Shena mengigit bibir bawahnya, dia melirik jam sudah malam sekali. Suara gemuruh petir pun datang. Shena semakin takut jika Randa kenapa-kenapa.
Keluarganya berada di ruang tamu turut khawatir. Shena keluar dari kamarnya, dia melirik keluarganya yang sedang sibuk menelfon dan mencari kabar. Sedangkan Revan sudah pergi sejak tadi, mencari kakaknya yang entah kemana.
Shena mengutuki dirinya yang sempat membentak Randa, tapi apakah yang dia ucapkan terlalu jahat? Sepertinya tidak, dia berhak mendapatkan itu.
***
Malam itu, Revan berhasil membawa Randa kembali pulang dengan keadaan baik-baik saja. Hanya beberapa perubahan di wajahnya, wajahnya terlihat lebih pucat dari kemarin-kemarin.
“Kamu tuh kalau ada masalah sama Shena dibicarakan baik-baik,” ujar Dahlia memberikan nasi ke piring Randa.
Dahlia melirik Shena yang terdiam menatap makanannya dengan tatapan tidak berselera. “Makan dong, kalian bisa aja marahan. Tapi jangan sampai melakukan hal di luar batasan ya?”
Randa meneguk air, lalu mengangguk sekilas menatap Shena yang hanya menatap makanan tanpa selera itu. “Hari ini Randa mau ke kantor, mau selesaiin semua kerjaan yang tertinggal.”
Randa berdiri, diikuti oleh Revan. Mereka berdua berpamitan untuk pergi ke kantor.
Lalu beralih kepada Rajendra yang mengusap kepala Shena. “Revan udah cerita semuanya, Randa pun sudah mengakui semuanya.”
“Ini tinggal kamu saja, mau bertahan apa tidak sama Randa, Nak,” tutur Endra.
Dahlia mengangguk. “Randa sudah berjanji untuk menerima segala konsekuensi dan juga permintaan kamu, dan jawaban kamu juga. Dia dan Naila itu ....” Dahlia menatap Endra.
“Mereka sudah tidak ada hubungan mulai saat ini, jika mereka berani mengganggu hubungan kalian. Papa pastikan untuk menuntut Naila atas hal ini,” ujar Endra.
Shena mendongak, lalu menggeleng. “Enggak, Pa. Shena enggak bisa terusin hubungan yang dimulai dengan keterpaksaan ini, yang berakhir duka seperti ini,” ujar Shena.
“Yang pada akhirnya. Ada salah satu yang harus kena sakitnya, Randa cinta sama Naila, dan Naila pun cinta dengan Randa. Bagaimana bisa Shena melanjutkan hubungan ini, jika ada orang yang menderita di baliknya,” ujar Shena.
“Perlu kamu ketahui bahwa semuanya hanya masa lalu sayang, masa lalu yang tak perlu kamu ungkit kembali,” ujar Dahlia.
“Ini bukan masa lalu, Ma, Pa. Mereka itu masih punya hubungan,” ujar Shena lagi. Lalu gadis itu menghela napasnya jengah.
“Mereka sudah putus, Papa yang akan menjamin semuanya. Jangan sampai ada perpisahan di antara kalian,” ujar Endra.
****
Shena memilih untuk melanjutkan pekerjaan di kantor milik Rangga. Satu-satunya penghasilan yang dia dapat saat terpuruk menghampiri dirinya. Sahabat yang sebetulnya belum bisa Shena anggap sebagai sahabat.
Shena harus melangkah jauh, jauh lagi. Tak perduli ocehan apa lagi hinaan orang-orang sekitar.
“Kalau yang ini harus selesai malam ini, karena sudah hampir masuk deadline,” ujar Angel—salah satu karyawan.
Shena mengangguk. “Btw, liat Rangga enggak?” tanya Shena.
Angel menatap sekitar. “Kayanya pergi sama ceweknya deh, soalnya tadi gue liat dia naik mobil sama cewek gitu.”
Shena terdiam sesaat lalu mengangguk sekilas. Dia kembali melakukan pekerjaannya, semenjak dirinya meminta Rangga untuk jangan terlalu dengan dengan dirinya, Rangga pun menyetujuinya.
Karena Shena juga sudah punya suami.
Baik dalam hubungan sahabat, Shena juga harus bisa menjaga jarak dari lelaki lain, kan?
Siang itu, Rara datang ke kantin perusahaan menemui Shena yang sedang melamun menatap ke arah jendela, yang bisa melihat keadaan jalan raya yang cukup padat dan ramai.
“Kurangin kebiasaan melamun, engga baik tau enggak.” Rara menarik kursi dan memberikan segelas jus kepada Shena.
“Eh, sejak kapan?” tanya Shena.
“Baru aja. Kenapa sih akhir-akhir ini lo sering banget ngelamun, setiap kita ketemu lo pasti diem doang,” ujar Rara.
“Kalau ada masalah cerita aja.” Tangan Rara mengusap tangan Shena. Shena mengangguk sekilas lalu tersenyum.
“Oh ya!” Rara merogoh tasnya.
“Lo harus datang, bareng Randa. Ajak juga si Revan ya, mama dan papa dan mertua lo juga kalau mau,” ujar Rara menyodorkan sebuah undangan pernikahan.
Rara & Alfian
Shena mengukir senyum dan menerima undangan itu dengan senang hati. “Selamat ya, nggak nyangka lo bisa nikah sama Alfian. Orang yang lo kagumi dan lo bangga-banggain sejak dulu,” ujar Shena.
“Beruntung banget!” seru Shena.
Rara tertawa lalu memutar bola matanya malas. “Ini juga butuh perjuangan berapa tahun coba, gue bahkan sampai engeh. Tapi namanya jodoh ya,” ujar Rara.
“Sempet marahan juga sama lo karena dia tuh. Akhirnya luluh juga anaknya, kirain enggak,” ujar Rara.
“Bangga gue sama pencapaiannya lo sekarang, btw gimana dengan Natasya? Kenapa enggak lo ajak ke sini aja?” tanya Shena mencari keberadaan anak itu.
Rara terdiam beberapa saat, lalu menghela napasnya pelan. “Dia pengen sendiri katanya, soalnya Rangga nyuruh dia ngejauh gitu. Gue nggak tau apa sebabnya, dia juga enggak kasih tau. Dia katanya berusaha move on,” ujar Rara.
Shena mengernyit. “Lalu, yang sama abang lo itu. Bukan Caca?” tanya Shena.
“Yang mana?”
“Tadi loh, dia katanya pergi sama cewek gitu. Gue enggak liat sih, gue kira si Caca, berharap juga gue. Ternyata bukan,” ujar Shena menggaruk tengkuknya.
“Siapa ya? Sebelumnya dia itu enggak pernah bawa cewek loh ke tempat kerja atau ke rumah, apalagi naik mobil bareng,” ujar Rara.
“Ya gue enggak tau. Rahasiain aja dari Caca deh, takut anak itu hatinya amsyong kalau denger ini, kasian dia. Gue dukung deh Caca move on sama Rangga,” ujar Shena.
Rara mengangguk antusias. “Gue juga, sebenarnya Caca itu udah bagus jadi kakak ipar gue. Cuman gue turut sakit ati, kalau dia nangis karena kakak gue. Berasa jahat banget ya abang gue.”
“Satu-satunya kisah percintaan paling mulus kayaknya cuman lo deh,” ujar Rara.
Shena mengulum bibirnya lalu mengangguk. “Semoga aja.”
“Btw yang lo bilang Revan itu mantan lo dulu, bener?”
Shena mengangguk santai.
“Gila ya. Kenapa enggak sama dia aja nikahnya, kan? Biar enakan gitu. Cuman gue tetap dukung lo sama Randa ya, dia baik soalnya.”
“Baik?”
Rara mengangguk.
“Malam itu, gue kan lagi ke Alfamart ya sendiri. Dia anterin gue balik, pas dia mau balik tau-tau hujan,” ujar Rara.
“Terus dia enggak mau neduh, katanya takut lo khawatir atau keluarganya khawatir.”
“Mana malem banget udah jam 12 malem.”
“Gue ke Alfamart mau beli mie samyang. Takut lo nanya, ngapain malam-malam ke Alfamart,” jelas Rara.
“Oh.” Shena beroh ria lalu menyeruput jus lemonnya.
“Kan gue nggak ada hak buat maksa dia tetap sama gue. Kalau dianya udah enggak mau, yaudah,” ujar Randa.
Revan menggeleng. “Seharusnya lo perjuangin lah. Jangan sampai renggang kayak gini, lo tau apa yang Papa korbanin agar Naila itu berhenti dan mutusin hubungan lo sama dia?”
“Dia kembaliin semua dana yang pernah dikasih oleh om Hendra, Papanya.”
“Kalau kalian enggak bisa mencoba karena perasaan kalian. Coba deh, lihat dari sudut pandang kedua orang tua kalian,” ujar Revan.
Tring!
Revan dan Randa menoleh, melihat sebuah gelas berisi air yang jatuh di depan pintu. Revan menatap Randa berjalan ke arah pintu kamar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomanceFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...