C31

1K 79 3
                                    

Memulai hari yang baru dengan lembaran baru, dengan bulan yang baru. Tepat bulan pernikahan kakaknya. Shena menyibukkan dirinya dengan segala macam busana yang dikenakan oleh keluarganya.

Pagi ini bukan hanya sibuk dengan hal ini, dia juga sibuk menyiapkan skripsinya. Pagi ini dia masuk ke kampus. Kehebohan dari kedua sahabatnya itu sudah merajalela di telinganya.

Permintaan maaf berulang kali dari Natasya.
Permintaan Rara untuk tetap bekerja di sana.

Shena menolak permintaan Rara, karena baginya kebahagiaan sahabatnya jauh lebih penting. “Udahlah, enggak usah dipikirin.”

“Gue lihat tadi, lo bareng sama Revan. Dia udah balik emang?” tanya Caca.

“Udah.”

“Terus yang lain?”

“Mereka tetap di sana walau hanya sebatas komunikasi saja, yang penting ada. Gue enggak mau terlalu pusing sama itu dulu, gue masih fokus ke kakak gue dulu. Kalian datang ya? Di acara pertunangan kakak gue besok, dan di acara akad nikahnya sehari setelah pertunangan,” ujar Shena.

Natasya dan Rara saling pandang hingga jatuhnya saling berpelukan. “Maafin gue ya Sel karena sikap kekanak-kanakan gue yang tempo hari buat—“

“Udahlah, gue kan udah bilang jangan dibahas. Kalau dibahas gue enggak bakal maafin lo ya,” ujar Shena.

“Gue udah selesaiin semua kerjaan gue sama kakak lo, gue titip ucapan terima kasih ya,” ujar Shena kepada Rara.

Revan menatap mereka bertiga dari kejauhan, kemudian memberikan kabar kepada kakaknya yang jauh di sana.

Untuk kabar saja, respon apa pun itu Revan tak peduli, mau Randa peduli atau tidak urusannya. Setidaknya sebelum dia pulang, janji untuk mengabari setiap saat itu kewajiban utamanya.

****
Gaun pengantin yang dia desain sendiri. Leana tersenyum, dia menatap dirinya di pantulan cermin dengan gaun yang ada di tangannya. Dara yang sedang merapikan beberapa alat make up Leana turut tersenyum menatap putrinya, Shena yang baru saja masuk menatap keduanya lalu ikut tersenyum.

“Mau sibuk senyum-senyum apa mau selesiin semua Kerjaanya?” tanya Shena lalu mengambil laptopnya.

Dara membawa kedua putrinya di dalam dekapannya. “Kalian itu anak-anak yang kuat, bisa berdiri sampai sekarang tanpa bimbingan orang tua.”

“Sst, kami berdua dibimbing kok sampai sekarang,” ujar Leana dibalas anggukan sang adik.

“Ma?”

“Hm? Kenapa?”

“Papa enggak balik ya? Papa udah tau kalau Leana mau nikah? Dia nggak ada niatan balik?” tanya gadis itu.

Dara terdiam sesaat lalu tersenyum. “Tiket ke sini mahal sayang, tenang aja. Nanti kita video call,” ujar Dara.



****
Shena keluar dari rumah, Revan yang tengah duduk sambil bermain game membuat gadis itu mendengus pelan. “Van.”

Pria itu langsung menoleh. “Van?” Revan mengernyit. Shena duduk di samping Revan.

“Iya Revan, jadi gue panggil Van aja. Emang kenapa kalau gue panggil itu?” tanya Shena.

Revan terdiam sesaat, lalu menggeleng kecil dan kembali fokus dengan permainannya. “Di sana, lo bisa ceritain semuanya ke gue nggak? Biar pas dia pulang guenya bisa santai dengan beberapa kejutan,” tutur Shena.

Revan mematikan handphonenya. “Maksudnya?”

“Udahlah, gue udah tau semuanya kok. Naila udah cerita soal hubungannya dengan Randa, soal kalian di sana seperti apa, jadi selama gue di sini, gue enggak nuntut banyak dari kalian.”

“Karena gue tau, kalian sedang bekerja dalam misi yang jauh lebih penting. Daripada sekadar hanya untuk membalas chat dari kami,” tutur Shena.

“Naila cerita soal apa?”

****
Randa menatap handphonenya sekilas, lalu melemparnya di atas kasur. Dia mengusap wajahnya pelan, lalu pintu villa kamarnya terbuka. Dia langsung menoleh dan bangun dari posisinya, mendapati seorang gadis yang tengah membawa sesuatu di tangannya.

“Aku bawaiin kue,” ujarnya lalu duduk di salah satu sofa di dalam sana.

“Gue ng—“

“Nggak ada penolakan di sini, sini duduk.” Naila menepuk-nepuk pelan kursi di sampingnya. Randa menggeleng tak abis pikir.

“Nai, kalau gue bilang gue cinta sama Shena. Lo bakal berhenti bersikap kayak gini?” tanya Randa.

Naila terdiam sesaat kemudian dia terkekeh pelan. “Tapi itu enggak akan terjadi kan? Cinta? Kalian aja nggak pernah ketemu sekarang,” ujar Naila.

“Aku hanya perlu sebuah kejujuran dari kamu soal perasaan kamu ke aku, bukan perasaan kamu ke dia.” Naila menunduk, lalu menautkan jari-jarinya.

Naila berdiri di depan Randa, menatap pria itu dengan tatapan lekat. “Jujur,” pinta gadis itu.

Randa mengernyit. “Jujur? Jujur kalau gue udah enggak ada perasaan sama lo?” tanyanya.

“Bukan! Jujur kalau kamu masih cinta sama aku.”

Randa merotasikan matanya, lalu mendengus geli. “Lo waras enggak sih? Ngomong kayak gini ke gue? Nai, gue enggak brengsek seperti apa yang lo pikir.”

“Dan gue nggak jahat kayak lo.”

Randa langsung keluar dari kamar tersebut.

Langkahnya menuju sebuah taman kecil, terakhir dirinya dan Revan berbincang sebelum adiknya itu benar-benar pulang ke Indonesia. Ada rasa penyeselan yang datang, karena Randa menolak untuk pulang bersama dengan Revan.

Hanya karena Papanya.
Dia bertahan sampai sekarang.

“Kamu mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Randa menoleh.

Randa menatap orang yang lagi-lagi sering mengikuti dirinya selama ini, selama Revan pergi. Gadis ini selalu menempel kepada dirinya, dan Randa risih.

“Tawaran apa lagi yang lo mau kasih ke gue?” tanya Randa mengusap wajahnya kesal.

Semuanya bergantung kepada keluarga Naila, SEMUANYA. Perusahaan mereka menyalurkan dana yang tak sedikit untuk kembali membangun perusahaan di Indonesia, dengan jaminan mereka tetap mau bekerja di sini sampai pihak dari Hendra memberikan ijin untuk mengelola saham di Indonesia, perusahaan di Indonesia.

Ini menjadi alasan kenapa Randa tak bisa pulang ke Indonesia, papanya membutuhkannya di sini, namun ... Randa terdiam sesaat membiarkan pikirannya lari kemana-mana.

Lalu dia menghela napasnya pelan, ada Revan di sana? Pasti orang yang sangat dia khawatirkan baik-baik saja.

Pasti.

“Em, banyak sih. Semoga kamu suka dengan tawaran kali ini.” Gadis itu tersenyum.

“Kamu dan keluarga kamu bisa pulang ke Indonesia, dengan jaminan ....” Dia menggantungkan ucapannya.

“Jaminan, jangan pernah putuskan hubungan kita. Sebelum aku benar-benar berhasil mengambil apa yang menjadi milikku,” ujarnya.

Randa tak abis pikir. “Jadi tidak ada keputusan bahwa hubungan yang kita jalin selama ini, kamu putuskan sepihak setelah setahun lalu. Itu tidak berlaku,” ujar Naila.

“Gadis gila!” Randa berdiri lalu berlalu dari hadapan Naila.

Gadis itu menoleh ke samping. “Kamu mau kan? Agar dana yang tersalurkan di perusahaan kamu di Indonesia tetap berjalan?”

“Dan kamu enggak mau kan, Shena jadi korban setelah ini?”

Randa memberhentikan langkahnya, lalu perlahan menoleh.

“Ikuti apa mauku, jika kamu tidak ingin ada yang sakit setelah ini,” ujar Naila.

“Aku tak sepolos yang kamu pikir, dan aku tak sejahat yang kamu pikir. Semuanya seimbang kok,” ujar Naila. Setelah mengucapkan itu gadis itu pergi.

Randa menutup matanya, lalu memijit hidungnya. Menatap kosong ke depan, suasana sepagi ini, membuat tangannya serasa dingin, membeku.

Randa berjalan masuk ke dalam kantor perusahaan, dia menatap sekilas orang yang sedang bercanda ria di sana. Lalu masuk ke dalam ruangan, yang telah disediakan oleh Hendra. Untuk mereka; Randa, Revan, Endra, dan Rama.

Sayangnya berkurang satu orang.

Rama dan Endra yang sedang asyik ngobrol teralihkan saat Randa datang.

“Besok kakak ipar kamu akan tunangan,” ujar Endra.

Randa mengangguk. “Iya, Randa udah tau kok. Kita mau pulang?” tanya Randa.

Endra menatap Rama, lalu kembali menatap Randa. “Iya, perusahaan di Indonesia sudah kembali terbangun. Revan sudah mengontrolnya kembali,” ujar Endra.

“Tapi.” Endra menjeda ucapannya.

“Kamu belum bisa pulang.”




Tbc.

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang