39. Terima Kasih

104 43 5
                                    

"Menurutmu, kita harus mati untuk bisa lulus?"

Zeeb mengangkat pandangan dari mangkuk sup yang sudah setengah habis kepada Aalisha yang duduk bertopang dagu, menatap ke sembarang arah di kantin luas yang lengang.

Jam makan siang sudah berlalu berjam-jam lalu sementara jam makan malam masih menunggu langit petang. Namun, karena Aalisha dan Zeeb melewatkan makan siang, mereka memutuskan untuk makan sekarang dan tidak makan malam untuk menemani Elsi.

"Kepala Sekolah tidak mengatakannya," jawab Zeeb. Ia mengembalikan atensi pada mangkuk sup, menyuap sup daging yang rasanya membuat mulut meleleh dengan hangatnya aroma rempah-rempah yang kuat.

"Siapa yang tahu apakah mereka sungguhan lulus atau sebenarnya mati begitu saja, bukan? Hanya saja, karena kita bukan bagian dari dunia ini, mereka yang mati berubah menjadi debu tanpa meninggalkan jasad." Aalisha mengedikkan bahu.

Sebenarnya berubah menjadi butiran cahaya, tapi, sudahlah. Aalisha tidak sepenuhnya salah. Mungkin ia ingin maksud adalah debu cahaya?

Malam setelah Zeeb dan Aalisha kembali dari menjalankan misi, mereka bertemu Elsi yang dengan syok digiring kembali ke asrama. Singkat cerita, mereka tahu Kaori telah pergi dengan cara yang tidak menyenangkan untuk disaksikan. Sejak saat itu, Zeeb dan Aalisha tidak pernah pergi lagi, memastikan Elsi tetap baik-baik saja karena sesekali, dalam keadaan tidak sadar, perempuan itu melakukan hal yang berbahaya.

"Elsi sangat terpukul," gumam Zeeb.

"Tentu saja. Dua orang yang paling ia perhatikan, lulus dengan cara mengenaskan. Elsi selalu peduli pada Kaori karena kerapuhan gadis itu dan selalu khawatir pada Atreo karena keapatisannya yang tidak wajar. Meski tidak pernah mengatakannya, Elsi sudah seperti ibu bagi mereka berdua," ucap Aalisha.

Zeeb tersenyum tipis. "Dia selalu menjadi ibu dan kakak perempuan kita semua."

Aalisha terdiam sejenak, menghela napas panjang, lalu berkata, "Kau benar."

Dulu sekali, Aalisha pernah mengatakan bahwa Elsi adalah sosok yang keras di luar karena melindungi hatinya yang selembut permen kapas di dalam. Saat itu, Zeeb pikir, maksudnya adalah bagaimana Elsi selalu berkata tajam dan marah pada semua orang, tetapi sebenarnya sangat peduli pada mereka. Ketika Elsi mengomel pada Aalisha karena terluka saat pelajaran bina raga, tetapi tetap memasangkan perban di kakinya. Ketika Elsi membentak Jaac yang suka berlarian ke sana ke mari, tetapi tetap memastikan dia tidak terlepas dari kawanan karena Jaac buta arah sehingga rawan tersesat.

Zeeb pikir maksudnya seperti itu.

Namun, setelah rangkaian kejadian menyedihkan beberapa pekan terakhir, akhirnya Zeeb benar-benar paham apa maksud Aalisha. Elsi selalu berdiri di depan dengan dagu terangkat tinggi, ia menolak orang yang mendekatinya dengan bercanda, sulit sekali meminta opini Elsi yang benar-benar berdasarkan perasaannya. Karena, sekali seseorang mendapatkan hati Elsi, apapun yang terjadi padanya akan memberi pukulan besar bagi perempuan itu.

Elsi menolak membuka hatinya pada orang lain karena hati miliknya seperti permen kapas; hangat, manis, lembut, dan mudah sobek.

"Apa kau ingin lulus, Zeeb?" tanya Aalisha tiba-tiba. Gadis itu menyingkirkan mangkuk miliknya yang sudah tandas, menopang dagu dengan kedua tangan dan menatap Zeeb.

"Ya." Tentu saja.

Aalisha menelengkah kepala, "Karena Ao?"

Ah, benar juga. Dulu, saat pertama kali Aalisha bertanya tentang alasan Zeeb ingin pulang, Zeeb dengan spontan mengucap nama Ao. Tidak disangka gadis kecil ini masih mengingatnya ketika Zeeb justru lupa.

"Salah satunya." Zeeb mengangguk pelan. Ya, Ao masih menjadi salah satu alasan Zeeb ingin pulang. Maaf karena sempat lupa, Ao.

"Begitu." Aalisha ikut mengangguk-angguk. "Kau punya banyak alasan rupanya."

[Kami] Tentara LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang