[11] Kebanggaan mami.

11.7K 2K 101
                                    

Tidak seperti biasanya, pemuda yang akan bersiap menuju ke masjid untuk melaksanakan sholat Jumat itu harus terlebih dahulu membujuk si bocah cantik yang masih merengek menginginkan sesuatu.

Pemuda yang sudah siap dengan baju koko serta sarung itu, menghela napas panjang. Ia mengusap rambut tebalnya, dan mulai memakai peci hitam.

Setelah siap, Afgan berjalan ke arah si cantik Mawar yang duduk lesehan di lantai seraya kaki di hentakkan. Pemuda itu jongkok di depan sang bocah.

"Kenapa, hm?" Afgan bertanya, padahal pemuda itu sudah tau alasan di balik sang bocah yang merengek saat ini.

Mata bening Mawar menatap menatapnya. "Mau ikut papa om ke lumah sakit, boleh ya?"

Afgan menggeleng, tangannya secara otomatis mengusap kepala sang bocah. "Maaf ya, gue nggak bisa ajak lo buat ke rumah sakit."

"Kenapa?"

"Di sana, gue bakal di periksa. Prosedurnya agak lama, pasti lo bosen, de. Katanya nanti sore mau ikut gue buat datang ke acara ulangtahun. Jadi, pilih ikut ke rumah sakit atau ke pesta ulangtahunnya temen gue?" Afgan memberi pengertian.

"Kalo dua-duanya ikut boleh?!" Mawar berharap, ia di perbolehkan ikut pada keduanya.

Pemuda itu tersenyum. "Nggak bisa, cuma boleh pilih satu."

Bocah cantik itu mencebikkan bibirnya. "Ayolah papa om, Dede ikut ya ke lumah sakitnya? Dede kasian kalo papa om halus di peliksa om doktel!"

Afgan terkekeh. "Emang kenapa kasian sama gue?"

"Soalnya, semalam papa om bilang udah capek minum obat. Telus, kalo papa om ke doktel, nanti malah di kasih lagi obat. Dede nggak mau papa om ngelasa cape. Dede sayang papa om!" Mawar menatap Afgan iba.

Afgan terkekeh, pemuda itu mengecup kening sang bocah seraya mengusap kepalanya dengan gemas.

"Makasih ya udah perhatian sama gue. Nanti kapan-kapan gue ajak lo jalan-jalan lagi!"

"Gan! Cepet ke masjid, nanti bentar lagi adzan." Terdengar suara Lastri, dari arah kamar wanita itu.

"Iya mi, ini Afgan udah mau berangkat kok." Afgan menatap bocah itu. "Nanti setelah gue pulang Jum'at-an, kita main bareng bentar ya!" Pemuda itu tersenyum seraya kembali mengusap kepala sang bocah.

Afgan berdiri, ia mengambil sejadah dan menyampirkannya di pundak. Sebelum membuka pintu, ia kembali menatap si cantik yang masih menatapnya penuh permohonan.

"Jangan cengeng oke? Nanti kita main! Assalamualaikum!"

•••

"Maaf ya nak Afgan, jadi ngeropotin gini."

Pemuda itu memberikan senyum terbaiknya pada salah satu tetangganya yang kini tengah kesulitan berjalan, ia merangkul pundak bapak-bapak itu seraya berjalan pelan untuk menuntun langkah sang pria paruh baya itu.

"Nggak pa-pa pak," jawabnya, "lagian pak Somad kayak anak kecil aja, pake lari-larian segala waktu di tangga masjid. Lagi mengenang masa kecil ya pak?" Kekeh Afgan.

Pak Somad terkeheh. "Saya niatnya mau buru-buru pulang karena mau anterin anak saya ke sekolah lagi, katanya ada ektra Pramuka. Eh nggak taunya di tangga saya malah jatuh karena nggak ngeliat dua tangga terakhir."

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang