“Kadang apa yang dilakukan, tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka dari itu ada yang namanya berjuang.” -Randa
****
“Alasan gue gampang. Enggak mau ngecewain orang tua,” ujar Randa.
“Tapi soal perasaan lo gimana?”
“Soal cinta belakangan. Selagi hubungan ini bukan hubungan haram, lanjutin.” Randa masih fokus bergelut dengan setirannya.
Shena menghela napasnya pelan.
“Sekali aja, andai Leana bisa gantiin lo juga bisa. Tapi kakak lo itu punya penyakit,” ujar Randa.
“Hah?”
“Lo adiknya atau siapanya? Penyakit dia aja lo enggak tau?” tanya Randa.
Shena terdiam, sebelumnya dia tak pernah tau kalau kakaknya memiliki penyakit. Dia hanya tau, kakaknya sibuk dengan batik yang dia miliki. “Lumayan klise, mereka enggak mau nikahin gue dan kakak lo, karena lo paham?” tanya Randa.
“Ya gue paham enggak usah dijabarin gitu,” ujar Shena.
Randa memberhentikan mobilnya di depan rumahnya. “Kok?” Shena baru sadar, Randa tak membawanya ke rumahnya melainkan ke rumah kediaman Rajendra Bharti.
“Ngapain?” tanya Shena.
“Bokap nyokap gue mau ngomong sama lo,” ujarnya lalu turun dari mobil. Shena yang sedikit terkejut kini mengumpulkan rasa tenangnya.
Shena mengikuti langkah Randa. Sesampainya di dalam rumah Randa yang sangat luas itu, mata Shena menangkap ayah dan ibunya yang sedang berbincang dengan kedua orang tua Randa. Apakah dia sekarang sedang bermimpi? Shena menepuk pelan pipinya, sadar semuanya nyata.
“Shena, duduk sayang.”
Shena berjalan menuju Dara-ibunya dia duduk di salah satu sofa, dengan pandangan yang tertunduk. Dia untuk kedua kalinya ke sini, Shena sungguh jengah. “Secepatnya dia akan jadi menantu kami kan?” tanya Dahlia.
Shena langsung mendongak, pandangan lalu beralih kepada Randa yang sepertinya sangat santai. Ah sudahlah, mungkin sampai sini saja penolakan dirinya soal pernikahan ini. Ke depannya dia akan tau akan seperti apa, kalau pun akan berakhir cerai seperti orang-orang di luar sana, dan Shena yang akan menjadi janda dia akan menerima semua resikonya.
“Shena, Randa. Semuanya sudah siap, hanya diri kalian saja yang belum siap. Sampai kapan kalian berdua menggantung kami?” tanya Rama.
“Randa sudah siap, Om.”
“Shena juga.”
****
Setelah usai semua perbincangan santai itu, pernikahan ditetapkan lusa. Keluarga Shena kini sudah berada di rumah, Shena yang kini berada di dalam kamar merenungi dirinya yang terlupa kalau kakaknya sekarang sedang sakit. Kenapa dia tak mengetahui semuanya? Dan soal pernikahannya bukankah ini terlalu cepat untuk usianya yang masih 20 tahun?
“Sebuah kalimat untuk hari ini. Fakta terungkap dengan kenyataan yang mendatang,” ujar Shena.
Dia duduk di balkon kamarnya sambil memainkan gitar di pangkuannya bernyanyi-adalah salah satu hobinya. Juara sudah sering dia dapatkan di sekolah jenjang SMP dan SMA. Karena kuliah jarang mengadakan hal tersebut, ya berakhir Shena hanya bisa menyanyi sebagai hobi saja.
Beberapa petikan sudah dia lakukan, kantuknya tiba-tiba melanda dirinya. Namun pergerakan jalannya menuju kasur terhenti saat teleponnya berdering.
“Halo beby, lo lusa mau nikah ya? Lo parah enggak ngasih tau gue!”
“Hah? Bentar deh, lo tau darimana kalau gue-”
“Gue kan emang ratu sumber informasi! Jadi apa pun soal lo bakal gue tau, secepatnya.”
“Yaudah terserah. Lo nelfon gue cuman mau bilang itu doang? Gue ngantuk mau tidur.”
“Ini baru jam 9 malam, tidur cepet banget dah kek anak bayi lo.”
“Emang. Secara wajah gue kan masih kayak bayi, mulus, tanpa dosa.”
“Nyesel gue bilang. Tapi kalau lo mau tidur, gue tutup!”
Tut. Telfon dimatikan sepihak oleh Caca, Shena melempar handphonenya ke atas kasur menyimpan gitarnya dan naik ke atas kasurnya.
Dia mematikan lampunya, berusaha untuk tidur dan mencari sebuah ketenangan di alam mimpinya, semoga dia mendapatkannya indah tak seperti di dunia nyatanya.****
Dara membuka pintu milik Shena, menatap putrinya yang sudah tertidur. Mendengar jawaban kalau anaknya siap untuk menikah membuatnya terkejut.
Dia tau anaknya ini, tidak menerima perjodohan ini. Namun, Dara juga tak bisa menghalangi hal ini dia dan anaknya sama, sama-sama perempuan. Tau rasanya memaksakan hal yang tidak ingin dilakukan hanya memberi luka di hati saja. Gadis dengan rambut hitam pekat itu diurai oleh tangan lembut ibunya.
“Semoga takdirmu baik sayang.” Dara mengecup pelan kening Shena dan meninggalkan kamar milik Shena.****
Semilir angin pagi menyentuh kulit putih milik Shena. Gadis itu terbangun dan mulai bersiap untuk ke kampus, seusai dia bersiap Shena turun dengan pakaian casual-nya. Dengan rambut dikuncir. Kakinya berjalan menuju ruang makan, matanya menangkap Randa yang berada di ruang tamu.
“What? Dia ... ah sudahlah,” gumam Shena lalu menyantap sarapannya dia mengambil tasnya dan berjalan menuju Randa.
“Aku udah siap, bisa berangkat sekarang?” tanya Shena.
Randa mengangguk, mereka berdua berpamitan. Berjalan menuju mobil milik Randa, dan di sinilah mereka berdua berada di dalam mobil Randa. Shena yang hanya menatap ke depan tanpa memperdulikan Randa sedikit pun. Randa berdehem pelan. “Jangan gitu sikapnya sama calon suami,” ujar Randa.
“Lo sehat kan?” tanya Shena. Rasanya aneh, Randa yang cuek kemana? Kenapa yang muncul Randa yang ramah senyum dan berhati hangat?
“Sehat, lo sendiri?”
“Gue sakit.”
“Sakit? Mau ke rumah sakit?”
“Sakit jiwa liat sikap lo kayak gitu, aneh tau enggak. Lo kayak bukan Randa yang gue kenal,” ujar Shena.
“Berubah buat masa depan emang enggak boleh ya? Sebenarnya sikap asli gue kayak gini,” ujarnya.
“Oh.”
“Percaya?”
Shena tak menjawab.
“Harus percaya, kalau mau jalin hubungan dengan gue harus saling percaya. Jangan dingin dan cuek kayak gitu, gue tau ini terpaksa tapi emang lo mau ngehindar mulu?” tanya Randa yang masih fokus dengan setiran-nya.
Shena hanya mendengar.
“Pulangnya jangan sendirian, biar sama gue aja. Telfon aja kalau butuh,” ujar Randa. Shena mengangguk sekaligus menggeleng tak percaya.
Dia melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil Randa. Randa hanya bisa mengamati saja. “Biasanya hubungan itu manis di awal pahit di akhir. Tapi mungkin hubungan kita bakal beda ya? Pahit di awal dan manis di akhir.”
Randa tersenyum dan merapikan bajunya lalu turun dari mobil. Telfonnya berdering. “Halo?”
“Gawat, Ran! Putri kambuh lagi.”
Randa mengusap wajahnya. “Tap-“
“Jangan tapi-tapi, dia nyebut nama lo mulu. Gue enggak bisa bantu banyak. Datang lo ke sini cepat.”
Telfon dimatikan sepihak. Randa mendengus kesal, baru saja dia mau fokus mencari cintanya. Randa masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan kampusnya. Shena yang melihat dari jauh hanya tersenyum tipis. “Ya tetap aja sih, dia lebih peduli sama satu cewek,” gumam Shena.
“WOY!” Natasya datang dan menepuk pelan pundak Shena.
“Suka banget ngagetin ya? Udahlah gue mau masuk kelas. Kalau mau ngebacot mending sama Alfian ya. Jangan sama gue, oh ya lo kayaknya cocok deh,” ujar Shena.
Caca mendegus kesal. “Siki bingit ngigitin yi? Idihlih gii mii misik kilis. Kilii mii ngibicit minding simi Ifiin yi. Jingin simi gii, ih yi li kiyiknyi cicik deh. Ah banyak omong, mentang-mentang udah mau nikah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomanceFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...