[32] Terima kasih, Gan.

6.7K 1.3K 184
                                    

Emoticon yang mewakili perasaan kalian hari ini!

Jangan lupa komentarnya ya, biar semangat ngetiknya!

[Happy reading]

Sam turun dari mobil, pria yang seperti biasa bersetelan jas formal itu melepas kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.

Ia dapat melihat motor Afgan sudah berada di parkiran warung.

"Ayo masuk," ucap Sam, dengan nada tegasnya.

Ia membiarkan Bram dan Luna mengikutinya dari belakang.

Setelah pagi tadi sempat cekcok, Sam menyadarkan keduanya untuk tidak selalu mementingkan pekerjaan.

Bahkan Arman dan Ayu, selalu orangtua mereka pun turut turun tangan. Hingga sekarang, mereka lebih memilih pulang dari kantor lebih cepat setelah mendengar bahwa Sam akan bertemu dengan Afgan—pemuda yang telah menjaga putrinya.

"Pak Sam, ibu sama Afgan ada di belakang," ujar Tera, saat Sam bertanya mengenai majikannya dimana.

Wanita yang tengah membawa nampan itu, menatap Bram dan Luna seolah mengintimidasi.

Tapi lama-kelamaan menatap mereka, ia jadi minder sendiri. Terlebih, melihat penampilan Luna yang sangat sosialita.

"Kak Ki! Nanti baju Dede basah!"

Tawa dari arah taman belakang terdengar, mereka sempat mematung saat mendengar tawa renyah kedua putrinya.

"Biarin! Nih basah nih!"

Sekarang, mereka bisa melihat saat Kiara tengah mengejar sang adik dengan selang di tangannya. Tawa mereka terdengar merdu, di kedua telinga Bram serta Luna.

Perlahan, mereka berjalan ke arah Afgan dan Lastri yang tengah mengupas mangga di bawah pohon.

"Gan!" panggil Sam.

Sontak Afgan menatapnya, pemuda itu tersenyum. Ia berdiri, untuk menyalami Bram serta Luna.

Sam menepuk pundak pemuda itu, ia sangat amat berterima kasih pada Afgan, karena dirinya bisa mendengar suara tawa ponakan pertamanya—Kiara.

Lastri, wanita itu memperkenalkan diri sebagai ibu dari Afgan kepada Bram dan Luna. Karena hari ini, hari pertama ia berjumpa dengan orangtua kandung si bocil cantik.

Kedua sepasang adik-kakak yang tadi tengah saling mengejar, kini mengehentikan aktifitasnya. Kiara melempar selang yang tadi ia pegang.

Mawar, bocah itu menunduk saat setengah bajunya basah. Ia takut di marahi.

Kiara, sebagai kakak, ia merangkul sang adik untuk mendekati orangtuanya.

Gadis itu kembali memasang wajah datar.

Merasa suasana canggung, Lastri mengajak mereka untuk makan mangga bersama-sama.

"De, sini! Katanya tadi mau mangga!"  Bocah itu nampak berbinar.

Ia mengambil posisi duduk dekat Lastri, tanpa menghiraukan tatapan terluka dari ibu aslinya.

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang