12. Tentara Langit

144 66 2
                                    

Kaori tidak ingat bagaimana mulanya dan bagaimana akhirnya. Saat ia menggapai kembali kesadarannya, ia sudah didekap oleh Elsi dalam keadaan bersimbah keringat dan bercucuran air mata. Semua pemandangan yang merah mengerikan dan suara tembakan yang terdengar dekat, perlahan berubah menghijau dan tenang, dilatarbelakangi suara angin dan jangkrik dari kejauhan.

Tenaga dalam tubuh Kaori seolah meluruh seluruhnya. Dia nyaris tidak bisa berdiri jika tidak dipapah Elsi dan perutnya juga terus terasa mual karena badai halusinasi yang masih tersisa, berbayang di kepala.

"Humph!" Gadis itu spontan menutup mulut saat isi dalam perutnya merangsek ingin dikeluarkan.

Dengan sabar dan perlahan, Elsi menuntun Kaori menuju pohon terdekat dan menunggunya memuntahkan segala yang dia makan ketika sarapan tadi pagi.

Sekali lagi, air mata Kaori tidak terbendung. Ia sudah tidak ingin menangis, tetapi tekanan yang muncul ketika muntah membuat Kaori kembali mengeluarkan air mata. Ia terisak, menahan napas yang terengah, sementara Elsi memijit-mijit tengkuknya, membuat tubuh Kaori kemudian terasa jauh lebih nyaman.

"Pusing?" tanya Elsi.

Kaori menggeleng lemah. Dia hanya merasa kehilangan tenaga. Muntah membuat sisa energinya yang tinggal sedikit langsung terkuras habis.

"Minum dulu."

Elsi menyodorkan botol minum miliknya. Tanpa banyak melawan, Kaori menerima botol itu dan menenggak isinya hingga ia merasa cukup.

"Istirahat dulu aja di sini. Kita masih punya waktu sampai matahari terbenam." Elsi membantu Kaori menuju pohon lain, mendudukkannya dan bersandar ke batang pohon. Kemudian, ia menekuni hal yang sama, duduk tak jauh dari Kaori.

"Pukul berapa sekarang?" tanya Kaori memecah keheningan.

Elsi mendongak. "Entahlah. Mungkin sudah lewat tiga jam semenjak terompet ujian dibunyikan."

Tiga jam.

"Beruntung kamu masih bisa kembali waras setelah tiga jam terjebak halusinasi," lanjut Elsi.

Kaori tidak bisa mengartikan eskpresi wajah perempuan itu. Dia tidak marah, tidak kesal, tidak lega, apalagi bahagia. Suaranya juga terdengar tanpa nada, membuat Kaori semakin tidak yakin bagaimana perasaan Elsi saat ini.

"Maaf, seharusnya aku berhati-hati," ujar Kaori.

Meski sama sekali tidak merasakan tekanan apapun dari aura Elsi, Kaori merasa ia harus tetap meminta maaf. Siapa tahu, setelah ini Elsi akan mulai mengomel ketika dia mendapatkan emosinya kembali. Elsi kan selalu begitu, meski kata Aalisha, kemarahan Elsi adalah bentuk rasa pedulinya pada mereka semua.

Elsi menggeleng pelan. "Ujiannya memang didesain agar kita terjebak dalam halusinasi. Mereka membangkitkan rasa takut dan trauma kita. Ini salahku karena tidak segera sadar sejak awal."

Ujiannya memang didesain agar terjebak dalam halusinasi? Membangkitkan rasa takut dan trauma?

Bukankah itu kejam? Apakah pengurus ujian tidak pernah berpikir bagaimana mengerikannya rasa takut dan trauma yang Kaori alami?

Kaori meringis, sekelebat mengingat halusinasi yang sempat menghampirinya tadi.

Gara-gara ujian ini, seluruh ingatan Kaori tiga bulan lalu dikembalikan di depan mata dengan sangat jelas. Tembakan di mana-mana, mayat ibunya yang penuh dengan peluru dan kasur yang memerah karena darah, senyuman Yash ketika dadanya berlubang dan ketika ia jatuh ke kaki Kaori, semuanya kembali seolah-olah Kaori mengalaminya untuk yang kedua kali.

Lebih parah lagi, halusinasi itu berhiperbolis, membuat bayangan-bayangan tampak nyata itu menjadi berkali lipat lebih mengerikan dari kejadian faktanya yang Kaori ingat.

[Kami] Tentara LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang