“Aih, gue enggak apa-apa kali. Cuman lagi pusing mikirin tugas yang banyak banget,” ujar Shena.
“Mikirin tugas apa mikirin nikah? Kayaknya sama aja ya? Sama-sama buat otak pusing,” ujar Caca.
“Diam lo ah.”
“Sel, lo beneran nerima Randa? Nikah bukan soal minat tapi soal niat, dan seberapa konsisten lo dan Randa jalanin hubungan,” ujar Alfian.
“Wah udah pro ternyata,” ujar Caca.
“Sekali-kali, biar bisa pinang lo.”
“Ah becandanya bikin gue terbang,” ujar Caca.
“Kalau mau nge-gombal jangan bikin gue iri,” ujar Shena.
“Jones.”
“Enggak ya, enak aja. Gue tinggal lo bedua nikah baru tau rasa, tau rasa gimana rasanya jones,” ujar Shena.
***
Shena masuk ke dalam ruangan rawat di mana ada Putri di sana. Gadis dengan rambut blonde itu menoleh dan mendapati Shena, dia tersenyum kecil dan mengisyaratkan agar Shena datang mendekat kepadanya. “Udahlah Sel, aku dan kamu sekarang bisa jadi teman?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya ditambah senyum yang membuat Shena sedikit kikuk.
“Gue kayaknya enggak jamin hal itu, gue ke sini juga karena tau lo sakit. Emang sebelumnya kita gak pernah akrab?” Shena menyimpan beberapa makanan yang dia bawa.
“Hm, alasan lo ke sini selain itu apa?” tanya Putri.
“Enggak ada alasan lain. Cuman mau jenguk lo doang,” jawab Shena sedikit cuek.
Putri tertawa hambar. “Peduli apa lo?”
“Gue peduli? Kayaknya enggak, gue cuman mau nanya satu hal sama lo yang memungkinkan ini buat masa depan lo sendiri.”
“Lo suka sama Randa?” tanya Shena.
“Apa sih lo, kenapa kepo? Gue dan dia itu cuman sahabat sebatas sahabat doang engga kurang dan enggak lebih. So, lo jangan khawatir tentang hubungan yang akan lo jalin sama dia.”
Shena tertawa hambar. “Bahkan gue enggak ingin pernikahan ini terjadi, lo enggak ada niatan buat rebut dia dari gue?” tanya Shena.
“Gue bukan perebut calon suami orang. Kalau lo datang hanya buat gue marah, atau ngajak gue buat gelut atau hal lainnya kayaknya enggak bisa.”
“Santai aja, Put. Kalau emang lo suka sama Randa gue relain buat lo, gue yakin? Lo kayak gini jug-“
“Udah deh basa basi lo, kita sebelumnya enggak pernah seakrab ini. Kenapa tiba-tiba lo datang ke sini dan nanya-nanya soal ini?” tanya Putri heran.
“Gue cum—”
“Cuman apa, Shen? Gue dan Randa udah lama kenal. Kalau dia ada rasa sama gue, pastinya dia udah lama punya hubungan lebih dari seorang sahabat.”
Deringan handphone membuat keduanya menoleh. Putri mengambil handphonenya, di sana ada nama Naila. “Lo pergi, gue mau angkat telfon.”
Shena mengangguk.
Putri mengangkat telfonnya, menghela napasnya pelan.
“Halo?”
“Hai? Lo gimana? Gue denger lo masuk rumah sakit?”
“Iya. Gimana keadaan lo?”
Terdengar suara tawaan dari sana. “Seharusnya gue yang nanya.”****
Shena membuka kulkasnya, dia mendengus kesal saat tidak ada bahan-bahan makanan di dalamnya. “Ma? Ini enggak ada makanan gitu? Shena laper,” ujarnya sedikit berteriak.
“Oh iya Mama lupa, kamu pergi ke supermarket deh. Buat beli bahan-bahan makanan, Mama lupa soalnya sibuk urusin pernikahan kamu sama Randa,” ujar Dara.
Shena menghela napasnya, dia mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya. “Shena sebenarnya capek, tapi yaudahlah daripada laper.” Shena pergi meninggalkan dapur dan masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sweater.
Shena keluar dari rumahnya berjalan menuju supermarket terdekat. Sesampainya di sana dia mengambil beberapa barang kebutuhannya, bahan makanan yang akan dia buat makanan.
Satu bahan yang dia ambil terjatuh. Seseorang mengambilnya membuat Shena menoleh. Gadis dengan lesung pipi di pipinya itu menghiasi wajah cantiknya. “Makasih,” ujar Shena.
“Iya.” Gadis itu pergi meninggalkan Shena yang mematung, sepertinya dia pernah melihat orang itu. Orang yang pernah dia lihat di foto yang diberikan oleh Putri, dan Putri mengatakan bahwa dirinya harus berhati-hati karena perempuan itu adalah masa lalunya Randa.
Shena heran, kenapa dia harus berhati-hati bukannya lebih baik dia berkenalan dan menambah silaturahmi? Bukan hal yang salah. Shena yang tak mau lama-lama di sini lalu membawa belanjaannya menunju kasir.
***
Randa berusaha men-dial nomor Naila, namun gadis itu tidak mengangkatnya. Entah setan apa yang sudah merasuki Randa, tapi dirinya memang masih sangat rindu dengan Naila-yang notabenenya belum resmi putus dengan dirinya. Rasanya dia ingin kembali dengan gadis itu, tapi dia juga sudah menerima perjodohan dari kedua keluarga.
Bisa-bisa keluarga besarnya akan marah jika Randa kembali menolak semuanya. Tak lama Revan datang dan menyimpan tasnya. “Randa, gue boleh pinjam handphone lo bentar enggak?” tanya Revan.
Randa menoleh dan memberikan handphonenya pada Revan. Revan yang sedang men-scroll kontak panggilan Randa tiba-tiba handphonenya berpindah layar, seseorang menelfon Randa yang diyakini penelpon itu adalah Naila. Revan mengerutkan dahinya.
“Naila?” tanyanya membuat Randa merampas . handphone tersebut.
“Naila? Dia ....”
“Ya. Dia orang yang berharga di hidup gue. Dia kembali,” ujar Randa.
“Ralat, bang. Dia orang yang PERNAH berharganya dalam kehidupan lo. Ingat kan soal-“
“Soal perjodohan? Siapa yang bisa lupa soal itu hah? Hal-hal yang sedikit menyakitkan namun tetap dilakukan,” ujar Randa lalu pergi meninggalkan Revan.
Revan menggeleng pelan, kapan kakaknya itu akan bersikap dewasa. Revan yang tak peduli dengan Randa memilih untuk merehatkan tubuhnya. Sekarang sudah malam, namun Randa masih saja sibuk dengan handphonenya.
Randa sekarang sedang berdiri di depan teras rumahnya, dia menatap ke arah langit bertebaran dengan bintang-bintang. Randa duduk di salah satu tempat duduk di teras.
“Randa? Kamu kok di sini? Ini udah malam, mending kamu istirahat,” ujar Dahlia.
“Randa belum ngantuk,” ujarnya.
Dahlia menghela napasnya pelan. “Kalau enggak ngantuk yaudah kamu masuk deh. Dingin banget ini.”
Randa mau tak mau menuruti ibunya daripada urusannya akan menjadi lebih panjang. Dahlia menutup pintunya saat Randa sudah masuk ke dalam. Dahlia menatap putranya itu, wajahnya yang murung bisa menandakan kalau anaknya sekarang sedang tidak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomanceFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...