[46] Cie, Abi

5.9K 1.4K 132
                                    

"AAAAAA AFGAAAN!"

Afgan terperanjat mendengar suara nyaring sang ibu dari kamarnya. Pemuda yang memakai baju tidur panjang itu, berlari ke arah kamar tidur Lastri.

Ini masih subuh, kenapa ibunya berteriak nyaring?

Membuka pintu kamar yang tidak di kunci, Afgan tersentak saat sang ibu memeluknya dengan erat.

Ia mengelus rambut panjang sang mami dan bertanya dengan lembut, "mi, kenapa? Adzan aja belum, kok udah teriak-teriak gini sih?"

Afgan menguap, sejujurnya ia masih mengantuk.

"Astaghfirullah Lastri, pinggang saya ENCOOK!"

Afgan berjalan masuk ke kamar, ia terkejut melihat Sam yang sudah tengkurap di atas lantai.

Bukannya menolong, ia malah tertawa. "Rajin amat bi, subuh-subuh gini udah push up."

Abi, Afgan harus membiasakan untuk memanggil Sam sesuai keinginan pria itu. Ya, meski agak geli sih sebenarnya di pendengaran Afgan sendiri.

Sam berdiri, ia memegang pinggangnya yang terasa nyeri. Netrannya menatap Lastri, yang justru saat ini malah mengambil guling untuk memukul tubuhnya.

"Nggak sopan, masuk kamar orang lain sembarangan! Mau di grebek warga kamu HAH?!"

"Mana ada warga yang mau grebek suami istri, Lastri!"

Lastri tak menghiraukan, ia tetap memukul Sam.

Sam mengelak dari pukulan guling wanita itu, ia berlindung di balik tubuh Afgan. "Tolongin saya dong, Gan. Sakit ini badan saya."

Sang empunya yang di minta tolong, berjalan ke arah Lastri dan memeluk tubuh sang mami.

"Mami, udah nikah sama om Sam. Masa lupa?"

Lastri tersentak. Ia menatap Sam, wanita itu menggaruk kepalanya. "Oh, maaf. Mami lupa."

Afgan mengembuskan napas berat. Masa iya lupa kalo udah nikah.

Lastri berjalan ke arah Sam yang sudah duduk di kasur, pria itu mengelus pinggangnya.

"Maaf, saya lupa."

"Dosa kamu, mukul suami sendiri."

Afgan yang melihat seperti akan ada perdebatan, ia berjalan keluar kamar dan menutup pintunya.

Adzan subuh berkumandang, ia melanjutkan langkahnya ke toilet untuk mengambil wudhu.

Sampai di kamarnya, Afgan membuka jendela, ia melihat langit yang masih gelap.

Pemuda itu, mengusap wajahnya.

Mau sekuat apapun dia, dan berkata bahwa sudah merelakan sang ibu bersanding dengan pria lain. Tetap saja, sedikit ada rasa tidak rela.

Benar kata sang ibu : kamu nggak rela, yang ada kamu hanya terpaksa.

Terpaksa terlihat bahagia dan mengeluarkan suara tawa paling keras, nyatanya membuatnya lelah.

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang