26. Tentang

100 42 5
                                    

Kaori menenggelamkan wajahnya ke tumpukan buku yang terbuka berserakan di atas meja perpustakaan. Ia merasa buntu seolah menghadapi tembok tinggi tanpa celah. Ke mana lagi Kaori harus mencari informasi?

Tubuhnya perlahan menghilang.

Kejadian itu sudah pasti bukan sekadar halusinasi Kaori. Sudah pasti juga bukan kebetulan yang terjadi tanpa alasan. Pasalnya, ia mendapati tangannya sendiri berubah transparan dua kali selama seminggu terakhir semenjak ia selesai mengemban misi waktu itu.

“Apa yang membuatmu begitu depresi seperti ini?”

Kaori mengangkat wajah. “Lea,” sapanya tanpa tenaga.

Gadis dengan rambut kuning bergelombang itu duduk di sisi lain meja, berhadapan dengan Kaori. “Kau terlihat menyedihkan,” ucap Lea.

Kaori sekali lagi menghela napas dan kembali menenggelamkan wajahnya di antara buku-buku.

“Hei, apa yang terjadi? Kau depresi seolah-olah akan menghadapi ujian saja.”

Kaori merasakan sebuah tangan mengelus kepalanya pelan, membuatnya merasa lemah tiba-tiba. Ah, Kaori pasti sudah terlalu tertekan beberapa waktu terakhir.

“Jangan dipendam sendiri. Kalau ada masalah, ceritakanlah. Kau tidak bisa mengharapkan orang lain memberimu bantuan kalau kau tidak memintanya. Kami bukan peramal atau hantu yang bisa membaca pikiran.”

Lea benar. Kaori mengangkat wajah, menegakkan punggung, dan memperbaiki posisi duduknya.

“Entahlah, Lea. Aku hanya bingung apa sebenarnya masalahku dan aku juga tidak yakin bagaimana harus menceritakannya,” keluh Kaori.

“Kau tidak harus menceritakannya, sebenarnya. Yang penting, mintalah saat butuh bantuan dan tanyakan saat kau bingung terhadap sesuatu.”

Kaori mengangguk. Lea selalu baik. Meskipun dia bukan bagian dari murid-murid Ballard yang secara asing menerobos ke dunia ini, meski dia tidak pernah tahu identitas Kaori, tetapi dia tidak pernah membedakan perlakuannya dengan yang lainnya.

Lea adalah sosok yang pemberani dan percaya diri. Meski dia populer karena kecantikannya, dia tidak malu untuk berlatih dan berusaha keras hingga bermandikan keringat bersama para laki-laki Kesatria. Meski dia terkenal karena kemampuannya, dia tidak malu untuk berteman dengan mereka yang bahkan tidak bisa mengangkat pedang. 

Bahkan, meski saat ini mereka tidak lagi sekamar dan jarang bertemu karena kesibukan di masing-masing jurusan, sikap Lea tidak berubah pada Kaori. 

“Ekspresimu tidak terlalu baik, Lea,” ucap Kaori saat memindai rupa di hadapannya.

Lea menelengkan kepala, membalas tatapan Kaori dengan pindaian pula. “Tempaan di Jurusan Tentara Langit memang beda. Padahal baru dua bulan, tapi kau sudah berubah banyak, Kaori,” ucapnya.

Kaori bisa merasakan wajahnya memanas.

“Yah, tentu saja ada hal-hal yang tidak berubah. Itu bagus sekarang kamu memiliki lebih banyak kepercayaan diri dan berani berbicara lebih dulu pada orang lain, dan berhenti mengerut, dan berhenti menunduk, dan berhenti berbicara dengan intonasi yang semakin lama semakin mengecil, dan berhenti berpikir bahwa kau tidak berguna.”

Kaori tertegun. Apakah selama ini dia berpikir bahwa dirinya sendiri tidak berguna?

“Aku menyukaimu dengan versi terbaru ini. Dan tentang ekspresiku yang tidak cukup baik, kau benar. Aku kesal karena lagi-lagi tidak dapat keluar akademi di hari akhir pekan seperti ini. Padahal aku butuh berlibur setelah mengalami hal-hal yang berat kemarin.” Lea meletakkan kepalanya di atas meja, mendengkus. "Sepertinya aku harus cukup bersyukur poinku nol. Setidaknya, aku tidak harus menjalankan hukuman apa-apa kali ini.”

[Kami] Tentara LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang