[37] Perjanjian

5.6K 1.3K 143
                                    

Entah ini hanya di rasakan oleh Afgan atau bahkan banyak orang, tapi ... ia merasa waktu begitu cepat berlalu.

Rasanya baru kemarin ia duduk di bangku kelas tiga semester satu, sekarang ... mereka sudah menuju beberapa hari untuk pembagian raport. Terhitung enam bulan lagi, ia benar-benar sudah lulus dari sekolahnya ini.

Selama ini, hubungan Afgan dan keluarga si bocil semakin dekat. Bahkan, dengan om Sam. Karena pria itu, beberapa kali mengajaknya jalan dan banyak menceritakan pengalaman hidup padanya.

Afgan tidak keberatan, justru dengan kehadiran Sam, ia bisa kembali merasakan kehadiran sang ayah. Minusnya, Sam terlalu julid.

Saat ulangan tiba, terkadang Afgan mengajak Kiara serta si kembar untuk belajar bersama.

Seperti ucapan Kiara beberapa Minggu lalu, setelah pembagian raport selesai. Ia akan mengajak teman sekelasnya pergi liburan ke Bali. Di jadwalkan keberangkatan mereka seminggu lagi.

Karena di sekolah tinggal menunggu pembagian raport. Afgan saat ini malah menghabiskan waktunya berada di warung sang mami, bersama si bocil cantik dan om Sam.

Saat ini mereka tengah berada di taman belakang. Afgan dan Sam tengah menggunting rumput yang mulai memanjang.

Kapan lagi coba, ia bisa mempekerjakan bos besar seperti Sam.

Sedangkan Lastri, wanita itu berada di depan warung untuk melayani pelanggan.

"Boneka dari kamu di bawa-bawa terus sama si Ade, Gan." Sam menggeleng lengan kemejanya.

Ia menghela napas, merasa lelah. Padahal, hasil guntingannya baru sedikit.

Afgan tersenyum, sekarang bocah itu tengah duduk di bawah pohon. Ia tengah bermain masak-masakan di sana.

"Bagus dong om, jadinya saya seneng."

Sam melanjutkan menggunting rumputnya, posisi mereka bersebelahan.

"Di bagi raportnya kapan Gan?"

"Dua hari lagi," jawab Afgan, "om mau ngasih saya hadiah?" kekehnya.

Dengan santai, Sam mengangguk. "Boleh, kamu mau apa?"

Pemuda itu menatapnya terkejut. "Serius om?"

"Serius lah, saya juga menjanjikan hadiah pada dua ponakan saya jika mereka masuk dalam tiga besar. Sekarang, tinggal kamu yang saya tanya. Kamu mau apa?" tanya Sam.

Afgan tersenyum manis. "Nggak muluk-muluk saya mah om permintaannya."

Sam meliriknya malas. "Ya udah, ayo sebutin mau apa?"

"Jet pribadi, saham di kantor, tanah lima hektar, dua cabang restoran dan juga—"

"Bocah semprul!" Sam melempar pemuda itu dengan rumput. "Itu namanya pemerasan!"

Afgan terkekeh. Lagipula, seakrab-akrabnya ia dengan Sam. Mana berani ia meminta.

Afgan pernah bilang 'kan, siapa Sam di hidupnya? Hanya sahabat almarhum sang ayah, yang kebetulan akrab dengannya saja.

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang