[39] Berjuang bersama

5.4K 1.2K 80
                                    

"Kehilangan tentu saja menyisakan ketakutan terdalam. Bertahanlah, jangan membuatnya kembali merasakan kehilangan untuk kesekian kali."

___A. Sam___

Lastri menautkan kedua tangannya saat dokter Gunawan yang telah menangani putranya dari kecil, tengah meneliti kertas yang berisikan kondisi sang putra.

Afgan mengelus pundak sang mami, mencoba menenangkan ibunya itu.

Dokter Gunawan bertanya pada Afgan.

"Sejak kapan kamu sering merasakan sesak napas?"

Afgan melirik ibunya, ia menghela napas berat, "waktu main basket itu, dok."

Dokter Gunawan mengangguk. Ia kembali membaca kertas di tangannya.

"Sering pusing atau mudah capek?"

Afgan mengangguk. "Kadang-kadang, dok."

Lastri menatap putranya, selama ini Afgan tidak pernah mengeluhkan perihal kesehatannya.

Yang ia tahu, sang putra selalu minum obat. Jika di tanya ada keluhan, putranya hanya diam bahkan berkata bahwa dirinya baik-baik saja.

Afgan membawa tangan sang ibu, ia mengusap tangan itu dengan lembut dan berbisik, "maaf."

"Gan, sakit kamu ini bawaan dari lahir. Lemah jantung. Saya sudah menangani kamu sejak kamu kecil, dan saya sempat bahagia saat melihat kondisi kamu dua bulan lalu yang menunjukkan hasil yang begitu baik. Tapi sekarang, kenapa? Jangan terlalu banyak pikiran, nak. Gejala-gejala yang saat ini kamu rasakan, dan hanya di biarkan begitu saja. Itu bisa membahayakan diri kamu sendiri."

Jika di tanya apa yang tengah saat ini ia rasakan? Ingin Afgan menjawab, bahwa ia mempunyai banyak ketakutan yang tak bisa di ceritakan.

Takut dirinya yang lebih dulu di panggil Tuhan, takut meninggalkan sang ibu di dunia ini sendirian dan banyak ketakutan lainnya.

Afgan menatap sang ibu yang termenung, pemuda itu mencium punggung tangannya.

Dapat ia rasakan, tangan cantik itu bergetar pelan. Tangan yang pertama kali menyuapinya makan, memapahnya saat pertama kali ia bisa melangkah.

Dan tangan itu, kini bergetar penuh ketakutan karena dirinya.

"Maaf."

•••

Sampai di pekarangan rumah, Lastri buru-buru turun dari motor. Wanita itu membuka pintu dengan tergesa tanpa ingin melihat wajah sang putra.

Afgan bisa melihat tangan sang ibu yang mencoba menghapus air matanya dan buru-buru masuk ke dalam rumah, pemuda itu berjalan dengan langkah.

Sampai di dalam rumah, ia menatap pintu kamar sang mami yang di kunci.

Afgan mendekat, ia bersandar di pintu kamar sang ibu. Tubuhnya meluruh.

Suara isakkan dari sang ibu terdengar menyesakkan. Afgan menunduk, ia mendongak menatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong.

"Selama ini Afgan mencoba untuk nggak ngeluh, mi."

"Afgan punya ibu yang sudah berkali-kali merasakan kehilangan, jika Afgan sendiri ngeluh, dikhawatirkan itu malah membuat mami drop. Maaf."

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang