Rama mengangkat tangannya, Billar menjabat tangan Rama. “Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya Leana Kejora Andriani binti Rama Aldebaran dengan mas kawin seperangkat alat sholat dengan 20 Lot saham dan 20 gram emas dibayar tunai.”
“Saya terima nikahnya Leana Kejora Andriani binti Rama Aldebaran dengan saya sendiri dengan mas kawin seperangkat alat sholat dengan 20 lot saham, dan 20 gram emas dibayar tunai.”
“Bagaimana para saksi?”
“SAH!”
“Alhamdulillah, Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih.”
Leana menyalami Billar, Billar mengecup pelan kening Leana.
Shena menghapus air matanya, lalu tersenyum. “Randa nelfon,” ujar Revan menyodorkan handphonenya.
Shena menatap handphone itu sesaat, lalu mengambilnya. Keluar dari rumah dan menempelkannya ke telinganya.
“Bahagia ya hari ini? Maaf enggak bisa turut datang ke sana. Titip salam sama kakak ipar atas pernikahannya.”
Hening beberapa saat. Shena menutup matanya, suara yang sudah hampir 1 bulan ini tak dia dengar, akhirnya bisa kembali terdengar.
“Enggak apa-apa, nanti aku salamin.”
“Aku janji akan pulang segera.”
Shena mengusap air matanya. “Ditunggu pulangnya.”
“Jangan nangis.”
“Randa ayo! Cepet!”
Terdengar suara seorang perempuan dari sana. Shena menunduk ke bawah, lalu menatap handphone Revan lalu mematikannya. Shena tak tahu harus senang atau sedih.
Revan menyodorkan sebuah tissue. “Jangan nangis di hari bahagia kakak lo.” Revan mengambil kembali handphonenya.
Shena mengusap air matanya, lalu menghela napasnya pelan. “Naila tadi ya,” gumam Shena.
“Nggak usah dipikirin,” ujar Revan.
“Nggak bakal. Ngapain coba mikirin orang yang nggak penting kayak dia itu,” ujar Shena.
Revan terdiam, benar kata Shena. Namun dalam sebuah hubungan rumah tangga antara mereka perlu sebuah kecemburuan, Revan heran dan merasa aneh dengan hubungan yang Randa dan Shena jalani.
Shena menyenggol lengan Revan. “Kenapa?” tanya Shena.
“Hm, nggak.”
Revan melongos pergi dari hadapan Shena. Shena menghela napasnya pelan, lalu mengusap sisa air matanya lalu kembali masuk ke dalam rumah.
Kini dilanjutkan dengan acara sesi foto keluarga, dan makan-makan tentunya. Rara dan Caca, serta Rangga turut datang di acara istimewa ini.
“Eh mereka semua udah balik ya? Randa kok nggak muncul?” tanya Rara sambil celingak-celinguk mencari keberadaan Randa.
“Oh ... em dia itu.” Shena menjeda kalimatnya. “Dia nanti bakal balik kok,” jawab Shena seadanya.
Walau dia belum tau pasti, setidaknya berharap suaminya kembali bukan sebuah kesalahan kan?
****
Acara baru saja selesai, dan jam sudah menunjukkan pukul 17:00. Shena menatap dirinya di cermin, lalu menghela napasnya pelan. Melirik sekilas, kakaknya yang sedang diam dan tersenyum menatap beberapa foto di balik handphonenya.
Shena duduk, lalu mengusap punggung kakaknya dan tersenyum. “Seneng ya?”
Leana mengangguk.
“Harus dong, tapi sering-sering ke sini ya,” ujar Shena.
Leana menatap adiknya, lalu memeluknya erat. Rasanya waktu begitu cepat sekali berlalu, apa yang selama ini dia harapkan akhirnya terwujud. “Kalau ada apa-apa cerita aja, jangan dipendem ya.” Shena melepas pelukannya lalu menatap kakaknya.
Seseorang masuk ke dalam kamar, membuat Shena dan Leana menoleh bersamaan. Rama berdiri dengan raut wajah bercampur aduk, antara sedih dan senang. Kemudian pria paruh baya itu langsung merentangkan kedua tangannya.
Shena dan Leana saling bertatapan, lalu berlari kecil dan masuk ke dalam pelukan sang ayah. Rama mengusap kepala anaknya, lalu menciumnya. “Semuanya udah nikah, jaga dan pertahankan pernikahan kalian, jangan ada kasus perceraian di dalam rumah tangga kalian,” ujar Rama.
“Kalian anak yang baik, Insha Allah mendapatkan takdir yang baik juga dari Allah, banyak cobaan yang datang itu sebagai ujian semata.” Shena dan Leana hanya mendengar. Sayup-sayup kedua mata mereka bertemu.
Shena merasakan, ada air mata yang jatuh di atas kepalanya, gadis itu mendongak melihat sang ayah menangis. “Papa jangan nangis,” gumam gadis itu.
Rama mengeratkan pelukannya. “Maafin papa kala—“
“Papa kenapa minta maaf?” tanya Leana.
Rama tersenyum lalu melepas pelukannya. Memegang pundak anaknya lalu tertawa. “Memangnya kenapa kalau papa minta maaf? Emang salah?” tanyanya balik.
Shena menggeleng. “Aneh aja,” jawabnya dibalas kekehan dari sang ayah.
Rama menatap Leana. “Maafin papa kalau saat butuhnya kamu, papa tidak ada di samping kamu. Papa enggak mau kamu sembunyiin hal besar dari Papa, papa ngerasa nggak guna jadi seorang ay—.”
Leana menyatukan jarinya di bibir ayahnya, lalu gadis itu menggeleng. “Leana yang salah, Papa jangan minta maaf. Nanti Leana ngerasa tambah bersalah,” ujar gadis itu.
Dara memanggil Leana untuk turun, gadis itu menoleh sebentar lalu pergi dari kamar dan menyisakan Rama dan Shena saja. Rama menatap putrinya yang sedang termenung sesaat, kemudian gadis itu menatap ayahnya.
Shena tertawa lalu menaikkan alisnya. “Kenapa sih? Ngeliatin Shena sampai segitunya?” tanya Shena heran.
Rama terdiam.
“Papa kenapa?” Shena mengubah raut wajahnya.
“7 bulan setelah kalian menikah, ada beberapa hal yang perlu kamu ketahui, Nak.”
Shena memalingkan wajahnya, pasti Papanya akan bercerita soal Randa, padahal moodnya sedari pagi tidak baik karena Randa tak mengubungi lagi setelah suara Naila muncul di telefon pagi tadi.
“Kamu cinta sama Randa?” Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut sang Papa, dada Shena berdetak tak karuan ditanya hal mudah seperti itu.
Padahal jawabannya sangat mudah, Shena tak mencintai atau menyukai Randa. Namun kenapa seolah hatinya menolak akan hal itu. Shena menggeleng. “Apa sih Pa, random banget pembahasannya.” Shena terkekeh garing.
Rama memegang kedua pundak Shena. “Kalau kamu enggak cinta sama dia, Papa izinin kamu untuk mengakhiri hubungan kamu dengan dia.”
Shena membulatkan matanya.
“Papa sadar, akan satu hal. Tentang kebahagiaan kamu, dan soal masa depan.”
“Tapi Papa tadi bilang, kalau tidak ada kasus perceraian dalam rumah tangga aku dan kak Leana,” ujarnya seolah membantah, padahal ini tak perlu dibantah bukan? Toh, Shena juga tak mau lama-lama di dalam hubungan yang rasanya palsu ini.
Apalagi, Randa masih belum putus hubungan dengan Naila.
Rama terdiam. “Papa tarik kata-kata itu untuk kamu, berlaku hanya untuk kamu saja. Karena ....”
Shena menaikkan alisnya, Papanya seperti plin-plan dalam hal ini. Dan rasanya begitu aneh.
“Karena apa, Pa?”
“Karena Randa punya hubungan dengan orang lain,” jawabnya.
Shena terdiam, dadanya seperti sesak. Namun, dia tau akan hal itu yang dia tak tahu adalah, kenapa Papanya bisa tau semua itu. Shena menggeleng, mencoba untuk tidak percaya akan hal itu, seolah tak tau.
“Papa tau darimana?” Shena mengubah raut wajahnya.
“Dari percakapan Randa dan Revan.”
“Shena dengerin Papa, kamu bisa berjuang, dan kamu bisa mundur untuk memilih masa depan kamu, sayang. Papa hanya bisa mendukung apa yang akan kamu perbuat untuk saat ini, dan apa pun keputusan kamu. Semoga kamu pertimbangkan baik-baik.”
“Jangan sampai ada luka tersimpan di dalam hatimu.”
“Dan jangan sampai kamu menangis karena sifat brengsek seorang laki-laki.”****
Shena terdiam di balkon kamarnya, kenapa begitu terlambat? Di saat Shena benar-benar dilema dengan perasaannya sendiri. Baru semuanya terungkap, semakin ke sini.
Dirinya semakin disiksa sama perasaan sendiri.
Ditampar keras oleh sebuah kenyataan.
Yang Shena sendiri tak bisa hindari.
Jika ditanya sakit? Sungguh sakit, namun bagaimana? Untuk melangkah saja sesulit ini. Apalagi memutuskan hal untuk ke depannya. Intinya Shena dilema dengan perasaannya sendiri.
Ponselnya berdering.
Randa is calling ....
Shena men-reject panggilan itu.
Shena menghela napasnya pelan, lalu mengusap wajahnya dan masuk ke dalam kamarnya.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomansaFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...