Kata orang, jangan memulai sebuah kehidupan bersama dengan orang yang belum selesai akan masa lalunya.
****
Randa terdiam di dalam sebuah kafe kecil di dekat perusahaan ini. Randa mengusap-usap punggung tangannya. Setelah perkiraannya yang ternyata salah, Randa juga ternyata belum bisa lepas dari perjuangannya.
Naila benar-benar tak bisa diragukan. Gadis itu benar-benar nekat melakukan apa pun. Gadis itu bukan Naila, yang dia kenal dulu.
Gadisnya dulu baik, ramah, dan tak pernah mengancam orang-orang dengan kekuasaan yang dia punya. Sekarang berbanding terbalik. Hari ini, Papa, dan Papa mertuanya sedang bersiap untuk pulang.
Sebuah tangan terulur, Randa mendongak. “Sebentar lagi kamu pulang kok, cuman aku mau kasih sebuah kejutan dulu sebelum kamu pulang. Kejutannya sedikit berbeda,” ujar Naila sambil bertopang dagu menatap Randa.
Randa tak menggubris perkataan gadis itu. Dia hanya diam, dan larut dalam pikirannya sendiri. “Terserah lo mau ngapain, gue juga enggak perduli.”
“Yakin? Kalau soal Shena gimana?”
“Jangan bawa-bawa dia dalam masalah kita, dia enggak punya salah di sini. Kalau lo mau kasih hukuman jangan ke dia, tapi ke gue.”
Naila mengangguk-angguk. “Kalian berdua kan belum punya perasaan satu sama lain? Gimana kalau kalian berdua cerai?”
****
Malam itu, Shena terkejut. Kedatangan sang ayah.
Kedatangan papa mertuanya.
Shena menarik napasnya pelan lalu tersenyum berlari kecil dan masuk ke dalam pelukan Rama. Rama mengelus pelan, pucuk kepala anaknya. “Papa kembali,” lirih gadis itu.
“5 bulan lebih, akhirnya.” Shena mengeratkan pelukannya.
Rama tersenyum. “Kamu baik-baik aja?”
Shena menggeleng. “Mobil yang Papa kasih, Shena jual. Shena enggak punya uang, tabungan Shena abis semuanya,” keluh gadis itu.
“Entar dibeli lagi mobilnya,” ujar Rama, Self mendongak dan menghapus air matanya.
Lalu menoleh ke arah Endra yang juga tersenyum kepadanya. Shena beralih masuk ke dalam pelukan, Endra.
“Maafin Papa ya,” ujar Endra mengelus pundak Shena. Shena menggeleng.
“Shena enggak mau maafin,” ujarnya.
Endra melepas pelukannya, lalu memegang pundak Shena. “Maafin kita semua, karena berkat kamu, berkat semuanya. Doa kalian, kami bisa pulang kembali.”
Shena tersenyum.
“Tapi ....” Endra mengedarkan pandangannya.
“Randa belum bisa pulang.”
****
Malam ini, pertahanannya, perjuangan telah dibuktikan dengan kembalinya keluarga mereka. Shena tersenyum menatap ke arah pantai yang tenang itu, namun ....
Perasaannya menjadi campur aduk, Shena tak sepenuhnya bahagia. Karena Randa tak pulang, kalau Shena akui, Shena menunggu sosok itu datang walau dengan perasaan yang tak pasti.
Revan menepuk pelan pundak Shena.
“Hm.” Cowok itu berdiri di samping Shena, mensejajarkan deretannya.
“Gue ngikutin lo, takut lo bunuh diri karena suami lo enggak pulang,” ujar Revan langsung dihadiahi tatapan sengit dari Shena.
“Bodoamat dia mau pulang apa enggak. Gue juga enggak peduli, Randa itu baik sebenarnya. Namun gue heran,” ujar Shena.
“Gue heran sama kakak lo yang plin plan deh, gue jadi enggak yakin bisa bertahan dengan kakak lo.”
“I see, tapi ... kalian harus bertahan anjir. Yakali enggak,” ujar Revan.
“Ngegas amat sih kalau ngomong.”
“Biar semangat.”
Hening tercipta.
Tak ada yang membuka suara, mereka sibuk sama pikiran masing-masing. Membiarkan wajah mereka diterpa angin malam, Shena merasa lebih tenang jika seperti ini.
“Van ....”
“Hm.”
“Kenapa enggak lo aja yang jadi suami gue ya? Kenapa harus Randa? Kenapa gue harus menikah sama orang yang bahkan masa lalunya aja belum selesai,” ujar Shena.
Revan terdiam sesaat lalu tertawa. “Emang lo mau nikah sama gue? Kan waktu itu gue di London,” ujar Revan.
“Selagi dia bisa sayang sama kita, Mah enak. Daripada gini, udah LDR, dia punya masa lalu,” ujar Shena.
“Btw ngomong London, sama dong kayak ....”
“Kayak mantan gue.”
Revan terdiam.
“Random banget ya? Gue orangnya enggak tau nyari topik,” ujar Shena.
Revan mengangguk.
“Lo kok diem aja sih, enggak mau ngomong atau nanya gitu. Selama gue di sini kenapa dan bagaimana, gimana perjuangan gue, dan berapa air mata gue yang jatuh,” ujar Shena.
“Udah tau.”
“Dari Leana,” sambungnya.
Canggung mengelilingi kakak-beradik ipar ini. Shena menguap sekali, lalu membelakangi jembatan dan menoleh ke belakang. “Hm, lo punya pacar enggak? Kenalin gitu,” ujar Shena menyenggol lengan Revan.
“Nggak.”
“Cari dong.”
“Males.”
“Anjir, singkat banget. Lo PMS ya?” tanya Shena.
Kembali diam.
Karena tidak ada topik yang penting untuk dibahas, mereka berdua memilih untuk pulang. Shena dan Revan berjalan beriringan di koridor, hingga Revan membuka suara.
“Cara move on gimana?”
Shena menoleh lalu mengangkat kedua alisnya.
“Gue gamon sama mantan gue,” tuturnya dengan tatapan kosong ke depan.
“Tembak lagi lah ceweknya, siapa tau mau balikan,” ujar Shena.
“Dia udah nikah, gue ditinggal. Lebih tepatnya, gue putusin dia karena dia mau nikah sama orang lain,” ujar Revan.
“Ya ... gimana ya.” Shena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Oh, lo coba lupain rasa itu deh. Pikir masa depan lo aja, dan ... cari pengganti isi hati lo.”
Pagi itu, Shena bersiap dengan dress selutut yang dia kenakan, pertunangan yang hanya menghadirkan keluarga mempelai saja. Shena menatap Billar dengan tatapan semangat lalu menoleh ke arah kakaknya yang sedang menunduk malu.
Berbeda dengan dirinya dulu, malas untuk membahas pernikahan hingga akhirnya kayak gini. Memang ya, terpaksa itu sulit.
Walau ada hasilnya.
Namun tak semuanya baik.
Dimas selaku ayah dari Billar menatap Rama, lalu mengangguk. “Maaf kalau hanya saya yang datang, ibunya Billar lagi sibuk,” ujarnya.
“Saya merestui hubungan keduanya, dia anak saya satu-satunya.” Dimas mengusao pundak anaknya.
Pertunangan hari ini berlangsung dengan baik, dan besok tanggal pernikahan mereka. Pernikahan yang memang tak mewah asalkan tetap sah, di mata agama dan pemerintah.
Perbincangan antara Dimas dan Rama, serta Dara, serta Endra dan juga Dahlia. Hanya mereka saja, anak-anak tak ikut campur.
***
Leana menatap ke depan dengan wajah pucat khasnya. Billar tersenyum lalu memegang kedua tangan Leana. “Seadanya aja ya?” tanya Billar.
Leana mengangguk. “Ini aja udah cukup, makasih udah mau tunain permainan ak—“
“Apa pun itu.”
“Jangan pernah ngomongin penyakit kamu di depan aku,” ujar Billar.
Leana tertegun sesaat, lalu kembali tersenyum bahkan senyumnya menjadi gelak tawa. “Kamu lucu deh, kalau pake aku-kamu. Udah terbiasa dengar kamu pake lo-gue,” ujar Leana.
Billar menggaruk tengkuknya. “Ya gimana, biasain aja deh.”
Leana sadar, ternyata kebahagiaan dan kesedihan itu memang ada tempat dan porsinya masing-masing. Pertemuan awal yang menyenangkan itu, hingga menjadi pendekatan yang cukup menyakitkan.
Hingga pada titik ini, Leana benar-benar beruntung.
Beruntung di sekelilingnya banyak sekali orang yang menyayangi dirinya, selalu menjaga dan merawatnya dengan baik, segala bentuk dukungan yang selalu dia dapatkan.
Kini Impiannya perlahan terwujud.
Asli dan bukan rekayasa semata.
Sepulangnya Billar, Leana menyimpan sebuah kalung pemberian Ibunya. Kepalanya terasa berat dan sakit. “Aku mohon, jangan sekarang,” gumam gadis itu.
“Aku hanya ingin bahagia sesaat.”
Tangannya mencari sebuah obat di nakas, lalu menelannya dengan cepat. Segelas air dia habiskan, napasnya memburu, menahan sakit di kepala belakangnya.
“Tahan ....”
Dia membaringkan tubuhnya di atas kasur, dan berusaha menghilangkan nyeri di kepalanya. Dia membuka matanya, lalu menatap langit-langit kamar.
“Sampai kapan nyawaku bertahan, berikan aku waktu ya Allah. Untuk memberikan kebahagiaan untuk keluargaku,” ujarnya.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomansaFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...