33. Satyr Bertentakel

99 43 20
                                    

Jaac meludahkan darah, menatap kesal pada satyr yang tidak tumbang juga menghadapi empat orang sekaligus. Pipi kirinya nyut-nyutan hingga ke tulang-tulang karena pukulan tentakel yang sekeras baja, mungkin lebam membiru sekarang.

Apa kata Aalisha tadi? La-dian?

Misi ini pastilah misi bunuh diri.

Satyr itu mengerang ketika dua anak panah Alka menusuk matanya. Meski tidak berpengaruh apa-apa, tetapi itu ampuh mengganggu pandangan untuk sesaat, memberi Elsi kesempatan untuk memberikan serangan. Elsi memotong tentakel kiri la-dian dengan pedang pendek peraknya yang sesuai dugaan, berhasil memberikan luka yang tidak beregenerasi kembali.

Jaac tidak menyangka, barang mahal yang Elsi beli karena iseng akhirnya terpakai juga sebagaimana fungsinya.

Zeeb, Aalisha, dan Atreo mundur ke sisi Jaac sementara Elsi memanfaatkan kesempatan untuk terus melukai la-dian, tidak memberinya waktu untuk mengerang kesakitan. Perempuan itu memang paling bar-bar dan bersemangat jika sudah berurusan dengan serangan.

"Treo, mundur. Kau tidak akan bertahan di pertarungan jangka panjang," ujar Jaac ketika melihat Atreo terengah-engah sembari mengelap darah yang mengalir dari kepala dengan punggung tangan. Sejak dulu, bocah itu paling tidak bersemangat setiap jam mata pelajaran, jadi tidak aneh jika ia memiliki tenaga fisik yang terbatas meski energi spiritualnya di luar batas.

Atreo dengan patuh mengangguk, lalu melompat mundur menuju tempat Kaori berada. Alka sendiri sudah menguasai atap kereta sebagai tempat paling strategis untuk melontarkan anak panahnya, mendukung serangan langsung yang dilakukan oleh Elsi, Jaac, Zeeb, Aalisha, serta Atreo hingga detik ini.

Elsi menginjakkan kakinya ke tanah kuat-kuat, mengerem diri ketika terlempar oleh empasan aura la-dian, dan berhenti tak jauh dari tempat Jaac berdiri. Kabut keunguan meliputi satyr itu, menutupi pandangan.

Sulur-sulur tanaman muncul dari dalam bumi, menumbuhkan botol-botol berisi ramuan obat dan penambah stamina. Meski ramuan obat tidak mampu menutup luka dengan sempurna, tetapi setidaknya mengurangi rasa sakitnya.

"Ini tidak bagus. Kita tidak mungkin hanya mengandalkan pedang pendek Elsi untuk bisa menang," ucap Aalisha sembari menjatuhkan botol ramuan obat yang telah kosong dan membuka botol lain untuk menambah stamina.

"Kau berpikir kita bahkan ada kemungkinan untuk menang?" tanya Jaac skeptis. Kabut keunguan di depan sana mulai memudar. Entah apa yang disiapkan oleh la-dian itu sementara Jaac dan yang lain hanya sempat mempersiapkan kembali stamina.

"Setidaknya kita harus bertahan. Tentu akan lebih bagus kalau kita bisa menang," kata Elsi. Ia menggenggam erat pedang pendeknya di tangan kanan dan rapier di tangan kiri. Baru kali ini Jaac tahu kalau Elsi ambidextrous, sama seperti dirinya. Bedanya, Elsi tampak sangat alami menggunakan tangan kiri sementara Jaac dulu memang sengaja melatihnya untuk menunjang kegiatan sibuk di penelitian.

Satyr yang salah satu tentakelnya terpotong kehilangan tawa, kini tampak menunjukkan kemarahan di wajahnya yang menjijikkan. Ia berteriak dengan suara nyaring memekakkan bagai pekikkan lumba-lumba. Dari punggungnya, tumbuh sepasang sayap kelelawar yang lebar.

Tanduk serta kaki kambing, tentakel gurita, dan sayap kelelawar. Jaac sekarang tidak yakin apakah la-dian itu masih bisa disebut satyr atau tidak.

"Kita tidak akan punya kesempatan, teman-teman. Kita hanya mengandalkan pedang pendek Elsi," keluh Jaac ngeri.

"Kalau begitu, plan C," sahut Atreo yang entah sejak kapan sudah berada di belakang Zeeb. "Saling bertukar senjata," lanjutnya.

"Tapi kita bahkan tidak punya plan B?!" protes Jaac. Namun, Zeeb, Aalisha, dan Elsi sudah kembali berlari maju seolah rencana Atreo berusan adalah rencana paling brilian dan masuk akal.

[Kami] Tentara LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang