.
.
.
.
.
Andra menatap Gibran yang sedang bersandar pada San dihadapannya, mereka ada didalam kereta yang akan membawa mereka pulang kejakarta. Andra meminta Gibran duduk disebelah San karena pemuda itu sedang tidak enak badan. Suhu tubuhnya cukup tinggi sejak semalam, sebenarnya San juga menawarkan jika kepulangan mereka bisa ditunda, tapi Gibran menolak, dia ingin pulang."Masih panas gak San?" San menyentuh dahi Gibran, kemudian menggeleng.
"Udah turun Ndra, tapi tetep nanti pas sampe dijakarta dia harus dibawa kedokter." Andra mengangguk.
"Gibran pasti masih kepikiran." Andra benar-benar tidak tega jika melihat Gibran seperti itu.
"Ndra, kalau bang Dane beneran udah meninggal gimana?" Andra menatap San, kenapa tiba-tiba pemuda dihadapannya itu menanyakan itu, bukannya dia sendiri yang bilang gak akan percaya sampai lihat sendiri.
"Kalau itu emang beneran, kita cuma bisa doain bang Dane, San, tapi aku harap itu semua cuma berita bohong." San tersenyum, dia tidak sendiri, dia punya penopang disisinya.
"Dulu aku kira kamu juga benci sama bang Dane loh Ndra." Andra tersenyum kecil.
"Apa aku keliatan begitu?" Sa mengangguk.
"Kau keliatan gak mau tau waktu bang Dane ilang, kamu diem aja waktu Vano maki-maki bang Dane, atau waktu Aldi nyalahin bang Dane penyebab kecelakaan juga." Andra mengalihkan pandangannya, di ingat semua itu, saat dia sadar dan dia tau Dane menghilang, dia hanya diam.
"Aku gak pernah benci ama bang Dane, gimana aku bisa benci ama orang yang nganggap aku kayak adeknya sendiri, San, aku cuma gak tau mau ngerespon kayak apa waktu itu." Andra tersenyum lirih, Dane mempunyai tempat tersendiri di hatinya.
"Makasih ya Ndra, karena kamu gak benci bang Dane." Andra mengangguk.
"Lain kali kalau kamu mau cari bang Dane, ajak aku, jngan nyari sendirian, diem-diem lagi." San tertawa, Andra tau soal itu ternyata.
.
.
.
.
.
Ira berjalan kearah kamar Dane, kali ini dia mengantar kakanan Dane sendiri, tadi pagi, Edzard mengiriminya pesan bahwa lelaki itu akan sedikit terlambat dari biasanya. Mungkin lelaki itu mempunyai urusan yang harus dia selesaikan."Selamat pagi Dane." Ira membuka pintu kamar Dane, dia mengira akan menemukan Dane yang terduduk seperti biasanya. Tapi justru dia menemukan Dane yang masih tertidur. Tumben sekali.
"Dane, bangun yuk, udah pagi." Ira mengguncang pelan tubuh Dane, dia dapat melihat kelopak mata pemuda itu perlahan terbuka.
"Kamu mau sarapan atau mandi dulu?" Ini pertama kali nya Ira menemukan Dane masih tertidur dipagi hari.
"Ini sarapannya aku taruh disini ya, habis mandi langsung dimakan." Ira melihat Dane beranjak memasuki kama mandi dikamarnya. Perawat itu juga aoan segera meninggalkan kamar Dane, saat telinga nya menangkap sebuah suara lirih.
"T-terima kasih."
Blam
Ira menatap haru pintu kamar mandi yang tertutup, apakah ada perkembangan tentang Dane yang dia tidak tau, dia baru saja mendengar suara Dane mengucapkan terima kasih, meskipun sangat lirih.
.
.
.
.
.
Edzard menatap Ira yang berdiri dihadapannya aneh, dia baru saja tiba dirumah sakit dan sekarang dia sudah dihadang Ira saat akan memasuki ruanganya."Ada apa?" Ira menatap Edzard tajam.
"Apa ada perkembangan Dane yang gak aku tau Zard?" Edzard membuka pintu ruangannya setelah menggeleng.
"Aku sudah kasih tau semuanya kan, kak." Ira menyusul Edzard masuk keruangannya. Perawat itu menghela nafas.
"Aku denger Dane bilang makasih tadi pagi, waktu aku nganter sarapan." Edzard diam-diam tersenyum, Dane sungguh melakukan apa yang dikatakan Edzard kemarin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Still Here
FanfictionEdzard, seorang psikiater muda barusia 26 tahun. Ditarik sebuah rumah sakit jiwa untuk menangani pasien spesial mereka. Danendra, seorang pemuda berusia 23 tahun. Mengalami berbagai hal yang melukai fisik dan mentalnya, dan harus berakhir dirumah sa...