49 » Pandawa?

7.3K 1.7K 465
                                    

Happy reading

...

Libur akhir semester tinggal tersisa sehari. Dan dalam sehari itulah si kembar baru mulai menyiapkan perlengkapan sekolah yang sekiranya dibutuhkan. Repot? Jelas. Padahal seharusnya mereka berempat bisa menyiapkan dari jauh-jauh hari agar tak kerepotan. Tapi berhubung diantara mereka ada yang namanya Haikal, maka prepare secara mendadak adalah pilihan.

"Ngapain sih nyiapin dari jauh-jauh hari? Kelamaan, nanti bukunya malah keburu lecek gara-gara keinjek kucing, terus antusiasme gue buat menuntut ilmu jadi redup. Lagian nih, kalau kita nyiapinnya sehari sebelum masuk sekolah, beuh! Bakal ada sensasinya sendiri lur... kayak greget campur semangat gimana gitu. Pokoknya enaklah lomba sama waktu."

Kira-kira seperti itulah kalimat yang dituturkan Haikal kala dirinya diajak Juna untuk membeli alat tulis dan teman-temannya lebih awal. Kata-katanya kelewat santai saat masuk gendang telinga Shaka dan Nanda, tapi saat masuk ke pendengaran Juna, jangan harap dia akan mengiyakan segampang itu.

"Enak matamu! Lo pikir nyari perlengkapan sekolah dalam waktu sehari itu nggak nguras tenaga, hah?! Mikir kek macetnya ibukota kayak apa!"

Yah, walaupun mengomel dulu, tapi ujung-ujungnya si sulung akan ikut mencari perlengkapan sekolah saat libur semester tinggal tersisa sehari. Padahal dirinya mengajak saat jauh-jauh hari karena ingin menghindari 1 hal, walaupun terasa mustahil.

Macet.

Satu kata yang sangat dibenci semua orang, termasuk Juna. Barisan kendaraan roda 4 maupun roda 2 yang menjadi pemandangan utama sejak 2 jam lalu begitu terasa menyebalkan, ditambah lagi bunyi klakson yang saling bersahutan itu. Hah... sungguh sangat menyebalkan.

"Ada jalan tikus nggak sih?!"  kesal Juna seraya mengurut pangkal hidungnya pelan.

Nanda, laki-laki yang sejak tadi menyetir dengan tenang itu menghembuskan napas lelah. Sembari mengetuk-ngetukkan jari pada stang bunder, ia menyahut, "Bentar lagi sampe, kak. Tahan dulu lah emosinya."

"Lo tidur aja dulu kak, dari pada ngeluh mulu."

Mendengar kalimat barusan, Juna menoleh ke belakang dan memincingkan matanya. Menatap lekat pada si pengucap yang sedang sibuk menjahili Wawan. Wah, santai sekali ya adiknya yang satu itu berucap. "Mulut lo enteng bener ye, mas. Belum pernah digaplok pake powerbank gue, ya?"

"Itu si adek mau lo apain, hah?!" tanyanya panik.

Bagaimana tak panik coba? Tangan Haikal kini memegang tali jaket si bungsu dengan erat, kemudian menariknya dan mengikat dengan kencang hingga tak sengaja malah jadi mencekik leher si bungsu. Dan karena perbuatannya itu, Wawan merintih sakit. Susah payah ia melepaskan tali jaket yang diikat kencang oleh Haikal. 

"Ck!" Shaka berdecak malas karena kelakuan Haikal. Ia sedikit memiringkan badannya menghadap ke Wawan dan membantunya melepaskan tali jaket, "Lo pikir adek kambing qurban?" 

Shaka menatap malas pada tersangka yang memasang mimik wajah tak bersalah. Dasar Haikal, tidak bisa tenang sebentar apa?

Sejak keluar dari pekarangan rumah hingga terjebak macet seperti sekarang, secara terang-terangan ia berlaku iseng pada adik barunya. Dari mulai menguyel-uyel pipi, bergelayut manja, sampai mengikat tali jaket Wawan dengan kencang hingga tak sengaja malah berakibat mencekik lehernya. 

 "Sorry. Lagian siapa suruh Naga gemesin gini." Haikal menyahuti seraya mengulurkan tangannya untuk menguyel-uyel pipi dari remaja laki-laki yang duduk manis diantara dirinya dan Shaka.

Shaka menatap jengah tersangka utama yang kembali berulah, "Diem bentar kek, mas. Gue capek pengen merem sebentar."

"Merem aja kali," Haikal merogoh saku hoodienya dan mengeluarkan sesuatu dari sana, "Nih. Pake, biar nggak terganggu." Ucapnya seraya menyerahkan earphone bluetooth berwarna putih milik Dewa yang ia pinjam, tapi belum sempat dikembalikan.

Fratrem | NCT DREAM 00 Line ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang