12

1K 141 2
                                    


.
.
.
.
.
Edzard mempunyai kebiasaan baru akhir-akhir ini, dia selalu berangkat lebih pagi dari pada biasanya. Seperti pagi ini, di berangkat pukul 6 pagi, supaya bisa lebih cepat bertemu Dane. Sejak semalam perasaan khawatirnya itu tidak kunjung hilang hingga pagi ini.

Edzard berjalan menuju kamar Dane, dia bahkan belum mampir keruangannya untuk sekedar meletakan tas nya seperti biasa. Ada beberapa perawat bahkan dokter yang menyapanya. Edzard sebenarnya termasuk sosok yang cukup ditakuti disini, memang selama dia bergabung dirumah sakit ini, belum ada seorang pun yang melihat Edzard marah. Tapi sepak terjang nya semasa menjadi dokter residen dulu, patut diwaspadai. Jangan pernah membuat pemuda tampan itu marah, karena dia akan menghancurkan siapa saja yang mengusik kehidupannya.

Cklek

Edzard tersenyum saat menemukan Dane sedang menumpukan dagunya pada lututnya, sepertinya dia sudah bangun dari tadi.

"Selamat pagi Dane." Edzard mendekati ranjang Dane, mendudukan dirinya disisi kanan pemuda itu.

"Bangun jam berapa tadi, kok udah mandi?" Edzard melihat ada yang aneh dengan Dane, pemuda itu terlihat tidak bersemangat, dan dia terliht mengantuk. Terbukti dengan beberapa kali Edzard melihat mata bulat itu hampir terpejam.

"Dane masih ngantuk?" Dane mengangguk, membuat Edzard tersenyum.

"Ya udah tidur lagi aja ya, sambil nunggu sarapan?" Edzard baru aja akan menuntun pemuda itu agar merebahkan badannya, tapi pemuda itu menolak, dia justru menggenggam kemeja Edzard erat.

"K-kak Edzard." Edzard terkejut saat Dane memanggil namanya, meskipun dengan suara yang sangat pelan.

"Ada apa?" Dane memejamkan matanya, Edzard akhirnya paham, pasien spesialnya itu tengah ketakutan.

"Dane mimpi buruk lagi?" Dane mengangguk.

"Sebentar aku punya sesuatu buat Dane, buat teman Dane kalau tidur " Edzard membuka tasnya, mengambil boneka minion dan menyerahkannya pada Dane.

"Ini buat Dane." Edzard meletakkan boneka itu pada tangan Dane, pemuda itu tampak berbinar senang.

"Nah sekarang Dane tidur ya, aku temenin disini, nanti dibangunin kalau waktunya sarapan." Edzard mengelus poni Dane, pemuda itu mulai terlelap, dengan tangannya masih menggenggam lengan kemeja Edzard.

"Berbicaralah lebih sering Dan, biar aku cepat bawa kamu keluar dari sini."
.
.
.
.
.
Andra tidak tega melihat keadaan Gibran saat ini, setelah kembali kepenginapan Gibran hanya menatap kosong. Pemuda itu pasti syok mendengar sebuah kabar yang menyakitkan tadi, jika boleh jujur Andra pun merasakan hal yang sama, dia tidak percaya, tapi berita itu diberitahukan oleh tetangga keluarga Dane.

"Bran." Andra mengelus pundak Gibran, Gibran pasti sangat terpukul, diantara mereka semua memang Gibran yang paling dekat dengan Dane, bahkan waktu sma Gibran dijuluki anaknya Dane, karena selalu nurut apa kata Dane.

"Bang Andra, itu gak mungkin kan bang?" Andra bergerak memeluk tubuh kekar Gibran.

"Nangis aja kalau mau nangis, jangan ditahan." Tumpah sudah air mata Gibran, dia menumpahkan semua rasa sesaknya dipelukan Andra.

"G-gue gk percaya bang, hiks..bang Dane gak bakal ninggalin gue kan hiks...?" Andra semakin mengeratkan pelukannya, dia kembali melihat Gibran seperti ini, sama seperti ketika di sadar dari koma dan mengetahui fakta Dane menghilang, tiga tahun lalu.

"Gue tau apa yang lu rasain Bran, gue juga ngerasain itu sekarang."

"G-gue bahkan belum minta maaf ke bang Dane, gue sering bikin dia kesel." Andra ikut menangis bersama Gibran, mereka kehilangan sosok abang yang selama ini mereka cari.

San menatap Andra dan Gibran yang sedang menangis dari ambang pintu. Bukan San tidak merasa sedih, hanya saja dia masih tidak percaya, dan tidak akan percaya sampai dia menemukan keluarga Dane, dan melihat sendiri makam Dane.

"Ndra, Bran, kita balik besok kejakarta." Andra dan Gibran menoleh serentak kearah San yang menutup pintu.

"Yakin mau balik besok San?" Andra bertanya pada San, dia tau suasana hati San sedang tidak bagus.

"Kita harus cepet balik kejakarta Ndra, lo ingat kan kalau keluarga bang Dane katanya pindah kejakarta, kita harus cari mereka disana Ndra." Andra membenarkan ucapan San, begitu juga Gibran.

"Bang.."

"Gue belum percaya Bran, sebelum gue liat makamnya bang Dane, gue gak akan percaya bang Dane udah meninggal." San mengepalkan tangannya.

"San."

"Kalau gitu kita balik bang, terus kita cari keluarga bang Dane." Andra dan San mengangguk.

"Kalian istirahat aja dulu, gue mau kestasiun buat pesen tiket kereta." San meraih dompet dan jaketnya, meminjam motor pemilik penginapan tidak ada salahnya.

"Gue ikut San."

"Ya udah, Gibran lo istirahat aja ya." Gibran mengangguk, dia akan mencoba tidur saat Andra dan San kestasiun.
.
.
.
.
.
San dan Andra sedang duduk didepan stasiun, mereka sudah membeli tiket kereta untuk besok, kereta pukul 6 pagi.

"Ndra." Andra menoleh saat San memanggilnya.

"Kenapa?"

"Kamu mau nunggu sebentar lagi kan?" Andra mengerutkan alusnya bingung, kenapa San jadi ngomong seserius ini, lagipula nunggu apa sih.

"Nunggu apa sih San, kan aku tetep disini." San tersenyum kearah Andra, senyum yang sangat tulus.

"Nunggu aku, buat resmiin kamu." Andra mengerjap tidak percaya.

"Aku sudah janji kediriku sendiri Ndra, aku bakal resmiin kamu kalau udah ketemu sama bang Dane." Andra tersenyum, kata-kata San membuat hatinya menghangat.

"Jadi kamu mau nunggu aku kan?" Andra mengangguk.

"Tentu aja." San tersenyum senang mendengar jawaban Andra. Pemuda itu mencuri kecupan dipipi Andra sebagai balasan.

"SAN IH.." Andra menutupi wajahnya yang memerah, sungguh dia malu sekarang, kenapa san harus mengecup pipinya ditempat umum.
.
.
.
.
.
Edzard menatap Dane yang sedang tertidur pulas, lelaki itu sengaja tidak membangunkan Dane, karena dia tau pemuda itu tidak tidur semalaman. Bagaimana Edzard mengetahuinya? Ya tentu saja cctv, Edzard memasang cctv tersembunyi dikamar Dane, tentu saja dengan persetujuan Praja, selaku kepala rumah sakit.

"Dia belum bangun?" Edzard menatap Ira yang berdiri diambang pintu.

"Belum, biarin aja dulu kak." Ira mengangguk, dia mendekati ranjang Dane. Menatap kearah pemuda itu sebentar.

"Dia, belum pernah tidur sepulas ini sebelumnya." Ira menatap jam dinding yang ada dikamar itu, pukul 10.

"Jangan lupa kalau dia bangun, suruh makan dulu sebelum keluar kamar." Edzard mengangguk. Ira memutuskuan keluar dari kamar Dane, sepertinya tanggung jawab nya akan Dane banyak berkurang sejak ada Edzard.

Perawat yang sudah menemani Dane sejak tiga tahun lalu itu sadar, jika sekarang Dane lebih bergantung pada Edzard.

"Jika seperti ini, aku bisa tenang meninggalkan Dane." Ya, masa kerja Ira tinggal satu bulan lagi, dia tidak lagi memperpanjang kontrak karena akan menikah. Sebelumnya dia tidak tenang jika harus meninggalkan Dane, tapi sekarang dia merasa sangat tenang karena kehadiran Edzard disisi Dane.

"Semoga aku bisa lihat Dane keluar dari sini."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Still HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang