telfon yang dia letakkan di samping telinganya.

“MBAK AWAS MBAK!”

Tubuh Shena melayang begitu saja saat sebuah mobil menghantamnya, kepalanya terbentur dengan keras.

Suara ambulans terdengar di sepanjang jalan, mata Shena terasa berat. Napasnya hampir terputus.

Hingga akhirnya, matanya tertutup.

Flashback off

***

Shena menatap Randa dengan tatapan bingung, karena tak mengerti apa yang orang di depannya ini ucapkan. Matanya menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka.

“Hai,” sapa gadis berambut sebahu itu dengan wajah ceria, Shena yang saat ini tak mengenal siapa pun hanya mengangguk sekilas.

Dan tanpa ekspresi.

Namun ekor matanya menatap satu orang yang sedang berdiri di ujung ranjang tempat Shena duduk. Matanya juga sedang menatap dirinya.

“Kamu Revan?” Randa terkejut, matanya menatap adiknya yang juga sedang bingung menatap Shena.

“Kamu ingat sama Revan?” tanya Randa.

“Sama aku?” tanyanya lagi.

Shena menggeleng. “Aku cuman ingat dia, dan ... ibuku,” ujar Shena.

Revan menyenggol tangan Randa, karena bingung percakapan ini sangatlah random. Naila yang hanya tersenyum dengan tangan bertaut menatap prihatin dengan keadaan Shena.

“Mungkin karena yang selalu ada Revan, jadinya dia ingatnya cuman Revan kali ya?” celetuk Naila.

Randa terdiam, lalu menghela napasnya pelan. Tangannya naik mengelus tangan Shena.

“Shena hilang ingatan karena benturan di kepalanya,” ujar Randa.

“Tapi, ini hanya amnesia sementara. Kemungkinan besar akan kembali jika kita terus membantunya untuk mengingat segalanya,” ujar Randa lagi.

Revan menghela napasnya.

“Aku Revan, adik iparmu dan ini Randa suamimu, dan ini Naila, istriku,” ujar Revan.

Shena terdiam, lalu menoleh ke arah Randa lalu beralih ke arah Revan. Gadis itu hanya mengangguk saja.





“Kemungkinan besar, lo yang bisa membantu Shena memulihkan ingatannya,” ujar Randa.

Revan mendongak. “Kenapa?”

“Seperti kata Naila, lo yang jauh lebih dekat dengan Shena. Setelah perpisahan di Jerman itu, mungkin dia cuman ingat sampai sana saja.”

“Gimana caranya gue bikin lo paham?” tanya Revan lalu berdiri mensejajarkan dirinya dengan Randa.

“Lo lebih dekat dengan dia, bukan gue.”

“Hampir 24 jam lo sama dia, kenapa harus gue?”

“Dia cuman ingat sama lo,” balas Randa.

“Gue enggak bisa.” Revan berlalu pergi meninggalkan Randa.

Randa mengusap wajahnya dengan gusar.

“Gampang kok kalau soal itu, nanti aku yang ngomong ke Revan untuk bantuin Shena pulihin ingatannya kembali.” Randa menoleh.

Naila berdiri di belakang sana.

“Nggak perlu.”

“Itu perlu, biar Shena ingat sama semuanya.”


****
Malam itu, Shena sudah bisa pulang. Entah apa yang menggerakkan dirinya hingga memilih pulang bersama dengan Randa dibanding bersama dengan ibunya. Rasanya jauh lebih nyaman jika berada bersama dengan sosok yang sedang menggiring dirinya menuju mobil.

Matanya terus menatap wajah tenang itu dari dekat, hingga akhirnya sudut bibirnya naik mengoles senyum di wajahnya. Randa berhenti di samping mobil, menatap Shena yang sedang menatapnya. “Kenapa? Ada yang sakit?” tanya Randa.

Sungguh, pertanyaan itu membuat hatinya menjadi hangat. Mungkin memang benar kalau lelaki di depannya ini adalah suaminya, Shena tak pasti karena ucapan ayahnya membuat dirinya menjadi ragu.

“Setelah kamu siuman, tinggal bersama dengan mama dan papa saja.”

“Orang yang sering datang ke sini itu bukan resmi suami kamu.”

Tapi entah kenapa, orang-orang justru berkata lain. Hanya papanya saja yang mengatakan hal beda.

“Shena?”

Shena tersentak kecil lalu menggeleng, dia perlahan masuk ke dalam mobil disusul oleh Randa. Di perjalanan tak ada obrolan yang menarik hingga mereka hanya diselimuti keheningan saja, Randa sesekali menoleh ke arah Shena.

Sejak kecelakaan itu, Shena jadi pendiam dan tak banyak omong dan itu hal yang wajar karena mungkin dia tak mengingat dirinya yang sebenarnya.

Tunggu waktu saja. Kapan baiknya.

15 menit perjalanan mereka sampai di rumah, tentunya mendapatkan sebuah sambutan yang cukup hangat dari keluarga Randa.

Kini mereka berada di ruang tamu, duduk sebagai keluarga yang lengkap. Perban di kepala Shena masih menandakan bahwa lukanya belum kering dan sembuh total.

Tentunya itu yang menjadi perbincangan malam ini. Shena menatap Naila dan Revan bergantian, sedikit aneh. Seingatnya dia pernah mempunyai hubungan, namun bukan dengan Randa melainkan dengan Revan.

Namun, kata orang-orang ....

Shena meringis sambil memegang kepalanya.

“Kamu kenapa sayang? Apa yang sakit? Randa! Randa! Bawa dia ke kamar istirahat,” titah Dahlia panik.

“Ma, jangan panik,” tegur Rajendra.

“Gimana enggak panik, Pa! Orang dia teriak kesakitan gitu,” ujar Dahlia kesal pada suaminya.

Randa sudah pergi membawa Shena masuk ke kamar. Kini hanya tinggal; Dahlia, Revan, Rajendra dan Naila saja. Revan terdiam sesaat lalu mendongak menatap ayah dan Ibunya.

“Sementara ini Shena lagi amnesia, Ma, Pa. Jadi jangan terlalu banyak berbicara yang membuat dia berpikir keras, apalagi soal masa lalunya,” ujar Revan.

Dahlia terkejut, bukan hanya dia Rajendra pun sama terkejutnya.

“Jadi? Gimana? Dia enggak bakal ingat lagi atau gimana?” tanya Dahlia panik.

Naila tertawa. “Enggak lah, Ma. Cuman amnesia sementara doang, jadi tenang aja.”

“Lagian ada Revan kok yang mau bantuin Shena, soalnya yang Shena ingat cuman Revan doang, ya kan suamiku?” Naila menyenggol lengan Revan membuat lelaki di sampingnya itu mendengkus kesal.

“Beneran? Dia cuman ingat kamu?”

Revan mengidikkan bahunya.

“Kata tante Dara sih, kakak ipar cuman bisa ingat Revan, ibunya. Oh ya dia juga udah mulai ingat sama om Rama,” jawab Naila.

Revan merotasikan matanya. Sungguh entah kenapa dia tak ingin jika Naila mencampuri segala urusan yang ada di rumah ini, namun gadis itu punya hak. Karena, dia adalah salah satu anggota keluarga di sini.

Mungkin biarkan saja seperti ini.

Kalau bukan karena Randa dan Shena, Revan tak ingin berkorban sejauh ini.

Lagian dengan adanya dia di sini, bisa mengawasi tingkah Naila. Revan harus mencari tau siapa dulu yang menyebabkan Shena sampai tertabrak.

Revan sampai lupa akan hal itu.


“Kamu bisa tidur di sini,” ujar Randa.

“Lalu kamu?” tanya Shena.

Randa terdiam, lalu tersenyum. “Di sofa pun bisa kan? Kalau masih ragu aku ini suami kamu, enggak apa-apa. Sementara aja kan?” Randa menaikkan sebelah alisnya.

Shena terdiam dan hanya menatap langkah Randa hingga sampai ke sofa yang tak jauh dari ranjang miliknya. Shena menatap sekitar, balkon hingga langit-langitnya.

Terasa begitu asing.

“Ini benar kamarku?” tanya Shena.

Randa menoleh. “Benar, cuman sebagian sudah direnovasi. Mungkin kamu enggak ingat, enggak usah dipikirin. Tidur aja ya.”

Shena jujur dia belum mengantuk, karena kebanyakan tidur di rumah sakit jadi gini.

“Kita kapan nikah? Aku nggak ingat kita nikah kapan, dan foto pernikahan kita di mana?”

Randa yang ingin tidur kembali duduk.

“Fotonya ada di rumah kamu, enggak ada di sini. Nanti besok aku ambilin,” jawab Randa.

“Aku bingung deh.”

“Seingatku, cuman Revan yang pernah punya hubungan dengan aku. Kamu enggak, gimana caranya biar aku percaya?”












Tbc-!

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang