"Jangan lupa, obatnya nanti di minum."
Afgan mengangguk, tidak seperti pagi sebelumnya. Sekarang, ia lupa untuk memakan obatnya. Pemuda itu menata jilbab sang mami yang sedikit kusut. Saat ini mereka tengah berada di depan warung makan Lastri.
Lastri mencubit gemas lengan sang putra. "Kamu sih! Mami kan udah bilang, jangan kesiangan. Telat 'kan makan obatnya."
Afgan menghela napas. "Mi, 'kan udah Afgan bawa obatnya ke sekolah nanti tinggal di makan. Okey? Afgan baik-baik aja."
Lastri nampak menyesal telah mengomeli putranya. "Maaf ya, kalo mami bawel soal obat sama kamu."
Afgan tersenyum. "Nggak pa-pa, Afgan ngerti. Tapi, Afgan juga udah gede. Udah tau sama kondisi fisik Afgan sendiri, mami nggak perlu khawatir berlebihan. Ya?"
Lastri mengangguk. Pemuda itu mencium punggung tangan sang ibu di sertai mengecup kening wanita itu.
"Afgan berangkat ya? Nanti pulang sekolah, Afgan jemput."
Setelah menjawab salam sang putra, Lastri menatap motor Vespa yang mulai menjauh itu.
Terkadang ia kasihan, pada Afgan yang hidupnya bergantung pada obat-obatan. Tanpa di ketahui banyak orang, setiap pagi dan malam putranya itu harus memakan beberapa jenis obat yang sudah di anjurkan.
Mami tau, kamu kuat.
•••
Saat di sekolah, Afgan diam-diam memakan obatnya. Si kembar yang sudah mengetahui riwayat sakit pemuda itu pun, tidak bertanya banyak hal.
Di jam istirahat sekarang, Fano membawa gitar dari rumahnya. Mereka tidak ke kantin dan menghabiskan waktu istirahatnya di kelas.
Saat Afgan tengah memetik senar gitar, Kiara berjalan ke arahnya. Ia dan si kembar, menatapnya penuh tanya. Terlebih, saat gadis itu menyodorkan ponselnya ke arah Afgan.
"Tau aja lo Ki, kalo gue ngincer hape ini dari lama," canda Afgan.
Kiara menatapnya. "Tulis nomer hape lo."
Fano melotot mendengarnya. "L-lo? Tumben, ada apa?" tanya Kiara.
Afgan lupa memberitahu si kembar, bahwa di bocil cantik sudah di kembalikan pada kakaknya ini.
"Opa dan Oma, ngundang Afgan dan ibunya ke rumah. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah merawat adik saya dengan baik," Kiara menjawab.
Fano yang tadinya mau bertanya lagi, mendapat kode dari Fino untuk diam.
Afgan mengambil ponsel itu, dan mengetikkan nomer ponselnya.
"Jangan lupa, besok datang." Setelah berkata demikian, Kiara kembali berjalan ke arah bangkunya.
Membaca buku, dan memasang headset. Seolah, tidak terjadi apa-apa.
"Gan? Itu lo—"
"Nggak usah dengerin dia, ayo nyanyi!" Fino memotong ucapan kembarannya, membuat sang empunya kesal.
Afgan kembali memetik senar gitarnya, beberapa murid yang tidak ke kantin bersiap mendengar suara pemuda itu.
Afgan itu, mempunyai suara yang merdu. Bahkan, ketika ada lomba saja ia sering mengikutinya dan pulang membawa piala. Tapi, dia jarang nyanyi. Jadi, kalo Afgan nyanyi itu sangat-sangat di tunggu para teman sekelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]
Teen Fiction"Papa, Dede lapel." Mata Afgan membola! Heh, apa tadi? Papa? "Heh bocah! Gue bukan bapak lu!" ••• "Afgan janji, akan mencari pahlawan pengganti untuk jagain Mami." ••• Ini tentang Afg...