Di perjalanan menuju pulang, Afgan duduk di samping Sam yang tengah menyetir mobil mewahnya. Benar-benar si bocil terlahir sebagai keluarga sultan.
Pria dewasa itu nampak fokus menatap jalanan, karena merasa bosan, ia menyalakan musik.
Afgan yang fokus menatap ke pinggir jalan, tersentak dengan intro musik yang di nyalakan om-om di sampingnya.
"Om suka lagu-lagu galau ya?" tanyanya.
Sam mengedikkan bahunya. "Hanya menikmati setiap liriknya."
Afgan tak memperpanjang percakapan. Pemuda itu menikmati setiap lirik yang terdengar.
Lagu bertaut yang di bawakan Nadin amizah, mengalun dengan lembut mengisi kekosongan antara keduanya.
Diam-diam Afgan menyanyikan lagu itu dengan suaranya yang pelan.
"Suara kamu nggak jelek-jelek amat ya," celetuk Sam.
Afgan mendengkus. "Tinggal bilang suara saya bagus, kok gengsi!"
Pria itu terkekeh. "Saya ingat, dulu ayah kamu juga memiliki suara yang bagus."
Afgan tertarik membahas ini.
"Kalo boleh saya tau, gimana ceritanya om bisa ketemu ayah saya?" tanyanya dengan antusias.
Lagu yang di putarkan mengalun dengan indahnya.
"Saya bertemu ayah kamu di sebuah cafe, dia menyanyikan banyak lagu. Dia orangnya asik, saya nyaman berbicara dengan dia. Dia bisa membuat orang-orang di sekitarnya nyaman. Bahkan, saya kagum dengan dia yang sangat pekerja keras." Sam menceritakan sosok Pandu.
Pria itu menatap putra almarhum sahabatnya. "Di saat remaja seusia kita menghabiskan waktu untuk berfoya-foya, justru Pandu berbeda. Dia mencari uang, bahkan sampai harus jadi badut jalanan. Ketika saya bertanya 'kenapa lo harus bekerja sekeras ini?' dia menjawabnya dengan tegas, 'saya ingin, kelak anak saya tidak terlahir dari orangtua pemalas dan tidak merasakan perihnya mencari pundi-pundi uang.' Saya cukup terkejut, saat saya melihat warung makan kalian saat ini. Perjuangan Pandu dan ibu kamu dulu tidak sia-sia, Gan."
Afgan mengangguk. Ya, ia juga kagum dan menjadikan sang ayah sebagai sosok panutannya.
Jika bercerita tentang warung makan, memang warung itu terbilang cukup ramai. Bahkan, ukuran warung itu cukup luas.
Afgan berkata, "sama kayak mami saya, keduanya di pertemukan dengan nasib yang tidak berbeda jauh. Beruntung, mami dan ayah saya keduanya adalah orang pekerja keras hingga bisa mengobati biaya pengobatan saya selama ini."
Sam mengangguk. "Dan begitu melihat kamu sekarang, saya merasa tengah berbicara dengan Pandu. Saya sangat merindukan dia yang menjadi penasihat terbaik bagi saya."
Sam menatap pemuda itu. "Afgan, bertahan demi orang-orang di sekitar mu. Terima kasih sudah terlahir ke dunia ini. Saya tau, kamu lelah. Saya juga lelah, nyetir terus dari tadi. Hadeuuuh."
Afgan tersentak. Ingatannya membawa ia pada beberapa tahun silam.
"Terima kasih sudah terlahir ke dunia ini nak. Bertahan ya, demi orang-orang di sekitar mu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]
Teen Fiction"Papa, Dede lapel." Mata Afgan membola! Heh, apa tadi? Papa? "Heh bocah! Gue bukan bapak lu!" ••• "Afgan janji, akan mencari pahlawan pengganti untuk jagain Mami." ••• Ini tentang Afg...