.
.
.
.
.
Vano sedang berada dikantin kampus saat ini, penampilannya berantakan, wajah babak belur, jangan lupakan Vano yang sedari tadi gelisah, beberapa kali melihat kearah hpnya. Membuat Gibran, Aldi dan San yang baru saja bergabung di meja bersama Vano memandang bingung."Lo kenapa sih Van?" Aldi membuka suara, secuek-cuek nya Aldi, dia tetap saja khawatir pada sahabatnya.
"Lo habis berantem ya? sini kasih tau gue siapa yang bikin lo babak belur gitu." San menimpali pertanyaan Aldi, tapi tetap saja Vano tidak beraksi, dia tetap sibuk mengetik sesuatu di hpnya.
San dan Aldi yang penasaran segera menatap kearah Gibran, sedangkan yang ditatap justru menggeleng, tanda bahwa dia jug tidak tahu menahu soal itu.
"Lo itu sebenernya kenap-" belum sempat San melanjutkan pertanyaannya, ucapannya sudah terpotong oleh teriakan.
"ELVANO!!" Seisi kantin langsung menatap kearah pintu masuk kantin, disana ada Andra yang terlihat marah, pemuda itu berjalan cepat menuju meja sahabatnya.
"Andra kenapa San?" San menggeleng mendengar pertanyaan Aldi, dia juga tidak tau kekasihnya kenapa, seingatnya semalam Andra masih baik-baik aja. Gibran pun ikut memandang bingung.
"VANO BAJINGAN, APA YANG UDAH LO LAKUIN HAH!??" Andra langsung menghantam kepela Vano dengan buku yang sedang dipegangnya. Hal itu membuat ketiga sahabatnya yang lain terkejut, mereka tidak pernah melihat Andra semarah itu.
"JAWAB GUE BANGSAT, LO PUNYA MULUT KAN?!??" Vano tetap diam meskipun Andra berteriak sambil memukul wajahnya yang sudah babak belur. Seisi kantin tentu saja terkejut, Andra, mahasiswa paling berisik dan selalu ketawa itu ternyata sangat menakutkan saat marah.
Buaghh...buaghh..buagh
"By by, udah udah, cukup." San langsung memeluk tubuh Andra dari belakang, dia tidak tega melihat Vano yang sudah babak belur menjadi semakin hancur.
"Lepasin gue!" San cukup terkejut saat Andra berbicara dengan nada dingin, karena selama ini Andra paling kalau marah hanya akan berteriak.
"Gak gak, udah berhenti, ini dikampus, nanti kamu kena masalah." San mengelus lengan Andra, mencoba menenangkan kekasihnya itu, sambil terus berbisik.
"Bang Andra, ada apa?" Gibran berkata setelah membantu Vano berdiri.
"Kita bicarain ditempat lain aja, terlalu rame disini." San mengangguk, menyetujui usulan Aldi. San segera membawa Andra keluar dari kantin, diikuti Gibran dan Aldi yang memapah Vano.
.
.
.
.
.
Luthfi menatap Dane aneh, sedari tadi pemuda itu terus saja menanyakan apakah Luthfi baik-baik saja, tentu saja Luthfi baik-baik saja tapi tidak hatinya."Luthfi." Luthfi menatap Dane yang duduk disebelahnya, merek saat ini sedang berada dikamar Edzard, sedangkan pemilik kamar sedang membuatkan mereka makan siang.
"Bang, luthfi gak papa kok." Dane menggeleng tidak setuju, dia tau laki-laki itu terluka.
"Luthfi bohong, hatinya Luthfi gak mungkin baik-baik aja, pasti sakit." Tatapan Luthfi berubah nanar, Dane benar, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan.
"Hati ku gak pernah baik-baik aja bang dari dulu, udah sakit tapi kali ini lebih sakit." Luthfi menunduk, Dane yang melihat itu langsung memeluknya.
"Nangis aja kalau Luthfi mau nangis, kata kak Mars itu bisa bikin hati lega." Sejujurnya kehadiran Edzard, Dane dan Andra semalam sudah cukup membuat hatinya lega.
"Aku udah cukup nangis semalem bang, gak mau nangis lagi." Dane sebenarnya tidak menyangka akan melihat Vano seperti itu, setau dia dulu Vano anak yang baik.
"Bagus kalau gitu, jangan nangis lagi buat cowok kayak gitu." Dane dan Luthfi menatap kearah pintu, ada Edzard disana ditangannya terdapat dua piring berisi nasi goreng. Luthfi langsung semangat saat melihat menu favoritenya.
"Wah nasi goreng!" Luthfi langsung turun dari ranjang dan segera mengambil satu piring dari tangan Edzard. Edzard hanya menggeleng, dia menyerahkan piring satunya pada Dane.
"Makasih kak Mars." Edzard tersenyum, dia mengacak rambut Dane.
"Makan pelan-pelan Luth." Luthfi menganguk sambil bergumam tidak jelas.
"Telan dulu."
"Makasih bang." Ucap Luthfi setelah menelan makanannya.
"Udah gak usah mikirin cowok itu lagi, gue gak suka liat lo sedih kayak kemarin." Luthfi mengangguk, dia memang tidak memikirkan Vano, tapi memikirkan keputusannya, apakah dia salah memberi Vano kesempatan, laki-laki itu membuat kepercayaan Luthfi hilang disaat Luthfi mulai mencintai Vano.
"Harusnya gue gak kasih dia kesempatan kan bang?" Edzard memandang Luthfi yang berhenti menyuap nasi gorengnya.
"Jangan ngomong gitu, mungkin emang bukan saat yang tepat aja." Dane hanya memandang dua orang itu, otak pintarnya masih terlalu bodoh jika dipakai mencerna perihal hati dan cinta.
"Tapi gue masih harus nyelesein semuanya bang, temenin gue ya nanti." Edzard mengangguk, dia sebenarnya tidak setuju jika Luthfi menemui Vano. Edzard terlanjur menarik restunya.
"Udah makannya lanjutin dulu, kamu juga Dan." Dane dan Luthfi langsung kembali melahap nasi goreng buatan Edzard.
"Ngomong-ngomong Andra kemana?" Edzard baru sadar jika dia tidak melihat Andra dari tadi.
"Kekampus bang." Edzard lagi-lagi mengangguk.
" Semoga aja dia ngehajar Vano juga, semalem kan dia kelihatan marah banget." Luthfi lngsung mendelik, dia lupa soal itu. Semoga saja Andra tidak sampai memukul wajah tampan Vano.
"Jangan sampe bang."
.
.
.
.
.
PlakSebuah tamparan mendarat dipipi Vano, bukan Andra pelakunya tapi Aldi. Pemuda itu langsung melayangkan tamparan pada Vano setelah laki-laki tinggi itu menjelaskan semuanya.
"Vano kok bego ya, sumpah." Gibran yang melihat Aldi kesal menarik pemuda manis itu menjauh dari Vano.
"Maafin gue Ndra." Andra menatap Vano galak.
"Jangan minta maaf ke gue bangsat, minta maaf ke Luthfi sana, meskipun gue gak yakin dia bakal mau kasih lo kesempatan lagi." Andra beralih memeluk San, saat ini dia duduk di pangkuan San, kekasihnya itu sama sekali tidak mau melepaskannya, takut dia akan menghajar Vano lagi.
"Jadi yang ngehajar lo itu bang Edzard?" Vano mengangguk, Gibran dan San saling melirik, masih untung pikir mereka. Edzard hanya membuat Vano babak belur bukan pulang ke nereka lewat jalur vvip.
"Ndra." Andra melirik kearah Vano, dia masih sebal dan marah pada sahabatnya itu.
"Apa? jangan minta bantuan gue, gue gak mau bantu, soal Luthfi ataupun bang Edzard." Andra langsung menolak niat Vano yang bahkan belum terucap.
"Usaha sendiri bro." Gibran menepuk pundak Vano, sebelum menarik Aldi pergi dari ruang uks, mereka perlu mengurus sesuatu.
"San ayo jalan-jalan." San menatap Andra yang ada dipangkuannya.
"Mau kemana?" Andra menggeleng tidak tau.
"Kemana aja udah, biarin ini cowok satu mikirin kesalahannya." San menggeleng, Andra jadi kelihatan menyebalkan dimata Vano.
"Ya udah ayo jalan by." Wajah Andra memerah, dia segera turun dari pangkuan San, berjalan keluar ruang uks, dia malu dipanggil by di hadapan Vano.
"Usaha lagi bro, lo harus jelasin bener-bener ke Luthfi, jangan ada yang ditutupi, tapi hasilnya tetep terserah Luthfi, lo gak bisa maksa." Setelah mengucapkan itu San berjalan keluar uks, menemukan Andra sedang menunduk di sana.
.
.
.
.
.
"Maafin gue Fi, gue cuma gak suka lo jadian sama Vano, karena Vano cuma buat gue, meskipun lo temen gue!"
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still Here
FanfictionEdzard, seorang psikiater muda barusia 26 tahun. Ditarik sebuah rumah sakit jiwa untuk menangani pasien spesial mereka. Danendra, seorang pemuda berusia 23 tahun. Mengalami berbagai hal yang melukai fisik dan mentalnya, dan harus berakhir dirumah sa...