03. Elsi

285 78 28
                                    

Elsi tersenyum puas pada baju yang sekarang melekat di tubuhnya. Ini baju yang sangat cocok untuk ujian praktek yang tinggal menghitung pekan. Elsi hanya perlu menambahkan perlengkapan seperti rompi dari kulit dan ikat pingang untuk mengikat saku tambahan di perut dan paha.

Memang, April tidak pernah mengecewakan.

Elsi kembali mematut diri di cermin seukuran tubuhnya. Baju putih gading yang ia pakai benar-benar ringan dan nyaman. Dan yang paling penting, menyerap keringat. Meski Elsi masih belum terbiasa dengan keberadaan tali sebagai pengganti kancing di leher, tapi tidak masalah. Lengan bajunya yang sesiku dapat menyembunyikan pedang pendek di lengan atas dengan baik, tinggal membalutkan bandage agar tangannya tidak licin ketika menggenggam pedang.

Celana dengan warna yang sama dengan panjang sedikit melebihi lutut juga terasa sangat nyaman. Sengaja Elsi tidak memanjangkannya karena enggan merasa berat ketika memakai sepatu kulit selututnya nanti.

Pokoknya, Elsi merasa puas.

"Aku bisa melihat kepuasan di sana."

Senyuman Elsi langsung pudar ketika ia spontan melirik ke arah perempuan berambut putih. Benar, putih. Seperti uban. Sebenarnya, itu tampak lebih mirip benang kusut ketimbang ikatan rambut.

"Aku masih menunggu terima kasih." Perempuan itu tersenyum miring dengan kedua tangan terlipat di dada.

Elsi mendengkus, "thanks."

"Woow, curang. Kamu bersembunyi di bahasa aslimu." Perempuan itu pura-pura protes. "Bagaimana aku tahu apakah kamu berterima kasih ataukah mengutukku?"

Elsi memutar bola mata. "Terima kasih, April."

Perempuan berambut putih itu, April, terkekeh bangga.

"Sangat sulit mendapatkan terima kasih dari Nona ini. Anda benar-benar hebat, Nyonya." Seorang pria muncul dari pintu di belakang April, menghampiri. "Wow, itu tampak bagus, Nona." Netra kehijauannya tampak bersinar jika Elsi tidak berhalusinasi.

Elsi kembali mendengkus. Netra hijau itu, yang selalu mengingatkannya pada dedaunan yang jatuh di tanah. Entah sejak kapan Elsi terus berurusan dengan pemiliknya, seolah terikat dengan pesona netra itu. Rambut abu-abunya yang tampak halus tidak pernah membuat Elsi merasa bosan meski berkali-kali melihatnya.

"Haha ... terima kasih, Tuan Kia. Well, Nona Elsi pada dasarnya punya tubuh yang sangat bagus. Pakaian apapun akan tampak bagus dipakainya." April bergerak ke sisi lain ruangan, mengambil kain yang tersampir di salah satu manekin kayu tanpa kepala.

"Aku tidak butuh baju yang bagus—"

"Tapi baju yang nyaman digunakan." Kia memotong ucapan Elsi. Pria itu menyeringai ketika mendapat tatapan tajam darinya.

"Baju yang nyaman memang penting. Tapi keindahan adalah aspek yang tidak boleh dilupakan juga. Jangan khawatir, semuanya akan berhasil di tangan April." April mengangkat salah satu lengannya seolah menunjukkan otot, meskipun lengannya sama sekali kurus kerontang. Ia tertawa puas sembari keluar ruangan dengan menenteng kain besar di tangannya yang lain.

Kia ikut keluar sembari menutup pintu, memberi Elsi ruang. Setelah berganti baju, segera Elsi mengikuti jejak mereka berdua.

Elsi menghela napas lelah ketika tiba di ruang depan. Meski sudah beberapa kali ke tempat ini, ia masih saja belum terbiasa. Kain-kain dan potongan kain terlihat berserak di semua tempat. Benang-benang membentang dari satu ujung ke ujung lainnya. Bahkan, entah bagaimana ceritanya, benang-benang itu tersangkut pada lampu gantung yang seharusnya indah.

Meja-meja ada di mana-mana tanpa susunan tertentu. Alat-alat menjahit juga ada di atas meja, mulai dari mesin penjahitnya, hingga tiang-tiang tempat gulungan benang seharusnya digantung. Tiang-tiang itu memang penuh dengan gulungan benang, tetapi tidak semuanya terhubung dengan mesin jahit. Sebuah kursi malas juga terlihat, namun tertutup kain-kain yang sepertinya belum selesai disulam.

[Kami] Tentara LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang