56 » Poor Wawan

6.6K 1.7K 146
                                    

Happy reading
...

Sore itu, situasi dan kondisi di ruang rawat inap Shakala terasa lebih berwarna ketimbang sebelumnya. Tak lain penyebabnya adalah sadarnya si budak kucing Shaka sejak 5 hari yang lalu dan keberadaan para saudara serta Ayah Adimas di sana.

Galih dan Agni. Kedua anak Om Agung yang super sibuk itu masih belum kembali ke Bandung, katanya mereka masih ingin temu kangen dengan para adik kampret. Mungkin 2 hari kemudian, kakak-adik itu baru akan menyusul si papa.

Sebenarnya, alasan Galih dan Agni belum kembali bekerja karena ingin mengetahui sosok adik baru si kembar. Mereka penasaran pada remaja laki-laki yang memasuki masa puber itu. Kelakuannya akan se-absurd si kembar atau malah lebih 'normal'.

Tepat di sofa panjang yang tak jauh dari ranjang Shakala, terdengar obrolan ringan terjadi begitu saja tanpa ada rasa canggung diantara ketiga anak manusia tersebut. Tak ketinggalan pula suara jari si Ayah yang beradu dengan keyboard turut menjadi backsoundnya.

"Wan, selama kamu tinggal sama si kembar, kamu kena tekanan mental nggak?" tanya Agni tanpa merasa tak enak pada  Adimas yang berada disamping abangnya.

Wawan menggeleng dan menjawab, "E... sedikit."

Adimas langsung menghentikan jari tangannya sejenak begitu mendengar jawaban Wawan. Agak tak menyangka, tapi saat mengingat kelakuan si kembar apalagi Haikal, dia tak heran.

"Emang kamu pernah diapain sama si kembar?" Galih menatap penuh tanya pada Wawan yang duduk diantaranya serta Agni.

Sebelum menjawab, sekilas Wawan melihat pada Shaka yang menatap ke arah jendela dan Ayah Adimas secara bergantian.

"Aku pernah dibuatin Mas Haikal teh yang lebih pahit dari obat. Eh tapi, Mas Haikal itu pernah baik juga. Dia pernah beliin aku sepatu futsal warna merah yang sayangnya baru 2 hari dipakai, malah dibuang sama Aa' Nanda dari lantai 2."

Semua mendadak terdiam tak terkecuali Adimas.

"Nanda?!" tanya Adimas tak percaya.

"Nge-buang sepatu? Nanda? SERIUS CUK?!" tanya Agni heboh.

Galih mendeklik tajam pada si adik karena telah berteriak dengan se-enak jidat menggunakan kata yang kurang pas. Sementara si adik hanya menampilkan senyum lebar tanpa rasa bersalah.

"Teh yang rasanya lebih pahit dari obat, ya? Pasti teh punya Juna." Galih menebak dengan raut wajah santainya.

Wawan mengusap tengkuk lehernya begitu mendapati reaksi tak terduga dari Ayah Adimas, Agni, dan Galih. 

"Tapi soal Mas Haikal sama Aa' Nanda, aku maklum kok. Soalnya kata Kak Juna, kadar kewarasannya mereka lagi berkurang terus juga agak depresi gara-gara masalah organisasi," kata Wawan menirukan apa yang dulu diucapkan Juna.

Ayah Adimas terdiam di tempat kala mendengar perkataan polos anak angkatnya. Jujur saja ia heran pada Wawan. Sebenarnya... Wawan itu memang terlalu sabar menghadapi tingkah kakaknya atau jiwanya masih bocah polos dan lugu yang selalu memaklumi?

Di lain sisi tanpa se-pengetahuan 4 manusia yang berada di sofa panjang, Shaka menyunggingkan sebuah senyum tipis di bibirnya. Walaupun dirinya terlihat hanya diam dan mengabaikan karena tak tertarik, tapi sebenarnya telinga Shaka berusaha semaksimal mungkin ikut mendengarkan dan menyimak.

Dan dari apa yang Shaka dengar tadi, dia jadi teringat cerita di balik kejadian yang dialami Wawan beberapa hari sebelum dirinya mengalami kecelakaan.

...

Duduk di teras bersama Bunda Wendy sambil menikmati bolu pandan adalah salah satu hal terindah yang Wawan rasakan. Ditambah lagi ada teh beraroma melati yang menjadi pendampingnya, makin indah lah sorenya.

Fratrem | NCT DREAM 00 Line ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang