38 -

50 13 5
                                    

-- Beberapa Bulan Yang Lalu --
"Selamat ulangtahun, Lunox!" ia berseru gembira, meletakkan sepotong kue yang siang tadi ia beli.

Tidak ada seorang pun yang bisa membohongi kebahagiaan, Lunox duduk sembari menatap kue tersebut. Ia tersenyum lebar nan manis, senyum yang dapat ia berikan merupakan hal yang sangat indah.

"S—Silva.. kau terlalu berlebihan," malu-malu ia berkata. "...Ulangtahunku tidak perlu dirayakan."

"Aku tidak merayakannya, aku hanya mengucapkan selamat sambil memberikan kue ini, lihat?"

Seketika, kedua mata Lunox berkaca-kaca. Momen inilah yang sedari dulu ia inginkan, kehidupan layaknya orang normal pada umumnya. Namun sayang sekali, sosok Dante tidak hadir dalam hari spesial ini.

"Sebentar lagi kau harus hidup mandiri, Lunox." Silvanna berbicara seraya duduk disebelahnya, menatap bersama-sama kue yang sudah ada dihadapannya. "...Kau sudah tumbuh besar, ini adalah waktu yang tepat bagiku untuk meninggalkanmu."

"Tidak," secepat kilat Lunox menjawab. "Aku tidak mau ditinggal olehmu!"

Lunox mengepal kedua tangan, rasanya kesal sekali apabila Silvanna mengatakan hal yang menyinggung dihari ulang tahunnya. Benar, hal itu tidak harus terjadi, waktu dimana mereka berdua mesti berpisah.

"Setelah Dante pergi.. kenapa kau juga harus pergi meninggalkanku!?" suasana damai dalam sekejap berubah, Lunox meneteskan air mata dengan wajah yang menunduk.

"Aku—"

"Dante tidak pernah bilang kalau dia akan terus mencari keberadaan sosok Leomord, sejujurnya aku sangat kesal pada Dante!"

"Aku bahkan tidak mengerti kenapa kita harus tinggal disini. Apa kau tidak pernah berpikir kalau outworld adalah dunia yang tidak jauh berbeda dengan underworld, Silva!?"

"Aku rindu Bapa Pendeta. Aku rindu Suster Diana. Aku rindu Ibuku!"

"Ibumu sudah tiada!" disitu, Silvanna memotong. "Cobalah 'tuk mengerti posisiku, Lunox. Aku cuma.. ingin diakui olehmu—bahwa adanya aku disini untuk memenuhi tanggung jawab ibumu."

Lunox terdiam, kedua matanya masih lembab. Kata-kata Silvanna sungguh menyentuh perasaan Lunox, terlebih lagi apa yang diucapkan Silvanna sama sekali tidak salah.

"Dari dulu aku selalu menganggapmu orang yang spesial." Lunox membalas. "...Aku sayang padamu, Silva."

"Kalau begitu, kumohon.." tiba-tiba Silvanna memelas. "Kita berdua harus berpisah."

Hari telah berganti,
Sedemikian rupa Lunox telah memberikan alasan serta kepastian 'mengapa' Silvanna harus jauh darinya. Dari segala macam jawaban, Silvanna hanya berkata—"Demi kebaikan dirimu, dan juga dunia."

Lunox masih tidak paham. Tapi seiring berjalannya waktu, Lunox mengerti.

Dengan kenyataan pahit seperti ini, Lunox duduk di tepi sungai sambil menatap wajahnya sendiri. Pantulan wajah pada permukaan air itu memperlihatkan betapa sedih dirinya.

"Semua orang meninggalkanku. Bapa pendeta, Suster Diana, Dante, bahkan Silva." ia berkata tanpa berpaling. "....Akhirnya aku mengerti, aku hanyalah kunci bagi dunia ini. Takdir dan semuanya.. berada ditanganku, karena itulah aku sendirian."

"Semua takut padaku." Lunox kehilangan motivasi, dan semangat untuk hidup.

Silvanna memang tidak meninggalkannya, lagipula jika ia berniat meninggalkan Lunox—tidak mungkin Silvanna masih mau memberikan alamat kepadanya. Walau demikian, kemungkinan besar jika Lunox datang ke mansion, Silvanna pasti tidak akan ada.

"Bukankah kau Lunox? Ho~ bagaimana harimu selama tinggal di outworld?" sosok Tigreal muncul, berjalan menghampiri gadis remaja tersebut.

"...Kalau tidak salah, kaukah Tn. Tigreal?"

LUNOX AUTHORITY (TAHAP REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang