[24] om-om ngeselin

7.6K 1.5K 74
                                    

Lastri dan Afgan sampai di pekarangan rumah mereka tepat saat adzan Maghrib berkumandang.

Lastri menggelengkan kepalanya heran dengan tingkah sang putra yang melakukan sesuatu dengan terburu-buru.

Saat membuka kunci rumah, Afgam membukanya dengan tidak sabaran. Setelah bisa masuk, pemuda itu malah merebahkan tubuhnya di sofa.

Lastri mengambil handuk dari kamar, wanita itu menatap putranya dengan kesal, ia melempar handuk itu ke arah sang putra yang malah memejamkan mata.

"Udah adzan ganteng, bukannya mandi sama wudhu malah tiduran! Bangun, mandi! Terus sholat! Mandinya jangan lama! Mami juga mau mandi!"

Afgan mengambil handuk itu, ia berjalan ke arah WC dengan langkah yang malas-malasan. Tanpa menjawab omelan sang mami.

Lastri heran, ini putranya kenapa sih? Bukannya dia sudah mengijinkan jika besok Afgan ikut basket? Terus, kenapa wajah putranya jadi murung.

Tolong ingatkan dirinya, setelah sholat magrib ia harus menyidak sang putra.

Tak lama, Afgan keluar dari wc. Ia menghampiri sang ibu yang tengah menonton televisi.

"Mi," panggil Afgan.

"Hm," sahut Lastri, cuek."

"Kapan nikah?"

Lastri menatap putranya dengan tajam. "Kapan-kapan!"

Afgan berdecak, sejujurnya saat ini ia tengah kesal sejak bertemu dengan Sam. Jaga-jaga saja, siapa tau om itu menyukai ibunya'kan?

Iya sih, Afgan tengah mencari kandidat ayah baru. Tapi, kalo bersama Sam? Mungkin telinganya akan panas mendengar suara menyebalkan itu. Jika boleh, ini pertemuan pertama dan terakhir mereka!

Nggak siap Afgan, jika harus menghadapi ucapan julid setiap harinya. Hiiih.

"Mi."

"Apa ganteng," sahut Lastri, mulai malas meladeni ucapan sang putra.

"Pak Ardi yang punya toko kue di depan gang sana, duda loh! Istrinya meninggal beberapa bulan lalu."

"Mami tau."

Afgan tersenyum, maniknya berbinar. "Mami mau sama dia?"

Lastri menatap tajam putranya, ia berjalan ke arah sang putra dan tak lupa tangannya juga menjewer telinga Afgan hingga pemuda itu mengerang kesakitan.

"Kamu mau punya ayah tiri yang seumuran sama abah kamu hah?!"

•••

Di pagi ini, suasananya di lapangan terdengar sangat riuh dengan tepukan atau bahkan teriakan penonton.

Saat ini, giliran kelas Afgan yang bertanding melawan kelas lain. Sebelum masuk ke ke tengah lapang, Fano menepuk pundaknya.

"Kalo lo udah ngerasa nggak mampu ikut permainan, lari ke pinggir lapangan. Oke!"

Afgan mengangguk. Ia tersenyum lebar, bahkan saat tadi berangkat sekolah pun' sang mami berpesan demikian.

"Santai aja, gue nggak akan maksain diri!"

Fano mengangguk, ia merangkul pundak Afgan dan kembarannya untuk berjalan ke tengah-tengah lapang.

Saat mereka berjalan ke lapangan pertandingan, Afgan mengeryitkan dahi saat melihat Sam duduk dengan tenang di samping jajaran guru-guru.

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang