S e l e s a i

8.1K 1.7K 468
                                    

Belum siap kehilangan–Stevan Pasaribu.

•••

"Untukmu si penikmat langit malam, selamat jalan."

•••

Kiara
panggilan suara tidak terjawab [7]

Kiara
Afgan meninggal.

____________________

Fano tertawa, ia baru saja sampai di depan pintu rumahnya. Bahkan ia belum sempat membuka sepatu, karena ponselnya terus berdering.

Ia menghampiri kembarannya yang sudah membuka sepatu.

"Fin, baca deh. Si Kiara bakat juga jadi pelawak."

Fino membacanya. Ia termenung sebentar, sebelum akhirnya memakai sepatunya kembali dengan terburu-buru.

Ia menepuk pundak Fano yang masih terkekeh. Rasanya mustahil Afgan meninggal, mereka baru saja tertawa samalam. Bahkan saat ia akan pulang, mereka sempat berpelukan. Sungguh, pesan dari Kiara sangat lucu menurutnya.

"Kita balik ke rumah si Afgan, sekarang! Lo, naik motor gue!"

•••

Suasana rumah Afgan di selimuti kesedihan yang begitu mendalam, para tetangganya berbondong ke rumah duka untuk melihat jasad terakhir dari pemuda yang mereka kenal begitu ramah itu.

"Padahal, semalam saya baru aja denger ketawanya almarhum. Kasian ya, mana masih muda."

"Nggak tega saya liat bu Lastri."

"Kenapa orang baik selalu cepat di panggil Tuhan, ya? Saya iri liat kedekatan Bu Lastri sama Afgan, eh sekarang. Ya, Allah ini saya yang kurang akrab aja merasa banget kehilangan anak baik itu."

"Itu saya dari tadi juga liat pak Somad nangis, katanya mereka akrab banget. Apalagi almarhum sering pergi ke masjid sama pak Somad."

"Wajar sih kepergian di tangisin banyak orang, almarhum pergi secara tiba-tiba, bahkan sikapnya juga terkenal baik. Jadi, orang-orang begitu merasakan kehilangan."

Banyak dari mereka yang mengucapkan belasungkawa pada Lastri, wanita yang belum lama ini menikah dan kini di tinggal pergi sang putra untuk selamanya. Para tetangga, begitu menyayangkan Afgan yang telah pergi.

Nyatanya, tidak ada yang tau dengan apa yang akan terjadi di hari esok bahkan di lima menit ke depan.

si kembar Fano-Fino sibuk mengurusi tempat untuk pemandian jenazah, keduanya menangis dalam diam di halaman rumah.

Benar, sahabatnya, penasihat terbaiknya, Afgan. Ia telah berpulang ke pangkuan Tuhan.

Mereka tidak percaya, setelah sampai di pekarangan rumah. Banyak tetangga yang melayat.

Setelah memberitahu di grup tentang kepergian Afgan, banyak teman sekolah yang berbondong-bondong melayat. Untuk terakhir kalinya, mereka melihat sosok pemuda ramah nan sopan itu.

Sam menatap langit-langit rumah, untuk mengahalau air matanya yang akan kembali turun. Dengan setia, tangannya merangkul sang istri yang sudah tak berdaya.

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang