.
.
.
.
.
Gibran menatap San yang duduk dihadapannya lekat, ingin hati bertanya kenapa Andra bisa tau soal rencana mereka ke jogja, tapi ia urungkan."Kenapa Bran?" San yang menyadari tatapan Gibran akhirnya bertanya.
"Gak bang, lo gak mau bilang perasaan lo gitu?" Gibran mengode San dengan tatapan matanya. San yang mengerti langsung menatap kearah Andra yang tertidur dengan kepala bersandar dipundaknya.
"Belum waktunya Bran." San sendiri bukan tidak mau, hanya saja menurutnya belum saatnya dia mengatakan semuanya. Mungkin nanti.
"Awas keduluan orang bang, ntar lo nangis." Jika San tidak ingat ada Andra yang sedang bersandar dibahunya, dia pasti sudah memukul Gibran.
"Bangsat lo Bran." Gibran tertawa pelan, dia menatap kearah jendela, pemandangan diluar sana masih berupa rumah-rumah penduduk.
Saat ini mereka sudah berada didalam kereta yang akan membawa mereka kejogja.
"Gue keterlaluan ya bang?" Alis San menukik, dia tidak mengerti maksud Gibran.
"Omongan gue ke bang Andra tadi." oh itu, akhirnya San paham, pantas sedari tadi Gibran terus saja melihat kearah Andra. Pemuda itu pasti merasa bersalah.
"Sedikit, nanti coba minta maaf aja." Gibran mengangguk, San tersenyum, dia merindukan masa dimana semua masih berkumpul.
Saat Gibran masih sangat manja pada mereka, saat semua masih bisa tertawa lebar bersama, tidak seperti sekarang. Meskipun mereka berkumpul mereka lebih banyak diam, beruntung masih ada Andra yang bisa menghidupkan suasana.
"Bran, kalau bang Dane gak ada disana, jangan terlalu kecewa ya." Gibran terdiam mendengar ucapan San. Apa dia bisa?
"Gue gak janji bang, tapi kalau bang Dane gak ada disana, lo gak akan berhenti buat nyari kan?" San menggeleng sebagai jawaban, Gibran cukup lega dengan hal itu.
.
.
.
.
.
Aldi melamun dimeja belajarnya, dia tidak bisa tidur nyenyak semalam. Otaknya terasa penuh, dia memikirkan semua perubahan sikap Gibran padanya–bukan, tapi pada semua orang.Gibran membangun tembok pembatas diantara mereka, sahabat bontotnya itu, seperti menjadi orang lain saat sedang berkumpul. Tidak ada lagi Gibran yang jahil, Gibran yang perhatian pada abang-abangnya, Gibran menjadi sedingin es dan sejauh mentari dengan mereka.
Semua bermula dari menghilangnya Dane, sosok tertua diantara mereka itu, tiba-tiba menghilang tepat disaat mereka terpuruk. Meninggalkan sejuta luka dihati mereka, sosok itu yang dulunya bisa menjadi sandaran adik-adiknya, selalu menjdi tempat sampah mereka.
Ya, mereka terlalu bergantung pada Dane, yang selalu merawat dan memperhatikan mereka. Mereka marah saat sosok itu menghilang, tidak bisa lagi mereka temukan, mereka merasa terkhianati, disaat mereka membutuhkan penopang, sosok yang diharapkan malah hilang.
Orang tua mereka mengatakan Dane pergi saat mereka tiba dirumah sakit saat itu. Mengatakan dia tidak lagi peduli terhadap yang lain, lalu pergi begitu saja. Meninggalkan mereka semua dalam kemarahan, beberapa bahkan membenci sosok itu, enggan mendengar namanya disebut saat mereka bersama.
Aldi bahkan mengakui bahwa dia membenci sosok itu saat ini, terutama karena Gibran sangat dekat dengan sosok Dane dulu, Aldi cemburu. Tapi dulu Dane berhasil meyakinkan Aldi bahwa dia tidak bisa menganggap Gibran lebih dari adik. Aldi lega, tapi saat melihat Gibran mulai menarik diri dari mereka, menyalahkan dirinya sendiri karena kepergian Dane, membuat Aldi membenci sosok Dane. Tapi Aldi mengakui bahwa sebenarnya mereka merindukan kehadiran Dane, dia ingin menemui Dane dan bertanya alasan kenapa dia meninggalkan mereka.
"Kepalaku sakit." Aldi bergumam, dia menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangannya.
"Tidur aja deh." Aldi bangkit, kemudian merebahkn tubuhnya diranjang, menatap langit-langit kamarnya.
"Gibran." Aldi menggumamkan nama Gibran sebelum kedua matanya tertutup.
.
.
.
.
.
Sebuah motor berhenti didepan sebuah rumah, si pengendara turun dan mulai mengetuk pintu rumah.Tok tok tok
Pemuda tinggi itu, mengecek jam tangannya, memastikan dia tidak datang terlalu siang. Dia menatap sekeliling, rumah sepupunya itu tampak sepi, tidak mungkin sepupunya itu masih tidurkan.
"Cari mas Andra ya mas?" Lelaki tinggi itu menoleh, dia menemukan tetangga sepupunya itu berdiri didepan pagar kecil.
"Iya buk." Lelaki itu mendekati ibu-ibu itu.
"Mas Andra udah pergi dari pagi tadi mas." Lelaki itu mengucapkan terima kasih pada ibu itu, kemudian membawa motornya pergi dari rumah sepupunya.
"Tau gitu gue gak perlu bangun pagi-pagi buat nganter sarapan."
.
.
.
.
.
Seorang lelaki tinggi menghentikan motornya didepan sebuah gedung bertuliskan rumah sakit jiwa. Lelaki itu mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi seniornya yang memintanya untuk datang menemuinya.Tut tut tut
"Halo, bang."
"Iya Luth, gimana?"
"Gue udah didepan bang."
"Masuk aja langsung Luth, bilang aja mau ketemu gue."
"Okeh bang." Lelaki tinggi bernama Luthfi itu, segera turun dari motornya dan berjalan masuk kedalam gedung.
"Ada yang bisa dibantu?" Luthfi tersenyum pada resepsionis yang tersenyum ramah itu.
"Saya ingin bertemu dokter Edzard." Resepsionis itu melihat Luthfi, kemudian memberitahu kemana Luthfi bisa menemui Edzard. Dokter Edzard sudah memberitahunya kalau akan ada orang yang ingin menemuinya.
"Terima kasih." Luthfi beranjak setelah mengucapkan terima kasih, dia mengikuti arahan resepsionis itu.
Luthfi melihat sekeliling, melihat beberapa pasien sedang berada dikoridor dengan perawat yang msngawasi mereka. Luthfi akhirnya melihat punggung orang yang dicarinya.
"Bang Edzard." Luthfi menepuk pundak orang yang berdiri didepannya, orang itu menoleh membuat Luthfi tersenyum karena dia tidak salah orang.
"Udah nyampe sini aja lo." Luthfi terkekeh.
"Gue gabut, lo lagi ngapain diem disini bang?"
"Tuh." Luthfi mengikuti arah pandangan Edzard, dia melihat sosok mungil yang sedang bermain bersama anak kucing dibawah pohon.
"Pasien yang lo ceritain itu bang?" Edzard mengangguk. Luthfi belum mengalihkan pandangannya dari sosok Dane.
"Imut banget bang, jadi pingin gue pacarin." Edzard langsung menatap Luthfi tajam, apa maksudnya itu? Luthfi mau jadi lesbi gitu.
"Lo mau ngelesbi?" Luthfi memukul lengan Edzard saat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut seniornya itu.
"Mulut lo ya bang." Luthfi kembali menatap Dane.
"Tapi kalau sama yang modelan gitu, boleh lah bang." Luthfi tertawa melihat ekspresi suram Edzard.
"Bercanda bang."
.
.
.
.
.
Suasana kampus hari ini sepi menurut Vano, hari ini dia tidak menemukan batang hidung sahabatnya. Semua sahabatnya bolos serempak, dia ditinggal sendirian."Dasar gak setia kawan, bolos gak bilang-bilang."
"Tau gitu kan gue gak berangkat hari ini, mending gue tidur dirumah."
Vano menggerutu meruntuki para sahabatnya, dia kesal niatnya dia ingin mengajak sahabatnya untuk nongkrong dicafe langganan mereka, tapi ternyata semua sahabatnya serempak membalas kalau mereka sedang membolos. Bahkan Aldi yang paling rajin pun, mengatakan dia membolos, sungguh ajaib.
"Kan bangsat, ngenes banget nasib cogan."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still Here
FanfictionEdzard, seorang psikiater muda barusia 26 tahun. Ditarik sebuah rumah sakit jiwa untuk menangani pasien spesial mereka. Danendra, seorang pemuda berusia 23 tahun. Mengalami berbagai hal yang melukai fisik dan mentalnya, dan harus berakhir dirumah sa...