Karena terkadang, kecerobohan itu yang menyebabkan kekecewaan.
***
Untuk pertama kalinya, Randa dan Shena makan dengan satu meja sebagai sepasang suami istri. Namun masih dalam kecanggungan yang sama, tidak ada yang membuka suara satu sama lain. Suara sendok seperti bergaduh mengisi keheningan di antara mereka.
“Malam ini gue mau pergi,” ujar Randa.
Shena mendongak. “Kemana?”
“Ada yang perlu gue urus.” Setelah mengucapkan itu Randa meneguk habis airnya dan pergi meninggalkan Shena.
Shena mendengus pelan.
Meskipun tak jauh beda dengan hari lainnya setidaknya ada sedikit perkembangan, Randa memberitahu dirinya jika ingin pergi. Shena sudah berani mengambil jalan ini maka dia harus bisa mengambil resiko yang terjadi pada dirinya, untuk saat ini mau pun ke depannya.
“Perjodohan? Haha, udah kayak novel-novel tau enggak. Aneh,” gumam Shena lalu membersihkan meja makan dan masuk ke dalam kamarnya.
Dia membuka handphonenya. Menatap jelas foto bersama kedua sahabatnya, ya belum lama ini dia tak menikmati kebersamaan apalagi Rara yang baru tiba di Indonesia, dan Caca yang sibuk super sibuk sama kesibukannya.
Caca bestie
Please lah! Woy, tau enggak? Abangnya Rara balas chat gue tau enggak!!
Caca bestie
Sumpah gue mau terbang rasanya, tolong dong! Ah dia fast respon banget sumpah aa gimana gue enggak berharap coba!!
Dan banyak pesan lainnya yang membuat Shena menggeleng. Enak ya jadi Caca, bisa menikmati segalanya seperti mencintai orang yang kita suka, menikmati masa-masa percintaan daripada sibuk memikirkan bagaimana hubungan rumah tangga yang diawali dengan keterpaksaan. Sepertinya akan berakhir buruk, apalagi kedua insan yang sama-sama cuek.
Malam sudah sangat larut, Shena tak bisa memejamkan matanya sama sekali. Handphonenya berdering dengan lesuh dirinya mengambil di atas nakas. Dia mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelfon.
“Halo? Siapa sih nelfon malam-malam gini?”
Tidak ada jawaban. Shena menoleh ke handphonenya dan melihat username tersebut, seketika matanya terbelalak.
“Eh, eh sorry. Kenapa?”
“Hm, gue malam ini enggak pulang. Jadi lo tidur aja.”
Shena terdiam sejenak, menyesal dirinya menunggu Randa sampai selarut ini.
“Oh iya, oke deh gue tutup ya?”
“Tunggu.”
“Ya?”
“Tutup pintu, jendela dengan rapat. Selamat malam.”
Telfon dimatikan sepihak, entah mengapa kalimat itu secara enggak langsung membuat dirinya menghangat. Shena menyimpan handphonenya dan langsung menidurkan dirinya di kasur tanpa melakukan apa yang disuruhkan oleh Randa, toh Shena juga sudah mengeceknya tadi.
***
Pagi ini, Shena lagi-lagi telat bangun. Dirinya dengan cepat masuk ke dalam kamar mandi dan bersiap ke kampus. Pintu kamarnya terbuka, pasti Randa sudah pulang. Shena sudah selesai bersiap, dia turun ke bawah melihat Randa yang mondar mandir di depan sofa.
“Ngap-“
“Lo liat laptop gue?” tanya Randa sarkas.
Shena mengernyitkan dahinya bingung. “Wait, lo taro di mana emang?” tanya Shena lalu turun berdiri tepat di depan Randa.
“Di meja, di sini enggak ada CCTV lagi.” Randa berdecak kesal.
“Padahal semalam masih ada. Lo tutup rumah rapat kan? Jendela? Pintu belakang? Pintu samping, dan semuanya?” tanya Randa.
Shena terbengong, mana bisa dirinya menutup semuanya, mengecek semuanya. Shena mengangguk pelan lalu menggeleng. “Gue kan udah bilang, tutup pintu dan jendela semuanya dicek. Di sini kawasannya emang enggak baik,” kesal Randa.
“Ya mana gu-“
“Gimana lo bisa tau? Bahkan diberi tau aja lo enggak peduli.”
Shena mendengus. “Berapa sih laptopnya? Biar gue ganti.”
“Laptopnya enggak penting, tapi data-datanya yang penting!” bentak Randa.
“Ya lo enggak usah bentak-bentak kek gitu,” ujar Shena.
Randa memalingkan wajahnya. Shena bisa melihat jelas raut wajah kesal, marah dan kecewa. “Enggak semua hal bisa lo nilai dengan uang,” ujarnya lalu mengambil jaketnya dan pergi meninggalkan Shena.
Shena mengusap wajahnya pelan. “Gimana dong? Huh, dasar ceroboh!” Shena menepuk kepalanya. Dia berjalan menuju meja makan, di sana sudah ada makanan.
Bahkan Randa menyiapkan sarapan untuknya. Ah kalau begini Shena merasa sangat bersalah, dia duduk dan mengutuki dirinya yang bodoh dan ceroboh.
***
“Dia marah?” tanya Rara.
“Iya marah banget sampai bentak gue kayak tadi pagi sumpah,” ujar Shena.
“Ya elo sih, udah dikasih tau malah enggak dilakuin,” ujar Caca.
“Ish lo kok malah bela si Randa? Capek gue tau, nunggu dia pulang sampai jam 1 malam tiba-tiba dia nelfon dan bilang dia enggak pulang. Kesal gue tau.”
“Ya tapi kan, ini juga demi keamanan lo juga kan?”
“Iya gue tau, cuman ya gimana gue udah capek nunggu. Rumah itu besar banget, dan yang tinggal di situ cuman gue dan dia, dia nyuruh gue nutup semua jendela di sepanjang rumah itu? Mana pintu ada 4 lagi,” kesal Shena.
“Enak dong, terima aja. Banyak orang di luaran sana yang belum tentu dapat rumah yang seperti lo milikin sekarang,” ujar Rara.
“Okay guys, but you don’t understand my position,” ujar Shena.
“Apa sih yang enggak kira ngerti dari lo? Kalau saat ini, gue akui lo salah, Shena lo ceroboh. Bisa aja kan? Di dalam laptop itu ada skripsi milik Randa?” tanya Rara.
Setelah percakapan sahabatnya itu, Shena merenungi kesalahannya sampai-sampai dia curhat kepada kakak dan ibunya dan jawaban mereka sama saja seperti Rara dan Natasya, so, okay? Shena memang ceroboh.
“Shena! Lo harus minta maaf,” pintanya pada dirinya sendiri.
“Tapi gengsi gue tinggi banget,” lanjutnya.
***
Randa mengusap wajahnya pelan. “Kak, lo kenapa?” tanya Revan.
Tidak ada jawaban. Revan duduk di depan Randa. “Are you okay?”
“No.”
“Kenapa lagi? Masalah soal Shena?”
“Jangan bahas itu di sini deh,” ujar Randa.
“Ken—”
“Gue pernah bahas masalah pribadi lo di sini? Enggak kan? Di kantor ya bahas soal pekerjaan. Di kampus bahas soal pelajaran,” ujar Randa.
“Oke-oke, but-“
“Kalau enggak ada yang penting mending lo urusin ini progam buat sebulan ke depan.” Randa memberikan berkas itu kepada Revan.
“Heh, susah ya sama-sama sulit soalnya. Shena cuek, lo susah diajak ngomong. Dah clop banget deh,” ujar Revan lalu pergi meninggalkan ruangan.
Sepeninggalan Revan, telfon Randa berdering tercetak jelas nama Shena di sana. Randa bukannya ke kanak-kanakan tapi laptop itu sangat berharga baginya, apalagi isi di dalam laptop itu, mengingatkan dirinya akan kenangan-kenangan indah itu.
Randa menolak panggilan tersebut. Dia membuka galeri handphonenya, untung saja tak semuanya dia simpan di laptop. “Nai ...,” gumam Randa.
Di sisi lain cewek dengan rambut hitam pekat ini, mendengus pelan. “Sok jual mahal banget anjir!” kesal Shena.
“Padahal niat gue cuman mau minta maaf, suer padahal kejadian itu adalah kecelakaan, bahkan gue enggak tau menahu soal perampokan itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomanceFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...