39

877 125 1
                                    


.
.
.
.
.
Dane menatap kamarnya, kamar yang menjadi saksi bisu dari perjuangan hidup anak berusia 10 tahun yang hidup seorang diri di keras nya ibu kota. Dane merindukan rumah ini, dia tau karin pasti menjual rumah ini saat perempuan itu membawa Dane masuk ke rumah sakit jiwa. Dikamar ini dulu karin sering melakukan kekerasan pada nya, dikamar ini dulu Dane kecil sering menangis merindukan ayah, ibu dan adiknya, dikamar ini juga dulu Dane hampir mengakhiri hidupnya karena tekanan karin.

Air mata Dane mengalir saat dia mendudukan dirinya diranjangnya. Ranjang itu saksi bagaimana air mata kesakitan yang selalu menetes dari mata Dane. Kamar itu tidak berubah, sepertinya San dan bunda manda memang tidak ingin merubah apapun. Dane bersyukur mengenal orang baik seperti mereka.

"Kayaknya aku simpen disini deh." Dane membuka lemarinya, dia berjongkok disana, mencari kotak yang dia selipkan diantara tas-tas yang tersimpan didalam lemari.

"Ah ketemu." Dane tersenyum senang saat tangannya menyentuh sebuah kotak kecil, dia meraihnya, membuka dan melihat ada dua kalung dengan model yang sama disana. Dane bersyukur dulu saat terakhir dia bertemu mami nya, mami nya menyembunyikan kotak kalung itu di bawah ranjang milik Dane, hingga hanya Dane yang tau hal itu.

"Mami, apa mami bakal inget sama aku dan Hadar, mami kan janji mau jemput kita." Eane bergumam sambil menatap kalung ditangannya, dia bahkan tidak menyadari bahwa Edzard memperhatikannya dari ambang pintu sejak tadi.

"Kak Mars!" Dane sedikit terkejut saat dia menoleh dan menemukan Edzard sedang berdiri diambang pintu kamarnya. Edzard tersenyum disana.

"Udah ketemu?" Edzard mendekat, Dane mengangguk, dia menunjukan dua kalung yang sejak tadi berada ditangannya. Edzard menatap lekat pada kalung itu, kemudian mengangguk.

"Kamar kamu rapi juga." Dane tersipu, padahal Edzard hanya memuji kamar nya.

"Kak Mars, di luar ada apa sih, kok berisik?" Dane mengernyit saat telinganya mendengar orang berteriak didepan rumahnya, eh bukan, rumah San.

"Gk tau, kamu tunggu sini aja." Bukannya menurut Dane malah beranjak keluar mendahului Edzard, dia melihat Andra dan San yang sepertinya terlalu bodo amat dengan suara itu.

"Jangan keluar bang, itu orang rusuh." Dane menggeleng, dia tetap membuka pintu rumahnya mengabaikan larangan San.

Cklek

"Keluar!"

"Akhirnya keluar juga." Dane berkedip melihat beberapa tetangganya berada didepan rumah.

"Ada apa ya?" Tapi Dane ya tetap Dane, mana bisa mengabaikan orang yang lebih gua dari dia.

"Dane kamu itu gak boleh masuk kerumah ini."

"Iya rumah ini itu udah dijual, bukan lagi rumah kamu." Dan yang mendengarnya menghela nafas, kalau soal itu kan dia juga sudah tau, San sendiri yang memberitahunya tadi.

"Ngapain sih kamu masuk kerumah orang?"

"Kamu mau maling ya?"

"Pasti itu, ngapain juga dia masuk kerumah yang udah dia jual sendiri tiga tahun lalu."

"Keluar kamu, cepet pergi dari sini, sebelum kita laporin ke polisi."

"Tap..." Dane baru saja akan berucap, tapi warga yang ada disana langsung memotong ucapan Dane. Edzard yang melihat itu geram, memangnya mereka siapa sih, mereka belum tau apa, Dane calon menantu dari Praja pamungkas, pebisnis sukses dan juga pemilik yayasan rumah sakit Praja. Kalau Praja marah, kampung mereka bisa dibeli nih.

"Gak usah banyak omong, udah lah seret aja dia keluar, ngotor-ngotorin kampung kita aja, mau maling disini." Edzard sudah akan maju, seandainya San tidak keluar degan menggebrak pintu. Raut wajah pemuda itu tampak marah, dibelakangnya ada Andra yang langsung berdiri memeluk tubuh Dane yang gemetar.

Still HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang