24

997 92 7
                                    

Pagi ini, Shena datang ke kantor Rangga membawa naskah yang sudah dia kerjakan, sudah dia revisi, dan siap untuk dibukukan. Langkah gadis itu terhenti saat Caca memanggilnya. Shena menoleh.

“Lo di sini? Sejak kapan?” tanya Caca sambil menatap Shena.

“Udah hampir dua bulan,” ujarnya.

Caca terdiam sesaat. “Ngapain? Oh lo kerja di sini ya?” tanyanya.

Shena mengangguk pelan. “Maaf ya, kalau lo enggak nyaman atau gimana. Gue cuman kerja aja di sini, enggak lebih kok,” cicit Shena.

Caca tertawa melihat ekspresi sahabatnya. “Lo mikirnya gue bakal marah lo kerja di tempat gebetan gue?”

Shena menunduk.

“Ya iyalah gue marah.”

Shena mendongak. “Lo jangan mikir macem-macem, gue udah nikah enggak mungkin ngelakuin yang ada di pikiran lo itu.”

Caca menggeleng, lalu memegang pundak Shena. “Gue enggak ada hak buat ngelarang lo kerja di sini, asal lo tetap sama pendirian lo. Jangan kecewain gue ya, lagian pikiran gue enggak macem-macem.”

“Yakali sahabat gue diem-diem suka sama gebetan gue,” gumam Caca melirik Shena.

Kemudian gadis itu tertawa, Caca merangkul Shena. “Gue ke sini cuman mau bawain makanan doang, seminggu dua kali. Takut dia risih.”

Mereka berdua berjalan bersamaan ke dalam kantor, datangnya mereka membuat Rangga menatap keduanya dengan heran, apakah mereka janjian?

“Cuman mau kasih ini, Kak. Makan ya jangan enggak dimakan, kasian entar nasinya nangis,” ujar Caca dengan senyumannya.

Shena tersenyum lalu memberikan buku dan beberapa lembar kertas revisinya. “Gue cuman mau kasih ini, takut kalau pulang kampus kelamaan.”

Rangga mengambil bekal makanan itu. “Thanks.”

Dan mengambil buku dan beberapa lembar kertas di tangan Shena. “Mata kuliahnya dimulai jam berapa? Ada kerjaan dikit di sini, lo bisa enggak?” tanyanya kepada Shena.

Shena melirik ke arah Natasya, gadis itu juga sedang menatapnya. “Kuliah gue selesai siang ini, cepet kok. Bisa gue kerja kalau udah pulang kampus? Nanggung kalau mislanya gue pergi enggak bareng sama Caca,” ujar Shena disetujui oleh Rangga.

Caca menatap Rangga yang sama sekali tak menatap dirinya, gadis itu mendengus pelan lalu berjalan keluar mengikuti Shena.

Shena hanya diam di sepanjang perjalanan di dalam mobil Caca, dia terus memikirkan uang yang ia harus siapkan untuk kemoterapi kakaknya. Shena mengerjap lemah, lalu menghela napas.

“Lo liat kan? Dia itu cuek banget, gue padahal udah kelihatan banget kalau lagi kasih perhatian,” ujar Caca.

Shena menoleh.

“Dia itu enggak peka apa gimana? Kalau emang dia enggak suka ya udah langsung bilang ya enggak? Soalnya kalau dia nerima dan sering respon gue kesannya dikasih kesempatan untuk mengisi hatinya gitu loh,” ujar Caca sambil menatap jalanan di balik kaca mobil.

Shena mengusap pundak Caca. “Berjuang itu sampai akhir, sampai benar-benar ada titik terang. Kalau emang lo enggak sanggup, sudahi semuanya.”

“Gue ngerasa kalau gue mutusin untuk berhenti saat ini, rasanya sesak dan sia-sia enggak? Perjuangan gue dari 5 tahun ini terkesan sia-sia,” ujar Caca meringis dengan dirinya sendiri.

“Gue yakin suatu saat dia bakal buka hatinya buat lo, selagi dia enggak punya gebetan atau enggak lagi suka sama siapa-siapa ya, aman.”

Caca terdiam.

“AAA GUE CAPEK ANJIR.”

Sopir menoleh ke belakang. Shena tertawa lalu memukul lengan Caca hingga gadis itu meringis kesakitan. “Maaf ya Pak Dadang, dia emang gitu. Rada stress sama dirinya sendiri. Prihatin lihat hatinya yang kuat banget membendung rasa sakit selama ini,” ujar Shena ironis.

“Saya sudah biasa non Shena. Dia sering curhat tentang siapa namanya itu? Mangga?”

“RANGGA PAK!” teriak Caca.

Shena tertawa.

“Iya Rangga. Itu dia, sampai mau bunuh diri di tengah jalan mau turun karena frustasi,” ujar Pak Dadang.

“Enak aja, gini-gini aku juga sayang nyawa loh Pak. Enggak sampai segitunya, perjuangan juga ada batasnya,” ujar Caca.

Tak terasa mereka sampai di kampus.

****
Caca memainkan handphonenya, lalu menatap ke arah Rara. “Gue kapok dengan kakak lo.” Caca melipat tangannya dan menjadikannya bantal untuk kepalanya.

“Gue kan udah bilang, dia itu emang lagi batasin perasaannya sampai ada yang cocok buat dia. Dia itu punya trauma di London yang lo belum tau,” ujar Rara.

Caca mendongak. “Apa? Kasih tau.” Rengeknya.

“Persis kayak lo, dia juga merjuangin abang gue di sana. Pas abang gue buka hati, eh ceweknya malah tinggalin dia dan selingkuh. Katanya balas dendam karena abang gue dulunya sempat menolak si cewe di depan umum,” ujar Rara.

“Parah sih itu cewek. Tapi kakak lo juga parah,” ujar Caca.

“Jadi, kayaknya dia bakal trauma jika lo lakuin itu ke dia. Hm, mungkin dia bakal merjuangin cinta yang ingin dia gapai sendiri,” ujar Rara.

“Cuman tetap semangat aja, gue yakin dia bakal goyah dengan sendirinya. Tapi lo harus konsisten, dan kasih strategi biar dia jatuh cinta sama lo,” ujar Rara lagi.

“Segala cara gue halalkan untuk dapetin abang lo, cuman kayaknya gue capek deh. Ini udah 5 tahun, wisuda udah dekat. Dan dia belum nerima gue,” ujar Caca merengek.

“Gue coba buat buka hati ke orang-orang pas kakak lo pindah ke London, dan alhasil gue tetap gamon sama diaa!!”

“HELP ME!” teriaknya.

Shena hanya diam sedari tadi, tak mau mencampuri urusan mereka. Caca kembali dengan posisi awalnya, melipat tangannya dan menjadikannya bantal. Beristirahat sejenak untuk melupakan kecuekan Rangga tadi.

“Sel, lo kenapa dia aja? Gimana kerjaan lancar enggak? Nyaman kerja sama abang gue? Kalau enggak bilang ya,” ujar Rara.

Shena tak bergeming.

“Sel ....” Rara memegang pundak Shena membuat gadis itu tersentak pelan.

“Eh iya ... nyaman kok,” ujarnya pelan.

Shena melihat handphonenya, dia menatap kalendernya. Ah mungkin memang belum saatnya, mungkin harus bersabar lagi dan lagi untuk saat ini. Shena bisa apa kan? Ini memang ujian dan takdir untuknya.

Shena harus kuat, demi keluarga dan dirinya sendiri.

***
Kakinya melangkah masuk ke dalam sebuah perpustakaan besar, Shena berusaha untuk tenang di tempat ini jauh lebih nyaman untuk dirinya menenangkan pikiran, dia menggapai handphonenya dan terdapat sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal.

Ting!

+4930******
: There is a good offer. You need money?

Shena mengernyit dahinya bingung. Dia melihat kode telefonnya, +49 adalah kode Jerman. Siapa dia? Dan ... kenapa dia bisa mengirim pesan ke nomor Shena? Shena menghiraukan pesan itu dan kembali membaca bukunya.

Ting!
Ting!

+4930******
: I know you need money.

+4930******
: I will give it, if you accept my offer.

Shena terdiam sesaat. Lalu mengetikkan sebuah pesan.

You : What offer?

Shena menunggu balasan, namun lama sekali balasan itu muncul karena tak mau ambil pusing. Shena menyimpan handphonenya dan kembali membaca bukunya, dia sesekali melirik. Cukup 20 menit, gadis dengan rambut dikuncir itu keluar dari perpustakaan dan mengecek dompetnya.

“Ini kayaknya masih cukup kalau makannya cuman sayur doang ya? Cukup beberapa hari lah ya, penting makan.” Shena masuk ke dalam pasar kecil.

Mencari sayur-sayuran, dia membeli sayur kangkung, kol, wortel dan brokoli. Lalu membayar dan keluar. Berniat pulang dulu sebelum kembali bekerja!





Tbc, jgn lupa vote dan follow akun akuu

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang