[13] pohon toge?

9.7K 1.8K 103
                                    

"It's oke

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"It's oke. Setiap orang punya kelemahan dalam dirinya'kan?"

___A f g a n___

Hal yang paling Afgan syukuri dalam hidupnya adalah, ia terlahir dari keluarga sederhana yang benar-benar mendeskripsikan "Rumah tempatnya pulang". Kemanapun ia jauh melangkah, tempat terakhir untuknya beristirahat adalah pelukan sang ibu dan support dari sang ayah.

Saat ini, pemuda yang memiliki senyuman menawan itu tengah menemani si cantik Mawar untuk mewarnai. Mereka duduk di atas karpet. Afgan tak berhenti memainkan rambut bocah itu. Membuat empunya mendengus sebal, karena terkadang papa om nya itu sengaja mengacak-ngacak rambut panjangnya.

"De, lo kalo di rumah suka apa?"

"Dede suka main game di i-pad."

"Anak kecil nggak boleh main gadget tau, nanti matanya rusak." Afgan memberitahu.

"Kalo matanya lusak, 'kan ada doktel. Peliksa aja ke doktelnya."

Pemuda itu mendengkus. "Emang orangtua lo nggak marah anaknya mainin gadget lama-lama?"

Bocah itu menggeleng. "Nggak. Justlu, kalo dede mau ajak main papa atau momsna. Meleka malah yang nyuluh Dede mainin game di hape. Kata meleka, meleka lagi sibuk, jangan ganggu dulu."

Afgan menatapnya prihatin. Sudah terlihat sih dari gaya kedua orang tua si cantik ini, saat ia bertemu mereka.

Tangan pemuda itu mengusap kepala Mawar dengan lembut.

"Bener ya kata ayah gue, mending kita hidup sederhana tapi ada keharmonisan di dalamnya, daripada hidup mewah tapi susah untuk membeli waktu luang."

Nyatanya, banyak anak yang terlahir kaya sejak lahir namun susah mendapat perhatian lebih dari orangtuanya dengan alasan 'sibuk'. Tak heran, banyak remaja yang membuang waktunya lebih lama di luar rumah, karena rumah yang mereka punya tidak bisa di jadikan 'tempat pulang' yang di rindukan.

"Papa om, genteng walnanya apa?" tanya Mawar.

"Cokelat."

Si bocah mengangguk, dan mulai melanjutkan gambarnya.

"Kalo matahali?"

"Kuning."

Kembali, bocah itu melanjutkan mewarnainya.

"Batang pohon, walna apa papa om?"

"Putih de!" kesal Afgan.

Masa hal itu saja harus ditanyakan!

"Woahh papa om pintel, batang pohon emang walna putih!"

Hah? K-kok?

"Soalnya, ini pohon toge!" Kekeh si bocil.

Kampreet!

•••

Saat ini Lastri tengah berada di kamar sang putra, selagi Afgan menemani Mawar mewarnai. Wanita itu menatap isi kamar putranya.

Netra cokelat nya menatap beberapa bungkus obat yang di simpan dalam toples berukuran sedang, tangannya terulur untuk mengambilnya.

Mulai dari vitamin, sampai obat pereda nyeri ada di sana. Lastri menatapnya iba.

Di saat remaja lain melakukan hal yang mereka suka, justru putranya harus memendam keinginan itu. Banyak hal yang ia suka, namun terhalang akan sakit yang di derita.

"Afgan suka main bola, nanti temen-temen mau kesini. Ngajak main ke lapang. Boleh 'kan Yah?! Katanya kita tanding! Seruuu pasti!"

Pandu tersenyum menatap sang putra yang berusia tujuh tahun itu, terlihat semangat meminta ijinnya.

"Boleh, tapi Afgan jangan ikut main ya? Inget, lusa kita mau kontrol. Boleh kan, ayah minta anak hebat ini untuk bersabar? Kalo mau main, bisa sama ayah. Di depan rumah. Gimana?"

Senyum sang putra lenyap, meski begitu ia mengangguk lesu.

"Anak hebat ayah, sabar ya nak!"

Sejak saat itu, setiap teman-teman sekompleknya mengajak ke lapang. Afgan menolak. Ia lebih memilih bermain dengan sang ayah, meski hanya menendang bola biasa. Tidak sampai membuatnya lelah.

"Mi? Lagi apa?"

Lastri tersentak.

"Eh, ini ... mami lagi cek obat kamu. Takutnya mau habis."

"Mana ada habis mi, kan waktu itu Afgan udah kontrol. Tinggal nunggu bulan depan lagi buat kontrolnya." Pemuda itu mencium kening sang ibu.

Lastri tak menjawab, ia hanya tersenyum.

"Si Dede mana Gan?" Mengalihkan topik, Lastri menatap ke arah pintu kamar putranya.

"Nggak mau di ganggu dia, katanya mau fokus ngegambar. Masa tadi minta Afgan gambar bebek, pas udah di gambar dia warnain-nya pake warna hitam."

"Lah, bebek kan bisa warna kuning."

Afgan terkekeh. "Justru kata si pinter, ini bebeknya udah di masak sampe gosong. Jadi warnanya hitam."

Lastri ikut tertawa, tangan Lastri mengusap pundak sang putra.

"Jangan lupa ya, bentar lagi kita beresin barang-barang si Dede. Nanti dia 'kan bentar lagi udah mau di jemput."

Afgan mengangguk. "Pinter amat ya tuh bocah, datang kesini dengan tangan kosong eh pulang kerumahnya bawa barang-barang."

"Nggak boleh gitu!"

"Iya, iya, bercanda doang mi."

Padahal, Afgan merasa waktu begitu cepat berlalu. Sampai-sampai, empat hari lagi si bocil akan pulang ke rumahnya.

"Bentar lagi, sepi lagi dah ni rumah," keluhnya, mengusap wajahnya kasar.

"PAPA OM! TOLONG BIKININ DEDE GAMBAL IBU HAMIL DONG!"

____A F G A N____

mau minta maaf, udah lama ngga update. mudah-mudahan setelah ini, revisinya bisa sampe tamat ya><

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang