Dunia itu sempit ya.
Shena terdiam sesaat di dalam kamar, lalu membuka buku kakaknya yang di bawah bantal miliknya. Shena mendengus pelan, lalu mengusap wajahnya.
“Mungkin kita bakal lama di sini, Shen.”
Shena memainkan jarinya, Revan bilang kalau mereka akan lama di sana, Randa dan Naila mungkin akan bisa membuka hati satu sana lain di sana. Mungkin jauh lebih baik jika seperti itu, daripada Shena susah-susah dan sesak melihat mereka menjalin hubungan di sini.
Lihat sampai kapan drama cinta ini berhenti.
Kalaupun dia dan Randa tak bersama, tidak apa-apa.
Shena sadar posisi, dan membuang jauh janji dan jaminan yang Randa berikan. Walau begitu berat, tapi yasudah lah. Shena menutup matanya, lalu tertawa. “Miris banget ya sekarang,” gumam gadis itu.
****
Mata gadis itu terbuka saat seseorang terdengar membuka pintu, Shena menguap sekali lalu gadis itu bangun dari tidurnya dan mengganti pakaiannya. Dia melihat kakaknya yang sedang duduk dengan kepala yang dia pegang. “Kak Leana kenapa?” tanya Shena.
Leana tersenyum lalu memegang tangan Shena. “Enggak, mungkin ini efek dari obat yang dikasih dokter. Emang sering gini kalau udah minum obat, kakak mau ganti baju dulu.”
Shena menatap kakaknya, lalu berjalan menuju ranjang king itu dan duduk. Membiarkan tubuhnya bersandar di kepala ranjang, sambil menatap handphonenya.
Leana naik, dan menatap sang adik.
Shena menoleh. “Ini udah jam 11 malam, kakak baru pulang?” tanya Shena.
Leana mengangguk. “Ya sekali-kali, jarang soalnya. Keluar juga paling ngurus butik, setelahnya enggak ada lagi.”
“Kamu tau, Sel?”
Shena terdiam.
“Dia Iky, teman kecil kakak.”
“Lebih tepatnya, teman kecil kita berdua,” ujar Leana.
Shena mengernyitkan dahinya bingung, lalu ber-oh dengan nada terkejut. “Hah? Beneran? Kok dia enggak tau kita sih? Astagfirullah, jadi selama ini ... dia, hah.” Shena menggeleng tak abis pikir.
“Iya ....”
“Dia lupa ingatan,” ujar Leana tertawa di akhir kalimatnya sambil menutup matanya lalu menghela napasnya pelan. Shena mengusap pundak kakaknya, lalu memeluknya.
“Dia cinta kedua kakak ya? Bagus sih milih dia, cuman ya dia udah lupa ingatan. Ingat kita aja enggak kan? Kenapa orang tua dia enggak kasih tau kalau kita ini temen kecil dia?” tanya Shena masih setia memeluk kakaknya, menyimpan kepalanya di pundak kakaknya.
Leana mengusap wajah adiknya. “Ya gimana ya, kakak juga bingung sendiri. 11 tahun kita sama-sama, dia sempat pindah ke Bekasi. Ah, setelah dia lupa ingatan,” ujar Leana.
“Aku dan dia ketemu saat kuliah semester 2, cuman dia enggak kenal kakak,” ujarnya.
Shena terdiam, lalu tersenyum. “Tapi sekarang baik kan? Kalian tetap dekat, ya seperti dulu lah. Walau dia enggak ingat, tapi setidaknya kakak dan dia bertemu lagi.”
“Rindu saat dia manggil kakak itu, Dede Leana,” ujar Shena lalu mendongak menatap kakaknya yang tersenyum dengan pipi bersemu merah.
“Rindu banget ya.”
“Kakak cinta sama dia?”
Leana terdiam, kemudian gadis itu mengangguk pelan.
****
Randa masuk ke dalam kamar Villa, menatap malas ke arah Revan yang sedang bermain game. Perasaan anak itu dari tadi bermain game mulu, apakah dia tak bosan atau apa?
“Lo enggak bosan main game?”
“Karena bosan, makanya gue main game,” jawabnya enteng.
Randa menghela napasnya pelan, lalu melepas jaketnya dan mengganti kaos yang dia kenakan. Revan sesekali melirik, lalu mendengus pelan.
“Gimana perkembangan hubungan kalian? Udah kembali kayak dulu? Atau sebaliknya?” tanya Revan dengan mata yang masih fokus dengan gamenya.
Lebih tepatnya dia sedang bermain mobile legends.
Randa mengeraskan rahangnya. “Lo ngomong apa sih. Ngaco.”
Randa duduk di tepi kasur, lalu membuka handphonenya.
“Bego banget jadi orang,” ujar Revan.
Randa tak menggubris lalu merebahkan tubuhnya, dengan membelakangi Revan. Revan menyimpan handphonenya lalu menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang, menatap lurus ke depan. Lalu bergumam pelan.
“Bener ya, kalau udah ketemu cinta. Orang itu bisa jadi labil,” ujar Revan.
*****
Shena menatap ke arah Natasya yang sedang menekuk wajahnya, Shena mengusap pelan pucuk kepala sahabatnya lalu bergumam di telinganya. “Good morning, my bestie.”
Natasya bergidik geli lalu mengalihkan pandangannya ke arah Shena dan tersenyum sekilas.
“Ngapa sih? Udah 2 hari ini lo bete mulu mukanya,” ujar Shena lalu duduk di samping Caca.
“Gamon sama abang gue sih,” celetuk Rara.
“Padahal gue udah berusaha untuk ngasih kode ke dia kalau Caca itu beneran tulus sama dia, udah kasih nasehat dan segala macam. Cuman gimana ya? Susah, hatinya udah kayak batu gitu,” ujar Rara.
Caca menatap Shena. “Tapi beda ke Shena ya?” tanya Caca lalu mengalihkan pandangannya ke Rara yang sedang menaikkan alisnya bingung.
“Maksudnya?”
Caca tertawa. “Enggak kok, cuman gue ngerasa aja kalau emang vibesnya beda banget kalau sama Shena atau yang lainnya.”
“Dia kalau ngomong ke orang lain itu, nggak cuek. Lah ke gue? Ngomongnya enggak niat gitu.”
“Apa perlu jadi orang lain buat dia nerima gue? Gue kurang apa sih? Ya walau kadar otak gue enggak sepinter kalian berdua. Cuman gue orangnya tetap bisa diandalkan kan?” tanya Caca.
“Frustasi banget ya? Gue saranin lo benar-benar bisa kuatin hati lo deh, soalnya kalau bukan jodoh mah kita bisa apa.”
“Lagian ya, dia enggak cuek kok. Cukup lo biarin dia memulai percakapan itu sendiri, kalau emang ketemu sambil diem-dieman juga nggak apa-apa, biar dia yang nunjukin sendiri kalau dia itu enggak cuek,” ujar Shena.
“Kalau gue dan dia ya bisa disebut lebih terbuka, jadi gue harap lo enggak pikir macam-macam ya? Dia, Rara dan gue itu sahabat dari kecil.” Shena tersenyum.
Caca mendengus. “Yaudah deh, terserah dia mau ngapain gue nggak bakal peduli lagi. Gue bener-bener mau move on!” ujar Caca tersenyum.
“Padahal gue udah siap punya ipar kayak lo,” ujar Rara.
“Jangan gitulah entar gue enggak jadi move onnya.” Gadis itu berdiri dan pergi meninggalkan keduanya.
“Gue yakin besok juga curhat bilang, gue udah gamon sama dia. Dan banyak lain-lainnya, gedek gue sama orang labil dan plin plan,” ujar Rara.
“Wajar sih. 6 tahun suka sama orang, tahan banget ama atinya,” ujar Shena.
“Hm, gue aja sama Alfian biasa aja sekarang mah. Terserah dia mau mutusinnya gimana, kalau enggak nyaman sama gue yaudah. Sok, bisa kok gue mundur. Tunggu aja jawaban dia kayak gimana, kalau emang mau buka hati. Bagus, kalau enggak. Ya pasrah,” ujar Rara.
“Bagus sih pemikirannya, biar enggak terkesan ngemis ya? Jangan sampai. Wanita itu berharga,” ujar Shena.
“Cowok juga kok, dia berharga jika hanya memiliki satu wanita,” ujar Rara.
Shena terdiam, dia menghela napasnya pelan. Teringat sebuah janji untuk bertemu dengan seseorang, bahkan dia sampai lupa.
“Gue sore ini nggak bisa ke rumah lo ya, gue ada urusan. Kalau ada waktu, gue chat!” Shena berdiri dan melambaikan tangannya.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomantizmFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...