19

936 89 13
                                    

Semuanya Sekarat.



Shena berlari masuk ke dalam rumah sakit, dia mencari-cari ruangan sesuai dengan nomor yang Dara kirimkan kepada dirinya. Tibanya di sana hanya ada Dahlia dan Dara di sana. Kaki Shena hanya lemas, bahkan mengganti pakaiannya saja belum.

“Gimana, Ma? Keadaan Leana?” tanya Shena sambil melirik ruangan. Dokter keluar sebelum Dara menjawab pertanyaan Shena.

“Pasien harus segera dioperasi karena keadaan sudah sangat buruk,” ujar Dokter.

Shena mengernyit. “Ada apa dengan Kakak saya dokter?” tanya Shena.

“Dia mengalami kanker otak dan harus segera di operasi, mohon keputusan cepat dipertimbangkan. Jika sudah ada keputusan segara tanya kepada saya atau suster di sini,” jelas Dokter.

Dahlia mengucapkan terimakasih. Shena tertegun dan sekaligus kecewa karena sebelumnya dia tak pernah diberitahu soal penyakit yang dialami oleh Kakak kandungnya itu, hanya saja dia memang sering mengeluh dan mengadu kesakitan di bagian kepalanya.

“Lalu bagaimana?” tanya Dahlia.

Shena mengusap air matanya lalu berusaha menenangkan sang ibu. “Mama tenang aja ya? Kita bisa jalanin ini sama-sama,” ujar Shena.

“Aku yang akan bicara sama dokternya,” ujar Shena lalu pergi menuju ruangan dokter.

Shena sudah hampir ke 10 kali menghela napasnya rasanya pengen mati saja jika begini, cobaan datang begitu cepat. Padahal rasanya baru kemarin kita semua sedang bercanda ria. “Ya Allah kuatkan hambamu untuk segala cobaan yang engkau berikan.”

“Silahkan duduk, bagaimana?” tanya Dokter menatap Shena.

“Sebelumnya dok, saya mau tanya bagaimana keadaan kakak saya? Apakah tumor yang ada di dalam otaknya itu ....”

Dokter memberikan sebuah kertas. “Tumor yang ada di dalam otak pasien adalah tumor yang ganas, karena tidak ada perawatan sebelumnya. Baik kemoterapi atau operasi,” ujar Dokter.

“Ada banyak penanganan yang bisa dilakukan, namun saran saya adalah operasi. Karena melihat keadaan dan juga kondisi pasien sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertahan bersama dengan rasa sakit yang dia hadapi,” ujar Dokter lagi.

“Jika dia melakukan operasi, juga belum bisa memungkinkan dirinya tidak melakukan kemoterapi. Karena kita belum tahu di mana saja letak tumor pasien, bisa saja ada di tempat yang sulit diakses dan kemoterapi sangat dibutuhkan untuk itu, ambil keputusan yang bijak karena bukan hanya nyawa, dana pun perlu untuk operasi dan kemoterapi.”

Shena mengusap wajahnya lalu mengambil kertas itu. “Biaya untuk operasi berapa Dokter

Setelah berbincang masalah Leana, Shena keluar menemui ibunya dan ibu mertuanya.

Shena berusaha untuk berpikir di mana dia harus mencari uang sebanyak itu? Sebesar 2 milyar rupiah, bayangkan untuk menjual perhiasan, tas branded dan juga sisa tabungannya saja tidak cukup. Jual rumah? Ah, rumah siapa yang akan dijual.

“Gimana sayang?”

“Kita harus melakukan operasi kalau mau Kak Leana selamat,” ujar Shena kemudian terisak saat itu juga. Dahlia membawa Shena ke dalam pelukannya. Bingung ingin melakukan apa sekarang.

“Dan biayanya sangat mahal, Ma ....” Dengan bibir bergetar Shena mengucapkan itu.

“Tenang sayang, kamu enggak sendiri di sini. Ada Mama dan Mama Dahlia di sini,” ujar Dara menenangkan anaknya.

“Operasi biayanya berapa?” tanya Dara.

“Sekitaran 1 milyar lebih tergantung operasinya, dan tingkatannya,” ujar Dahlia.

****

Shena pulang ke rumah untuk membersihkan tubuhnya, mandi dan menyegarkan pikirannya. Berendam di dalam air cukup lama, dia mencoba menghilangkan semua beban-beban pikirannya, setelah selesai mandi dia memutuskan untuk sholat magrib.

Selesai dengan kewajibannya, dia mencoba menelfon sang Papa menanyakan keadaan dan kabarnya.

Telfon terhubung.

“Assalamualaikum, Pa.”

“Wa’alaikumussalam nak. Gimana kabar kamu dan Leana, Mama gimana? Kalian kalau butuh uang bilang ke Papa ya. Di sini insha Allah masih cukup uangnya.”

Shena menggigit bibir bawahnya ingin menangis saat itu juga. “Kabar Shena baik, Pa. Mama juga baik, Papa gimana?”

“Alhamdulillah baik juga di sini. Semua baik di sini, hanya sibuk sama investasi untuk membangun perusahaan kembali. Kamu yang sabar ya. Maafin Papa kalau sering marah sama kamu, doain papa terus.”

Shena menyekat air matanya. “Pasti Shena doain, Shena juga minta maaf kalau Shena ada salah, sering buang-buang uang, dan bentak atau marah sama keputusan Papa.”

“Enggak kok, oh ya. Kamu di mana sekarang?”

“Rumah.”

“Kamu main-main ke rumah sendiri ya, jangan lupa sering lihat Mama kamu dan kakak kamu ... jagain mereka untuk Papa ya?”

Shena menunduk membiarkan air matanya jauh begitu saja. “Iya pasti, Papa jaga kesehatan ya. Titip salam sama semua anggota keluarga di sana, Randa, Revan dan Papa Endra.”

“Iya papa salamin.”

Setelah cukup lama menelfon, Shena merasa lega walau tak sepenuhnya lega. Dia mencoba melihat-lihat beberapa perhiasan dan juga tasnya, barangkali ada yang mau membelinya setidaknya untuk perawatan sementara kakaknya. Kemoterapi kayaknya jauh lebih baik untuk kondisi mereka ya? Tapi ... Shena tak yakin, kata Dokter operasi adalah jalan tercepat dan tepat untuk penanganan kakaknya.

Berharap kepada Allah agar kakaknya tetap selamat dari penyakit yang mengancam nyawa itu.

Shena mengganti pakaiannya, dengan baju kasual dengan jaketnya. Dia mengambil sepatunya dan tasnya dan pergi ke rumah sakit.

Dia berjalan sepanjang koridor, menunggu angkutan malam-malam begini memangnya ada ya? Di perumahan yang elit ini mana ada. Shena memutuskan untuk keluar dari perumahan mencari angkutan umum.

Langkahnya terhenti saat motor berhenti.

“Lo temannya Rara kan?” tanya sosok pria yang sedang menatapnya. Shena hanya mengangguk, lalu memutar bola matanya malas.

“Ngapain malam-malam jalan sendiri? Enggak takut diculik lo?” tanyanya.

“Anak kecil nggak boleh jalan di sini malem-malem.”

“Eh enggak, Kak. Gue mau ke rumah sakit tadi, cuman enggak ada angkutan di sini jadinya gue mau jalan ke depan sana,” ujar Shena sambil menunjuk ke depan jalan raya.

“Panggil Rangga aja anjir. Mau gue anter? Rumah sakitnya di mana?”

Shena menggeleng. “Enggak usah deh, Kak gue bisa pergi sendiri.”

“Gapapa. Gue juga mau pulang kok, nggak ada urusan lagi.”

Shena berdiam sejenak. “Yaudah tapi jangan di tengah jalan dikasih turunnya, di rumah sakit Alana.”

Rangga mengangguk. Shena naik ke job belakang, Shena hanya berdiam menikmati udara di selama perjalanan, ingin rasanya dia melepas semua bebannya ini! Membiarkan beban itu terbang bersama dengan angin sepoi-sepoi.

“Udah.” Rangga memberhentikan motornya.

“Yang sakit siapa?” tanyanya.

Shena tersadar lalu turun dari motor. “Kakak gue, btw makasih ya Kak. Gue masuk dulu.”

Rangga tersenyum kecil, sahabat kecilnya itu memang belum berubah ya? Pura-pura formal gitu.

Shena langsung masuk ke dalam rumah sakit, mereka cukup dekat karena sempat menjadi adik-kakak kelas di masa SMA. Mereka juga sudah saling kenal mengenal antara keluarga karena Rara yang heboh itu, menyatukan dua kelurga yang sebelumnya tak kenal.”

Shena masuk ke dalam ruangan, Leana dengan segala perlengkapan di sekujur tubuhnya. “Maafin Shena, Kak. Enggak pernah tau apa yang kakak alami,” ujar Shena.

“Kalian bisa pulang dulu, nanti Shena aja yang jagain kak Leana. Mama dan Mama Dahlia jangan sampai kecapekan,” nasehat Shena.

“Nanti Shena pesenin taxi.”

Dara menggeleng. “Enggak apa-apa, Nak. Mama masih bisa kok.”

“Enggak boleh, kata Papa jangan capek.”

Setelah bujukan Shena, keduanya memutuskan untuk pulang.

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang