16. Menuju Tempat Kejadian Perkara

160 55 7
                                    

Alka dan Aalisha langsung asik menggosip kabar-kabar terbaru padahal Jaac yakin baru kali ini mereka akhirnya kembali bertemu setelah lama waktu berlalu. Kaori yang dulu selalu bersembunyi di balik tubuh Elsi juga kini ikut bergabung dengan mereka berdua, mendengarkan dengan antusias meski tetap tak banyak bicara.

Wah, apa yang terjadi dengan para gadis itu selama Jaac tidak pernah bertemu dengan mereka? Mereka lengket satu sama lain sampai-sampai Jaac merasa sekarang seperti sedang dikucilkan.

Zeeb dan Elsi berjalan di belakang seperti bodyguard, jelas bukan pilihan yang bagus untuk Jaac ajak bercanda. Atreo? Apalagi.

Sejak ujian masuk dua bulan lalu, bocah tengil itu rasanya justru semakin menarik diri dari kelompok. Jaac tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi karena Aalisha tidak mau memberi tahu, tetapi ia yakin terjadi sesuatu pada Atreo selama ujian masuk. Pemuda itu sudah kehilangan tenaga ketika bertemu Jaac, sama sekali tidak sadar ketika Jaac tidurkan di atas pahanya begitu akhirnya tiba di Langit.

Jaac masih ingat bagaimana Aalisha kelelahan kala itu karena berputar-putar di hutan selama hampir sejam sembari memapah Atreo dan menghindari para monster. Kalau saja Jaac tidak bertemu mereka, Aalisha mungkin sudah pingsan duluan karena badan kecilnya kehabisan tenaga.

"Jaac, padahal kamu penuh dengan darah monster, tetapi kenapa kamu tidak terjebak halusinasi sama sekali?" tanya Alka suatu hari ketika mereka masih menerima pelajaran dasar.

"Well, aku berhalusinasi. Aku mengira aku adalah superhero kuat yang menyelamatkan dunia," jawab Jaac. Ia tidak berbohong karena memang itulah yang Jaac rasakan. Ia seperti setengah mabuk ketika berusaha mempertahankan tubuh untuk tetap berjalan mengitari hutan.

"Wow, kupikir halusinasi akan membuat semua orang menggila karena trauma dan rasa takutnya dibangkitkan," celetuk Aalisha dengan wajah polosnya.

"Apa yang bisa dibangkitkan dariku kalau aku tidak punya trauma dan rasa takut?"

Atreo memelototi Jaac saat ia mengatakan itu, kemudian menggeram seolah anak anjing yang bersiap menggigit orang.

"Apa? Bukan salahku kalau aku sangat menikmati kehidupanku, bukan?" Jaac mengangkat bahu, membuat Atreo berpaling dan berdecih.

Sebenarnya, seberapa buruk kehidupan yang dijalani Atreo? Seberapa buruk keadaan dunia di masa depan? Apa yang terjadi hingga Atreo sangat membenci orang-orang dari zaman Jaac hidup dan dibesarkan?

Saat ujian kala itu, salah satu trauma atau ketakutan Atreo pasti terbangkitkan, kan? Hanya itulah satu-satunya alasan untuk menjelaskan keadaan tak keruan Atreo.

Semakin dipikirkan, Jaac jadi semakin gemas dan penasaran. Dunia yang Jaac tahu begitu maju dan megah tak terkalahkan. Apa yang membuat dunia hancur hingga Atreo begitu frustrasi? Bocah itu sangat sensitif jika Jaac mengungkit tentang bagaimana Jaac hidup dengan baik seolah-olah Jaac adalah penyebab hidupnya menderita.

Sayangnya, Atreo tidak pernah lagi buka mulut tentang dunianya. Apalagi karena sekarang mereka berbeda kamar, semakin sedikit kesempatan Jaac untuk memancing-mancing Atreo seperti dulu.

Pemuda itu memanyunkan bibir. Ia melirik ke arah Atreo yang memilih berjalan tak jauh dari Elsi dan Zeeb, tampak malas-malasan dan tak niat mengikuti misi kali ini.

"Nah, teman-teman, kita akan beristirahat di sini malam ini. Desa yang menjadi tujuan kita paling tidak masih butuh setengah hari ditempuh dengan jalan kaki." Kak Asa, kakak asuh Aalisha yang bertugas sebagai penanggung jawab di misi kali ini, menarik atensi Jaac.

Di setiap misi yang tersedia, selalu ada penanggung jawab yang berasal dari pasukan Tentara Langit. Untunglah misi ini penanggung jawabnya adalah Kak Asa. Dengar-dengar, Kak Asa adalah salah satu dari beberapa anggota paling berbakat di pasukan. Jujur saja, berbeda dengan Elsi dan Aalisha yang sudah menjajal berbagai jenis misi (kata gosip), ini adalah pertama kalinya Jaac mengambil misi tingkat A.

[Kami] Tentara LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang