[15] Gara-gara kunyit

10.2K 1.7K 100
                                    

Berhubung kelas lain sudah pada pulang, otomatis kelas Afgan yang masih asik belajar mulai kesal terhadap guru yang mengajar.

Tak banyak, murid yang mulai mengeluh, kecuali murid yang ada di barisan paling belakang. Sedari tadi, mereka mulai berisik. Mulai dari memukul meja, menganggu murid lain yang fokus mencatat, ataupun menjahili teman di depannya.

"Yang di belakang, bisa diam?" Cetus guru matematika, membalikan badannya karena tengah menuliskan materi di papan tulis.

Jajaran belakang, diam. Guru itupun kembali melanjutkan tulisannya.
Terdengar bunyi pulpen yang di pukul-pukul di meja, hal itu membuat konsentrasi beberapa siswa yang tengah mencatat terganggu.

"Diem woy diem!" pekik gadis, yang terkenal galak di kelas itu.

Afgan, sang pelaku tak menghiraukan. Justru malah semakin menjadi-jadi untuk membuat kegaduhan.

"Afgan Ladzuardan! Bisa diam?!" pekik sang guru, Bu Sri yang mulai marah.

"Sultan nya ketinggalan Bu," celetuk Fano, yang sama seperti Afgan. Membuat kegaduhan.

"Fano!" Celetuk Bu Sri, melototkan matanya. Afgan terkekeh, melihat Fano yang mulai diam.

"Afgan! Kamu bisa diam hah?!" sarkas Bu Sri.

Guru itu berjalan ke arah bangku Afgan, melihat buku Afgan yang masih bersih. Belum ada satupun kata yang di tulis.

"Afgan! Dari tadi kamu ngapain hah?! Cuma buat kegaduhan doang, iya?!"

Afgan mengusap telinganya, suara Bu Sri sangatlah cempreng. Menurutnya.

"Nanti bisa liat sama yang lain kok Bu," jawab Afgan santai, Bu Sri menatapnya jengkel.

"Gampang banget ya kamu ngomongnya," jawab Bu Sri, sedangkan Afgan malah tersenyum.

"Janji deh, nanti besok saya kumpulin bukunya ke ibu. Gimana? Biar percaya kalo nanti materinya bakal saya tulis," ujar Afgan, Bu Sri memicingkan matanya.

"Ya udah, besok ibu tunggu buku kamu!"

Beruntungnya Afgan terkenal oleh jajaran guru, karena jika males menulis di kelas. Ia akan menulisnya di rumah, dengan meminjam catatan anak cewek atau teman cowoknya.

Fino, pemuda itu selesai mencatat semua yang ada di papan tulis. Dia melirik Bu Sri yang masih ada di samping Afgan.

"Udah Bu?" tanya Fino, membalikan badannya. Karena bangku dia, tepat di depan Afgan.

"Belum!" Jawabnya ketus, Fino hanya mengedikan bahunya acuh.

Sedangkan Fano yang sebangku dengan Afgan, dengan santainya dia malah menggoyangkan kursinya. Depan belakang, dengan tempo yang sangat lambat. Begitu seterusnya.

Bu Sri menatapnya tajam, namun tak ia hiraukan. Sampai akhirnya, tawa semua murid pecah.

Saat suara kursi jatuh, masuk ke indra pendengaran mereka. Wajah Bu Sri yang semula kesal, mulai menahan tawa. Sedangkan sang korban, meringis nyeri. Antara sakit dan malu, bercampur jadi satu.

Afgan terbahak-bahak. Setelah tawanya reda, baru ia membantu Fano yang baru saja terjungkal.

"Rasain!" sarkas Bu Sri.

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang