.
.
.
.
.
Hari sudah beranjak malam saat kereta dari Jakarta itu berhenti distasiun Jogja. Bisa didengar suara adzan magrib yang masih berkumandang, ketiga sahabat yang baru saja turun dari kereta itu menatap sekitarnya, mereka sudah berada diluar stasiun."San, sholat dulu yuk." Andra menyenggol lengan San, dan menunjuk ke musholah yang berada di sebelah stasiun.
"Nanti deh Ndra, kita harus cari penginapan dulu nih." San tetap fokus pada ponselnya yang menampilkan pencarian tempat menginap di jogja.
"Keburu habis waktunya San, ayo ih." San tetap tak bergeming. Andra kesal, dia mencoba meminta tolong pada Gibran lewat tatapan matanya, tapi pada dasarnya Gibran cuek ya dia diam saja.
"San, lo tau kan bang Dane gak akan suka kalau lo nunda sholat." San langsung mengunci layar ponselnya, memasukkan kembali ponsel itu kesaku jaketnya. Dia menatap Andra, bukan hanya San tapi juga Gibran.
"Ayo, Bran, lu tunggu depan musholah gak papa kan?" Gibran mengangguk, gak masalah dia mau nunggu dimana pun.
Mereka bertiga berjalan kemusholah, tidak banyak jama'ah. Andra dan San melepas sepatu mereka, mengambil air wudhu lalu melaksana sholat. Sedangkan Gibran duduk dibangku panjang yang ada didepan musholah, menunggu kedua sahabatnya.
Mendengar ucapan Andra tadi, membuat Gibran mengingat ucapan yang dulu sering diucapkan Dane saat mereka menunda waktu ibadah.
"Sana ibadah dulu, umur orang gak ada yang tau."
"Ibran, Vano kenapa kalian udah disini pagi-pagi, kalian kabur ya, sana pergi kegereja dulu."
"Gusti, kenapa gue punya temen macem kalian sih, San, Andra, Aldi, sholat dulu udah magrib, ayo jama'ah, jangan sampe gue seret kalian ya."
Gibran tersenyum saat ingatan itu berkelebat, Dane memang seperhatian itu pada mereka. Setelah Dane pergi tidak ada lagi yang mengingatkan mereka ini itu, menegur mereka tanpa takut, juga melindungi mereka.
Gibran sendiri mempunyai pengalaman yang tidak bisa dilupakan seumur hidup dengannya, dan itu tentang bagaimana pertemuan pertamanya dengan Dane.
Flashback
Gibran yang saat itu masih berada dikelas 5 sd, Gibran tidak sekuat dan seberani sekarang, dia hanya anak kecil yang selalu bergantung pada perlindungan sahabat-sahabatnya. Gibran masih sangat cengeng.
Hari ini Gibran harus pulang sekolah sendiri, sahabat-sahabatnya ada les disekolah, mereka meminta Gibran menunggu mereka, tapi Gibran justru berjalan pulang sendiri. Gibran memang terlalu pandai untuk anak seusianya.
"Hihihi untung abang gak tau Gibran pulang duluan." Gibran kecil saat itu berjalan pulang dengan riang, dia tidak tau jika jalan yang dia lewati terbilang rawan pemalakan preman. Dan Gibran sedang lewat disaat yang tidak tepat.
"Woi bocah mau kemana lo." Gibran terkejut saat dia dihadang dua orang berpenampilan sangar, celana robek-robek, tato di tangannya juga, tidikan di telinga, bibir juga disekitar mata.
"Gi-gibran mau lewat om." preman itu melotot, Gibran yang dipelototi sudah ketakutan.
"Lo anak orang kaya kan? Siniin duit lo." Gibran semakin gemetar ketakutan saat preman itu membentaknya.
"G-gibran gak punya uang om." preman itu tidak percaya, anak orang kaya seperti Gibran tidak mungkin tidak memiliki uang. Mereka memeriksa tas dan saku Gibran secara paksa.
Gibran sudah menangis ketakutan, dia ingin berteriak minta tolong tapi suaranya tidak bisa keluar, sampai tiba-tiba ada seorang anak menendang selakangan kedua preman itu, anak itu menarik tas Gibran juga tangan Gibran, mengajak Gibran berlari menjauh. Gibran hanya mengikuti anak itu dengan air mata yang masih mengalir, dia masih takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still Here
FanfictionEdzard, seorang psikiater muda barusia 26 tahun. Ditarik sebuah rumah sakit jiwa untuk menangani pasien spesial mereka. Danendra, seorang pemuda berusia 23 tahun. Mengalami berbagai hal yang melukai fisik dan mentalnya, dan harus berakhir dirumah sa...