[30] Saran Afgan

7.5K 1.5K 168
                                    

"Apapun akhirnya, kalian hebat karena berhasil sampai di titik ini."

___Afgan___

Segala sesuatu yang kita punya, akan hilang jika tidak bisa menjaga dengan semestinya. Apa yang di inginkan, memang tak selalu sesuai dengan harapan. Apa yang di impikan, tak harus selalu terwujudkan. Jika kecewa karena harapan tak sesuai kenyataan, tak apa. Jadikan itu sebuah pelajaran, bahwa hidup tak harus tentang kemenangan.

Menang dalam sebuah perlombaan, memang suatu kebanggaan. Tetapi kalah dalam satu perlombaan pun, bukan hal yang memalukan. Dengan kemenangan, kita harus siap untuk mempertahankan posisi yang sudah di raih. Sedangkan kalah dalam perlombaan, justru hal itu menjadikan pacuan orang untuk lebih semangat memperbaiki posisi yang belum sempat di raihnya.

Gagal dalam usaha, masih bisa di coba. Proses menuju kesuksesan, tentu banyak rintangan. Tak banyak orang yang berhenti di tengah jalan karena kelelahan melewati jalan yang ia lewati, tanpa mereka tahu bahwa menuju permata cantik itu tinggal satu langkah lagi.

Menyerah atau melanjutkan langkah. Empat kata yang selalu Afgan ingat, jika ia menyerah ... belum saatnya. Sang ibu masih membutuhkan sosok pelindung. Sedangkan ia sendiri, belum bisa mencari sosok pelindung yang baru untuk ibunya.

Pilihannya saat ini, melanjutkan langkah. Meski kerikil tajam menembus kakinya, meski terpaan badai hampir membuat ia tumbang. Ia harus ingat, bahwa ... ada sang ibu yang setia berada di sampingnya. Orang pertama yang memberikan ia suntikan semangat kala kata menyerah, bersarang di pikirannya.

Suasana malam ini, terasa begitu menenangkan. Beberapa macam obat, berada di telapak tangan. Meski obat-obatan menjadi teman baiknya setelah beberapa tahun ini, tetap saja ... rasa pahit yang selalu ia rasakan.

"Gan, udah sholat isya belum?" Lastri mengetuk pintu kamar sang putra.

Afgan menyimpan obat itu di atas meja.

"Belum mi, masuk aja. Kita sholat berjamaah," sahut Afgan, membenarkan peci serta sarungnya.

Lastri masuk ke dalam kamar. Wanita itu sudah siap dengan mukena putih.

"Tau aja, padahal mami niatnya mau ngajak kamu sholat berjamaah juga." Lastri menggelar sajadah di belakang sang putra.

Afgan berdiri di depan sang ibu, tepatnya siap untuk melaksanakan sholat isya berjamaah.

"Eh, kamu belum minum obat Gan?" Lastri melirik beberapa macam obat di atas meja.

"Belum mi, nanti abis sholat." Afgan menjawab, pemuda itu berdehem untuk menstabilkan suaranya.

"Jangan lupa, obatnya di minum tepat waktu."

Afgan menjawabnya dengan anggukan, pemuda itu mulai melakukan takbiratul ihram di ikuti sang mami. Suara sang putra saat melantunkan ayat Alqur'an, terasa begitu menenangkan.

Sampai di salam terakhir, Afgan berdoa. Setelah itu, ia mencium punggung tangan sang ibu. Lastri mengelus kepalanya dengan lembut.

Tangan wanita itu, menangkup wajah sang putra. "Tadi kamu doa apa, Gan?" tanya Lastri, tatapannya begitu memenangkan.

Afgan melemparkan senyum. "Seperti biasa," jawab pemuda itu.

Afgan melepaskan tangan sang ibu, ia menyimpan kepalanya di pangkuan Lastri. Sedangkan wanita itu, mengelus rambut hitam legam milik putranya dengan lembut.

Lastri tersenyum. "Nggak malu, udah gede manja gini. Kamu 'kan anak cowok," celetuk Lastri.

Memang, di umurnya yang menuju ke delapan belas tahun. Afgan tak pernah gengsi untuk berdekatan seperti ini dengan sang ibu, menurutnya ... waktu tak bisa di ulang.

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang