"Orang yang merasa paling tinggi, biasanya kurang sadar diri."
•••
Waktu berlalu begitu cepat, bocah yang katanya tersasar itu. Kini, sudah mulai ada titik terang untuk bertemu dengan keluarganya.
Setelah pulang sekolah, Afgan bersama si kembar Fano-Fino, kembali membicarakan bocah cantik itu di sebuah warung kecil yang terletak tak jauh dari rumahnya.
Karena jalanan ke rumah Afgan termasuk perkampungan, jadi ... terlihat beberapa orang berlalu lalang.
"Udah sepuluh hari, jadi ... gimana?" Afgan menatap kedua temannya.
"Kayak yang gue bilang di sekolah, tuh anak emang salah satu anak temennya papi gue." Fano menjawab.
Sedangkan kembarannya, hanya mengangguk.
Senyum lega terlihat dari sudut bibir pemuda itu. "Alhamdulillah, terus? Mereka nyariin si Dede?"
Afgan melotot, saat teman kembarnya malah serempak menggelengkan kepalanya.
"Maksudnya?! Mereka nggak nyariin gitu?! Gila kali ya!" Afgan berucap dengan kesal.
Afgan heran, kok ada orangtua yang santai saja saat tau anaknya hilang?! Udah sepuluh hari loh, inget! SEPULUH HARI!
Mereka nggak khawatir atau semacamnya gitu?!
Fano berdecak, pemuda itu kembali berucap, "setelah empat hari tuh bocah ilang, lo langsung minta bantuan kita 'kan?" Afgan mengangguk.
"Nah, abis itu gue nemuin papi gue. Nggak lama, dia nyari info dan ya ... bener, tuh bocah emang ilang."
Dengan semangat, Afgan kembali bertanya, "terus ... terus?!"
"Dua hari kemudian, papi bilang kalo orangtuanya lagi sibuk."
Refleks, Afgan menggebrak meja. "Mereka lebih sibuk kerja daripada Nyariin anaknya, gitu?!"
Fano mengangguk, tapi sesaat kemudian ia menggeleng. "Tapi kata papi gue-"
"Papi gue juga," potong Fano, membuat Afgan dan kembarannya berdecak.
"Iya, maksud gue ... tapi kata papi kita, orangtuanya masih nyari tuh bocah. Meski mereka nggak turun tangan langsung, mereka 'kan banyak anak buah. Jadi, udah pasti nyuruh anak buahnya buat nyari tuh bocah." Afgan terlihat serius mendengarkan setiap kata dari Fano.
"Terus?" Afgan menaikkan alisnya sebelah, tak lupa ia menyeruput es teh manisnya.
"Kata papi gue, orangtuanya tuh bocah mau ketemu lo. Tapi, jangan dulu bawa tuh bocah."
Afgan mengernyit. "Kapan ketemunya?"
"Sekarang, jam setengah tiga. Di taman kota," celetuk Fino.
Afgan tersedak, matanya melotot. Segera, ia menyalakan ponsel untuk melihat jam.
"HEH KEMBAR, LIMA BELAS MENIT LAGI DONG!"
Si kembar mengangguk. "Dan kata papi gue, orangtua tuh bocah nggak suka orang yang terlambat."
Afgan menggeram kesal. "Gue baru aja pulang sekolah, belum ke rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]
Teen Fiction"Papa, Dede lapel." Mata Afgan membola! Heh, apa tadi? Papa? "Heh bocah! Gue bukan bapak lu!" ••• "Afgan janji, akan mencari pahlawan pengganti untuk jagain Mami." ••• Ini tentang Afg...